Cuitan-cuitan buzzer yang menyibukkan diri di panggung publik kini mulai mengaburkan kebenaran. Kenyataan gelap ini adalah apa yang telah diprediksi oleh Aldous Huxley dalam novelnya Brave New World pada tahun 1932.
PinterPolitik.com
Penggunaan buzzer sebagai instrumen politik bukanlah barang baru. Seperti yang dikemukakan Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dalam penelitiannya yang bertajuk The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, fenomena manipulasi melalui media sosial yang terorganisir ini bahkan telah masif terjadi di 70 negara yang kerap kali digunakan untuk melakukan propaganda politik.
Buzzer pada hematnya adalah instrumen lazim, misalnya dalam dunia marketing. Namun, dalam penggunaannya sebagai instrumen politik, buzzer bertransformasi 180 derajat. Perannya tidak lagi hanya untuk kepentingan promosi, melainkan menjadi strategi penggiringan opini atau mendiskreditkan dan menjatuhkan lawan politik – singkatnya buzzer menjadi sarana black campaign (kampanye hitam) yang mumpuni untuk digunakan.
Dengan ucapan senada, Rinaldi Camil, peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) menegaskan bahwa buzzer untuk kepentingan politik praktis digunakan sebagai sarana kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan-lawan politik.
Menariknya, buzzer tidak hanya dipergunakan untuk kepentingan kampanye bagi politisi ataupun partai politik (parpol). Akan tetapi, pemerintah pun turut menggunakan buzzer sebagai instrumen yang dapat meredam bahkan membalikkan kritik.
Yang terbaru, tentu saja, serangan buzzer yang membangun narasi bahwa demonstrasi mahasiswa, khususnya siswa STM adalah gerakan yang dimotivasi oleh kepentingan ekonomi – alias massa bayaran.
Narasi ini setidaknya dilempar oleh akun twitter @yusuf_dumdum dan @OneMurtadha yang diduga merupakan buzzer pro-pemerintah. Berbagai cuplikan video dan sebuah screenshot (SS) berisi potongan percakapan grup WhatsApp siswa STM yang meminta bayaran aksi demo turut dihadirkan sebagai bukti penguat narasi.
Media seperti Tirto, melalui aplikasi True Caller dan getcontact kemudian mendapati bahwa nomor-nomor yang tertera dalam SS tersebut justru merupakan oknum-oknum polisi.
Tidak kalah heboh, akun berpengaruh seperti @Dennysiregar7 juga melemparkan narasi bahwa terdapat ambulans yang menyuplai batu bagi para pendemo, sesuatu yang kemudian diakui kekeliruannya oleh kepolisian.
Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit menuturkan bahwa untuk memecah konsolidasi mahasiswa, buzzer yang dikategorikan pro-pemerintah membangun narasi melalui tagar #MahasiswaPelajarAnarkis dengan tujuan untuk mendeskreditkan dan memberi kesan negatif pada aksi demo mahasiswa terbesar dalam dua dekade terakhir tersebut.
Tidak mengherankan, masifnya buzzer-buzzer yang membanjiri media sosial dengan cuitan-cuitan provokatif dan pengalihan isu ini justru semakin menaikkan tensi publik.
Menyadari hal tersebut Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengutarakan bahwa buzzer-buzzer pro-pemerintah justru menciptakan kondisi kontraproduktif yang semakin menaikkan tensi publik. Hal ini karena mereka kerap melemparkan kata-kata yang tidak enak didengar dan tidak enak di hati – khususnya terhadap aksi massa baru-baru ini.
Di luar penuturan Moeldoko, yang entah akan ditindak lanjuti secara praktis atau tidak, fenomena buzzer pro-pemerintah ini adalah apa yang telah diprediksi oleh Aldous Huxley dalam novelnya Brave New World (BNW) pada tahun 1932.
Bukankah internet, apalagi buzzer belum menampilkan eksistensinya di kala itu, lantas, prediksi dalam konteks apa yang dimaksudkan Huxley?
Peringatan Huxleyan
Novel BNW, sama halnya dengan novel Nineteen Eighty-Four (1984) milik George Orwell, keduanya menyajikan distopia akan bagaimana negara mengontrol warga negaranya secara total.
Bedanya, jika dalam 1984, Orwell menyajikan sosok negara yang merampas informasi sehingga menciptakan situasi kontrol yang dimotivasi oleh rasa takut dan kebencian.
Sementara itu, di dalam BNW, Huxley menyajikan sosok negara dengan kemajuan teknologi yang justru membanjiri informasi yang kemudian menciptakan situasi kontrol yang dimotivasi oleh kenikmatan (pleasure) dan ketidaktahuan.
Melalui tumpahan informasi, akan tercipta disinformasi masif yang membuat masyarakat tidak mampu membedakan mana informasi yang semestinya dipercaya. Pada akhirnya, hal ini akan melahirkan kondisi masyarakat yang justru tak acuh terhadap informasi – di mana akan membuat masyarakat menjadi pasif terhadap informasi, dan lebih memilih mementingkan dirinya sendiri (egoisme) di dalam pusaran informasi yang membingungkan.
