Site icon PinterPolitik.com

Cadar di Simpang Budaya

wanita bercadar (sumber: istimewa)

Mengapa harus ribut mengurus cadar?


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]iapapun pasti bakal resisten atau mencoba mempertahankan diri bila dikenai suatu larangan. Begitu pula yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswi bercadar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Rabu (7/3) lalu.

Beberapa waktu sebelumnya, pihak UIN Sunan Kalijaga mengeluarkan surat edaran yang melarang mahasiswinya memakai cadar atas alasan pencegahan ideologi anti Pancasila. Jika ada pihak yang menolak berubah dan mengikuti peraturan, maka pihak universitas tak sungkan mengeluarkannya dari kampus. Kontan saja edaran itu melahirkan pro dan kontra, baik di kalangan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga sendiri maupun masyarakat.

Mahasiswi bercadar di UIN Sunan Kalijaga langsung melakukan aksi protes, sambil tak lupa meminta pihak kampus turut membina dan menertibkan pakaian mahasiswa yang tidak bercadar. Permintaan itu, bagi para mahasiswi bercadar, adalah bentuk ganti diskriminasi yang menimpa mereka.

Bila ditelisik kembali, alasan pihak kampus melarang cadar hanyalah karena kekhawatiran berkembangnya aliran radikalisme dan kesulitan mengenali mahasiswinya saat ujian. Tindakan ini bisa dikatakan gegabah bila tak mau disebut sembrono. Bagaimana tidak? Saat mengeluarkan kebijakan, pihak kampus tidak melakukan perundingan terlebih dahulu yang melibatkan seluruh sivitas akademika.

Kampus atau universitas, seyogyanya menjadi tempat di mana ilmu dan ideologi yang ada dipelajari dan didiskusikan secara intelektual. Siapapun bisa menuntut ilmu, terlepas dari apa yang dikenakan, ideologi yang dianut, orientasi seksual, bahkan kelas sosialnya. Dengan demikian, pelarangan cadar  – begitu pula mewajibkan bercadar – merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar UUD 1945 pasal 28E ayat 1 dan 2.

Namun begitu, perlu pula kembali mempertanyakan dan menelusuri bagaimana fenomena serta polemik pemakaian cadar di Indonesia. Sebagai salah satu negara dengan penganut Islam terbesar di dunia, apakah adopsi pemakaian cadar juga harus dilakukan begitu saja? Lantas bagaimana pula seharusnya kementerian keilmuan di Indonesia menyikapi polemik ini?

Cadar: Versi Berbagai Mazhab

Bila membicarakan cadar, mustahil bila tidak mengaitkannya dengan ‘tabrakan’ budaya Timur Tengah dan Indonesia. Untuk mengawalinya, maka memahami peraturan pemakaian cadar dari beberapa mazhab (aliran atau pendapat intelektual Islam) tak bisa dihindarkan.

Islam mengenal empat mazhab yang utama, yakni mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali. Di antara keempatnya, perintah yang mewajibkan atau menyuarakan dengan ‘keras’ pemakaian cadar adalah mazhab Hambali. Sementara mazhab Syafi’i dan Maliki, memberi hukum Sunnah (dikerjakan dapat pahala, ditinggalkan tak berdosa), bahkan mazhab Maliki berpendapat bahwa menutup wajah hingga tersisa mata, merupakan perbuatan berlebihan (ghuluw).

Portal NU menyebutkan kalau perbedaan pandangan antar mazhab tersebut, dipengaruhi oleh cara penerjemahan teks ayat dan hadist. Dibandingkan dengan mazhab lainnya, mazhab Hambali memang memiliki hukum penerjemahan yang skriptual, ketat, dan konservatif. Ini pula disebutkan dalam buku Zaadul Maasir yang ditulis oleh Imam Abdul Faroj Al-Jauzi. Maka tak heran, pemakaian cadar dalam pandangan mazhab Hambali diwajibkan.

Islam sendiri memerintahkan muslimah menutup auratnya, selain wajah dan telapak tangan (selain keduanya, dianggap aurat). Perintah tersebut terdapat dalam surat Annur ayat 31, Al Araf ayat 31, Al Ahzab ayat 59. Namun begitu, penggunaan cadar, hukumnya lebih banyak diatur oleh mazhab dan hingga saat ini, masih banyak diperdebatkan oleh pakar Islam.

Selain masih diperdebatkan, penggunaan cadar yang hanya menyisakan kedua mata saja, oleh beberapa kalangan dianggap sebagai bentuk infiltrasi budaya Timur Tengah. Sumanto Al Qurtuby, pengajar Antropologi di Universitas King Fahd Arab Saudi, termasuk salah satu yang meyakininya.

Menurutnya, penggunaan cadar (niqab dan burqa) lahir dari budaya dan kondisi sosial Timur Tengah, jauh sebelum kelahiran Islam. Di Arab sendiri, misalnya, penggunaan cadar dipakai oleh berbagai umat agama tak hanya Islam. Agama lain juga menggunakannya, seperti Kristen Koptik, Katolik, Yahudi, hingga Buddha. Dengan demikian, cadar atau penutup wajah, tidak bisa begitu saja diartikan mewakili moralitas yang baik, kedewasaan, atau kualitas iman seseorang.  

Sementara itu, Abdul Mun’im Kholil, jurnalis Indonesia yang bekerja di Mesir, bercerita bila muslimah yang ditemuinya di Mesir memakai cadar karena fungsinya, yakni melindungi dari debu dan supaya tak diganggu oleh lelaki. Abdul jarang menemukan perempuan Mesir bercadar atas alasan ideologi atau seperti yang diwajibkan oleh mazhab Hambali.

