Kebanyakan orang akan menganggap remeh Cak Imin. Pembawaannya yang sering tertawa-tawa membuatnya kerap tak dianggap sebagai sosok serius yang akan mengisi tampuk kepemimpinan nasional. Tapi, siapa sangka, Ketum PKB ini pada akhirnya menjadi sosok yang digandeng Anies Baswedan sebagai cawapres untuk mendampinginya di Pilpres 2024.
“Imin gak iso dijarno”, (Imin tidak bisa dibiarkan).
– Gus Dur soal Cak Imin (sekitar 3 minggu sebelum meninggal)
Muhaimin Iskandar alias Cak Imin mungkin jadi salah satu tokoh nasional yang paling ramai dipergunjingkan dalam hari-hari terakhir ini. Bagaimana tidak, Cak Imin yang ditetapkan sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Anies Baswedan pada akhirnya memicu perpecahan dalam Koalisi Perubahan.
Partai Demokrat yang sebelumnya digadang-gadang akan menyodorkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres untuk Anies mengalami kekecewaan mendalam. Meski dalam pernyataan terbaru, AHY selaku Ketua Umum Partai Demokrat menyebut partainya akan move on dari peristiwa ini, banyak yang menilai kecil kemungkinan Demokrat akan tetap berada di koalisi Anies.
Kini bola panas politik memang ada di Cak Imin. Dengan bergabungnya Nasdem dan PKB, suara kedua partai ini di DPR RI sudah lebih dari 20 persen yang menjadi batas minimal pencalonan pasangan capres-cawapres. Keduanya bahkan tak butuh partai lain untuk bisa melangkah di Pilpres 2024.
Tentu pertanyaannya adalah seberapa hebat sebenarnya Cak Imin dalam konteks politik dan kepemimpinan di tingkat nasional? Apakah Anies Baswedan – atau mungkin lebih tepatnya Surya Paloh sebagai Ketum Nasdem – telah menjatuhkan pilihan yang tepat, ataukah ini akan jadi blunder politik yang justru malah akan menutup peluang menang Anies?
Imin Yang Gak Iso Dijarno
Menyebut Cak Imin sebagai politisi brilian bukan tanpa alasan. Doi mengambil alih PKB di sekitaran tahun 2008 dari salah satu tokoh besar bangsa ini: Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Meski Cak Imin menolak tuduhan bahwa dirinya “merebut” PKB dari Gus Dur yang merupakannya pamannya sendiri, yang jelas hingga kini hubungan Imin dengan keluarga Gus Dur masih dipenuhi riak.
Putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid, bahkan penah menyebutkan bahwa 3 minggu menjelang wafatnya Gus Dur, Presiden ke-4 RI itu masih berbicara soal Cak Imin. Ia meminta pada sang anak agar Cak Imin dengan segala manuver politiknya “jangan dibiarkan”.
Efek pertikaian politik ini cukup terasa pada perolehan suara PKB. Di tahun 2009, PKB hanya mampu meraih 4,94 persen suara, turun dari 10,57 persen di Pemilu sebelumnya. Ini karena pengaruh Gus Dur masih sangat kuat di NU kala itu, sehingga banyak warga nahdliyin yang tak memilih PKB akibat konflik dengan Cak Imin.
Ahli politik Islam Indonesia, Profesor Greg Fealy, dalam ulasannya di New Mandala menyebutkan bahwa kondisi ini membuat Cak Imin khawatir PKB tak akan lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2014 akibat penurunan suara. Fealy menyebut Cak Imin kemudian melakukan 2 strategi penting untuk mendongkrak perolehan suara PKB.
Langkah pertama adalah kembali mengikat partai dengan NU dengan menyalurkan dana dan menyerahkan aset untuk mendukung program-program NU. Semua sayap parlemen PKB di tingkat nasional dan regional diinstruksikan untuk memberikan iuran bulanan untuk kemudian dianggarkan bagi keperluan administratif dan program-program NU lainnya, yang kebanyakan berasal dari pungutan terhadap semua anggota legislatif PKB.
Para politisi PKB selanjutnya menggunakan posisi mereka di legislatif untuk mengamankan dana bagi program-program sosial dan keagamaan NU. Fealy bahkan bilang bahwa PKB juga menjamin bahwa jika partai itu dibubarkan, semua asetnya akan dialihkan ke NU.
Sedangkan strategi kedua Cak Imin adalah mendapatkan dukungan dari pengusaha kaya yang dapat mendanai program-program yang berhubungan dengan pemilihan umum di komunitas-komunitas NU di daerah-daerah basis pemilih PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dengan bantuan seorang pialang politik senior, Cak Imin misalnya disebut berhasil membujuk bos maskapai Lion Air, Rusdi Kirana, seorang Tionghoa Kristen, untuk bergabung dengan partai itu.