Konteks Huxley tersebut, sangat relevan dengan kondisi masyarakat di kota-kota besar atau masyarakat urban yang justru semakin pasif dan egois ketika berhadapan dengan kecepatan dan keberlimpahan informasi. Kasarnya, masyarakat justru gagap menghadapi derasnya laju informasi.
Lantas pertanyaannya, bagaimana hal tersebut kemudian menjadi cara negara untuk mengontrol warga negara?
Seperti yang disebutkan sebelumnya, hal itu terjadi melalui kenikmatan dan ketidaktahuan. Maksudnya adalah, masyarakat yang telah terkondisikan pasif dan egois akan membuat masyarakat menjadi tidak kritis terhadap pemerintah dan cederung bersikap “bodo amat” terhadap apa yang tengah terjadi. Imbasnya, negara dapat berlaku apapun (otoriter) tanpa mendapatkan tekanan dari masyarakat.
Kondisi masyarakat yang semakin menjadi pasif dan egois ini kemudian dikenal dengan istilah peringatan Huxleyan (Huxleyan warning) yang diambil dari nama belakang Aldous Huxley.
Akan tetapi, tentu saja, titik pasif dan egois ekstrem seperti gambaran Huxley belum terjadi pada masyarakat Indonesia. Hal ini terlihat dari derasnya gelombang massa dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah ataupun produk hukum yang dinilai begitu sepihak (otoriter) dan berseberangan dengan aspirasi rakyat.
Akan tetapi, tanda-tanda dari peringatan Huxleyan sepertinya telah nampak nyata di tengah-tengah masyarakat. Lantas, tanda-tanda apa yang dimaksud?
Buzzer sebagai Instrumen Huxleyan
Tanda itu, mungkin adalah apa yang dianggap sebagian dari kita sebagai hal yang sepele ataupun lumrah, yaitu buzzer pro-pemerintah.
Pada kaidahnya, tugas buzzer ini sama dengan tugas para pengacara yang memiliki tuntutan kerja untuk membela sang klien yang telah membayarnya. Bagaimana pun caranya, sang klien harus tampil tidak bersalah di depan pengadilan demi terhindar dari hukuman.
Sama halnya dengan buzzer pro-pemerintah, apapun yang terjadi, mereka harus menciptakan kondisi di mana setiap kritik masyarakat terhadap pemerintah harus diredam, bahkan dibalikkan. Tujuannya, tentu, untuk menciptakan kondisi yang menampilkan bahwa pemerintah adalah entitas yang tidak berdosa.
Saat ini, mungkin levelnya tidak seekstrem dalam novel BNW. Akan tetapi, dengan level saat ini, nyatanya sudah mampu untuk membelah suara rakyat yang mengakibatkan terdapat beberapa pihak yang percaya demo ditunggangi.
Buzzer istana terlalu dungu untuk mengerti “politik identitas”. Memburuk.
— Rocky Gerung (@rockygerung) September 30, 2019
Secara eksplisit, pernyataan Moeldoko seperti mengakui bahwa buzzer pro-pemerintah memang ada, meski tak dikoordinasi langsung. Dengan kata lain, selama ini terdapat unsur pembiaran terhadap aktivitas-aktivitas buzzer tersebut, khususnya ketika masa kampanye Pilpres 2019 yang benar-benar melakukan polarisasi ekstrem di dalam masyarakat. Ini adalah strategi us vs them.
Pada akhirnya, saat ini buzzer-buzzer berfokus pada satu kolam yang disebut dengan pemerintah. Sekarang, buzzer-buzzer tersebut tidak memiliki narasi tandingan kecuali dari masyarakat yang sadar dan peduli atas kondisi saat ini.
Samantha dan Philip mengkategorikan buzzer menjadi empat kategori, yaitu minimal cyber troop teams, low cyber troop capacity, medium cyber troop capacity, dan high troop capacity. Buzzer Indonesia, menurut mereka menempati kategori low cyber troop capacity atau pasukan dengan kapasitas rendah.
Sekarang coba bayangkan, bagaimana apabila pihak yang terkait dengan pemerintah memutuskan untuk menaikkan level buzzer menjadi high troop capacity. Pada level ini, pemerintah dapat melakukan manipulasi narasi dengan sangat baik dan rapi, mengingat pemerintah memiliki instrumen-instrumen untuk melakukan itu, seperti lembaga statistika, data, riset, media, dan lain sebagainya. Ini adalah potensi yang dapat kapanpun diaktualisasi oleh pemerintah.
Terlebih lagi, apabila media-media mainstream dapat dikekang oleh pemerintah untuk turut menjadi buzzer-buzzer terselubung. Tapi untunglah, saat ini, media-media mainstream masih menjadi penyeimbang, bahkan menyalak dengan keras terhadap buzzer-buzzer, bahkan kepada pemerintah itu sendiri.
Pada akhirnya, tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai tulisan deskriptif yang hanya memaparkan realita, melainkan ditujukan sebagai peringatan bahwa tanda-tanda Huxleyan sudah terlihat dalam diri pemerintah. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.