Usaha Memulihkan Nama?

Terlepas dari fakta sejarah dan budaya yang ada, keputusan mengenakan cadar bagi sebagian perempuan muslim Indonesia, juga dianggap sebagai salah satu ekspresi spiritualitas dalam beragama yang haknya dilindungi.

Tetapi sayangnya, cadar sudah lekat dengan stigma radikalisme. Kampus UIN Sunan Kalijaga sendiri sebetulnya sudah pernah membubarkan organisasi HTI yang diklaim berideologi radikal, bahkan sebelum negara melakukannya. Sang rektor, Yudian Wahyudi, merupakan salah satu saksi yang menguatkan pembubaran HTI di Pengadilan Tata Usaha (PTUN). Tak hanya itu, salah satu dosen UIN Sunan Kalijaga, baru-baru ini juga resmi menjadi tersangka pendiri Muslim Cyber Army (MCA).

HTI di UIN Sunan Kalijaga (sumber: istimewa)

Bila melihat fakta di atas, sulit untuk tak mengaitkan keputusan kampus selaras dengan upaya membersihkan nama dari stigma kampus radikal. Hal ini sangat bisa dipahami, mengingat branding yang disuarakan oleh UIN Sunan Kalijaga adalah kampus islam toleran dan moderat.

Tetapi dengan branding demikian, tidakkah kesan kampus UIN Sunan Kalijaga malah menjadi paradoks? Jika toleran mengapa harus mendiskriminasi kelompok bercadar? Apakah tidak ada langkah lebih bijaksana untuk mengatur mahasiswa dan kegiatan di kampus?

Tak Ada yang Berhak Larang

Michel Foucault dalam bukunya berjudul Discipline and Punish, pernah berkata bahwa kebebasan tubuh tidak diberikan begitu saja secara alamiah. Tubuh adalah arena kontestasi politik, ideologi, institusi, dan sosial yang terus tarik menarik dan mempengaruhi. Secara sederhana, Foucault berkata bahwa tubuh sebenarnya bisa dikekang dan dikontrol.

Bila mengaitkan dengan kebijakan pelarangan cadar, apa yang disebutkan Foucault menjadi relevan. Kebijakan institusi pendidikan (UIN Sunan Kalijaga) yang mengeluarkan larangan bercadar, adalah upaya mengontrol tubuh para mahasiswi. Alasan kampus UIN Sunan Kalijaga yang berkiblat pada kekhawatiran radikalisme dan anti Pancasila, juga bisa saja terpengaruh oleh stigma cadar.

(sumber: istimewa)

Seperti yang dikatakan oleh Masruchah dari Komnas Perempuan, “Belum tentu orang yang menggunakan cadar itu pikirannya tertutup atau masuk dalam kategori orang-orang yang fundamentalis atau radikal,” ujarnya. Apa yang diungkapkan Masruchah, sama sekali tak salah.

Dengan demikian, langkah UIN Sunan Kalijaga mencabut pelarangan cadar pada Minggu (11/3) merupakan langkah ‘maju’ bagi akal sehat. Mengapa? sebab siapapun tak pantas diputus akses pendidikannya hanya karena memakai cadar di kampus. Seperti yang disebutkan sebelumnya, memakai cadar bukan jaminan berpikiran radikal.

Cadar, atau apapun jenis kain yang menutup wajah, adalah bentuk ekspresi spiritualitas individu. Karena spiritualitas bersifat pribadi, seharusnya tak ada otoritas yang mengendalikan ekspresi spiritualitas itu diwujudkan, sekalipun itu adalah otoritas negara.

Najib Azca, dosen sosiologi UGM berkata, salah satu langkah yang bisa diambil kampus UIN menghalau ideologi radikalisme adalah dengan diskusi akademik. Selain menghalau, diskusi akademik adalah salah satu jawaban atas berkembangnya berbagai pemikiran di kampus. “Tantangan universitas adalah riset dan edukasi untuk membuat siapa pun mendapat perspektif yang lain,” lanjut Najib.

Dengan begini, apakah drama ‘cadar’ lantas berakhir? Tak ada yang bisa menjamin. Tetapi hal pasti yang bisa disepakati adalah, kementerian pendidikan Indonesia masih gagap memahami persoalan cadar dan radikalisme, atau setidaknya menyebut hal itu adalah dua hal yang berbeda.  

Ini terlihat dari aksi saling lempar ‘tanggung jawab’ dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristek Dikti), hingga Kementerian Agama (Kemenag).

Kemenag yang membawahi semua UIN di Indonesia – PTN dibawahi oleh Kemenristek – memiliki wewenang untuk mengintervensi kebijakan kampus yang dinilai menghambat aktivitas akademis.

Namun, saat Kemenag dimintai keterangannya, lembaga ini malah balik menyebut semua keputusan adalah otonomi UIN Sunan Kalijaga. Ketiga lembaga di atas juga tak ‘mampu’ menyuarakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan UIN Sunan Kalijaga sembrono, bila tak mau disebut melanggar HAM.

Radikalisme memang berbahaya – semua pun tahu hal itu dengan baik – tetapi sekali lagi, melarang pemakaian cadar bukanlah solusi ampuh untuk menghalaunya. Alih-alih hilang yang ada paham tersebut makin ‘liar’ berkembang diam-diam. (A27)

Exit mobile version