Rusdi bahkan diberikan posisi sebagai Wakil Ketua PKB. Rusdi kemudian menyediakan dana yang cukup besar untuk penjangkauan PKB kepada para kiai lokal di daerah-daerah pemilihan utama serta program-program kewirausahaan bagi para pengusaha muda NU.
Kedua strategi ini terbukti sangat berhasil. Dalam kampanye Pemilu, kiai-kiai besar NU, misalnya Said Aqil dan Ma’ruf Amin memberikan dukungan simbolis kepada PKB dan banyak kiai NU yang secara terbuka mendukung partai tersebut. Akhirnya PKB meraih 9 persen suara dalam Pemilu 2014, menjadikannya sekali lagi sebagai partai Islam dengan perolehan suara tertinggi.
Kecerdasan Cak Imin ini kemudian diteruskan ketika ia mendorong Ma’ruf Amin sebagai cawapres untuk mendampingi Presiden Jokowi yang maju lagi di Pilpres 2019. Manuvernya begitu “canggih” sampai-sampai bisa menikung Mahfud MD – sosok yang sebenarnya diinginkan Jokowi untuk menjadi pendampingnya – di detik-detik akhir .
Sosok-sosok kunci di PKB juga kini punya pertalian yang sangat erat dengan NU – hal yang bahkan tak begitu terjadi di era Gus Dur. Nama-namanya bisa dibaca di ulasan lengkap Prof Fealy.
Intinya, Cak Imin secara brilian berhasil mentransformasikan PKB menjadi partai yang sangat layak diperhitungkan. Kemampuannya mendapatkan endorsement dari banyak kiai NU membuktikan bagaimana ia berhasil membalikkan kondisi PKB pasca perpecahan dengan Gus Dur. Persoalannya apakah itu cukup untuk membuatnya dan Anies Baswedan menang di 2024?
Menanti Kemenangan Anies-Imin
Kapasitas pribadi Cak Imin memang akan diuji di Pilpres 2024 nanti. Kini ia bukan lagi orang yang ada di belakang layar, melainkan yang langsung berkontestasi. Ini akan jadi tantangan yang berbeda dibandingkan yang selama ini dijalankannya.
Yang jelas, Surya Paloh dan Nasdem memang melihat kemampuan Cak Imin mengembalikan ikatan PKB dan NU sebagai kekuatan politik yang menjanjikan kemenangan. Pasalnya, NU masih jadi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Ada yang menyebut sekitar 150 juta penduduk Indonesia adalah warga NU. Sementara di tahun 2022, Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf menyebut 59,2 persen dari seluruh pemeluk agama Islam di Indonesia adalah warga NU. Ini akan jadi kekuatan elektoral yang menjanjikan untuk Anies Baswedan yang selama ini memang punya kelemahan di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang umumnya jadi basis NU.
Dalam konteks Cak Imin sendiri, kemampuannya membaca dinamika politik adalah kelebihan yang bisa berkontribusi bagi pemenangan Anies. Bisa dibilang Cak Imin punya self-awareness. Jelang Pemilu 2014 misalnya, ia bisa membaca apa kekuatan dan kelemahan PKB, sehingga bisa meningkatkan pencapaian PKB. Cak Imin bisa dibilang menjalankan kata-kata: “Cogito ergo sum” – saya berpikir maka saya ada – yang menjadi buah pikir Rene Descartes.
Dalam Psikologi, self-awareness adalah konsep yang disebutkan banyak ahli, misalnya Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence. Cak Imin jelas punya kecerdasan emosional yang tinggi – hal yang membuatnya bisa masuk ke mana-mana. Ini mungkin pelengkap konsep psikolog Gordon Allport terkait bagian fundamental dari kepribadian yang menentukan langkah seseorang.
Dengan kemampuan dan modal politik yang dimilikinya, bisa saja Cak Imin akan membantu Anies Baswedan memenangkan pertarungan di 2024. Ia bisa mengulang kisah sukses Ma’ruf Amin yang menjadi wapres. Tidak ada yang tahu pasti ujugnya.
Yang jelas, mungkin kita perlu merefleksikan secara mendalam pesan Gus Dur di awal tulisan ini, bahwa seperti inilah jadinya kalau Cak Imin “dibiarkan”. Akibat manuver dan strategi politik Cak Imin, NU kini makin politis dan agak berbeda jalur dari reformasi di Mukhtamar 1984 yang digerakkan Gus Dur untuk memisahkan NU dari politik. Tapi, mungkin itulah tantangan zaman dan kebutuhan NU saat ini. Dan Cak Imin sudah lebih dari cukup untuk membuktikan hal itu.
Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)