Anggota Komisi XI DPR Masinton Pasaribu mempertanyakan sikap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang mengumpulkan buzzer dan influencer di kantornya saat masyarakat ramai menyoroti Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Bea Cukai. Masinton menyebut hal itu menunjukkan sikap amatir pemerintah dalam menanggapi kritik. Lantas, apa benar cara Sri Mulyani tersebut bisa meredam kritik seperti yang dituduhkan Masinton?
Rapat Kerja (Raker) antara Komisi XI DPR RI dan Kementrian Keuangan (Kemenkeu) dibanjiri kritik kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Salah satu anggota DPR yang mengkritik adalah Masinton Pasaribuf
Masinton mempertanyakan cara Sri Mulyani yang justru melakukan pertemuan dengan beberapa buzzer dan influencer media sosial (medsos) di kantor Kemenkeu saat kementrian tersebut menjadi sorotan masyarakat karena ulah beberapa pegawainya.
Sorotan publik kepada Kemenkeu bermula dari kasus mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Rafael Alun Trisambodo. Kemudian disusul pula gaya hidup mewah sejumlah pegawai lain yang terkuak hingga temuan transaksi janggal Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam gelaran Raker dengan DPR tersebut, bendahara negara berkesempatan memberikan penjelasan terkait reformasi birokrasi yang telah dilakukan Kemenkeu hingga memberikan klarifikasi secara rinci terkait temuan transaksi janggal yang menghebohkan publik.
Beberapa “so called” buzzer dan influencer yang hadir pada pertemuan dengan Sri Mulyani tersebut diantaranya Rudi Valinka (@kurawa), Guntur Romli, Bintang Emon, Babe Cabita, dr. Tirta, dll.
Masinton mengatakan sikap tersebut sebagai cara amatir pemerintah dalam menangani kritik di medsos.
Beberapa diantara mereka yang hadir dalam pertemuan tersebut memang sebelumnya sempat melemparkan kritik kepada Kemenkeu yang dianggap tidak bisa mengelola keuangan negara dan perilaku pegawai di bawahnya.
Menanggapi kritik Masinton tersebut, juru bicara (Jubir) Kemenkeu Yustinus Prastowo mengatakan pertemuan tersebut justru bertujuan untuk mendapat masukan hingga kritik dari publik yang diwakilkan oleh para buzzer dan influencer.
Menurutnya, pertemuan itu hanya awal dari rangkaian pertemuan dengan sejumlah pegiat antikorupsi lainnya.
Namun, sebuah pertanyaan masih tertinggal, utamanya di tengah sorotan tajam kepada kementriannya. Mengapa Sri Mulyani lebih memilih untuk mengadakan pertemuan dengan para pegiat medsos tersebut?
Kuatnya Pengaruh Dunia Siber?
Perkembangan teknologi yang begitu pesat di abad ke-21 ini tidak dapat dipungkiri ibarat pisau bermata dua.
Di satu sisi, perkembangan tersebut dapat memberikan manfaat yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah kehidupan manusia, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi senjata yang sangat berbahaya karena belum ada pihak yang dapat benar-benar mengatur aktivitas di dunia siber.
Richard A. Clarke dalam bukunya yang berjudul The Fifth Domain, memperingatkan bahwa dunia siber adalah zona kelima setelah laut, udara, darat, dan antariksa. Zona siber bisa menjadi wilayah paling rentan konflik.
Richard menilai kita sudah memasuki era di mana ancaman online dapat membawa konsekuensi yang sangat signifikanrdi dunia nyata.
Joseph S. Nye dalam bukunya yang berjudul Cyber Power juga menjelaskan pengaruh dan kekuatan di ranah siber akan menjadi hal yang sangat diincar pada abad ke-21.
Hal ini terjadi karena masalah di dunia siber lebih banyak terjadi di luar kendali dan pemahaman, bahkan di negara kuat sekalipun.
Berkaca pada penjelasan-penjelasan di atas dan dikaitkan dengan konteks kasus Kemenkeu, kekuatan dunia siber kemudian pada akhirnya membawa konsekuensi yang riil bagi Kemenkeu.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya Menkeu dan jajarannya sempat dipuji karena berhasil memaksimalkan pendapatan dari sektor pajak negara.
Namun, semua itu berubah 180 derajat saat satu masalah membuat Menkeu dan kementeriannya menjadi bulan-bulanan masyarakat di medsos.
Sorotan yang terjadi kepada Kemenkeu jelas diluar kendali kementrian tersebut. Gelombang sentimen yang hadir juga mengejutkan pihak Kemenkeu terutama Sri Mulyani yang selama ini jarang menuai kontroversi, terutama di dunia siber.
Dengan track record Sri Mulyani yang selama ini dipandang sebagai menteri yang berprestasi dan bahkan sudah diakui dunia internasional, kejadian ini kemungkinan besar “menampar” integritasnya.
Hal ini terjadi karena sejauh ini memang belum ada aktor mana pun yang mampu mengendalikan dunia siber sepenuhnya. Ini yang kemudian akhirnya menjadikan pengaruh dunia siber sangat kuat bagi kehidupan nyata.
Selain itu, karena semua pihak dapat menjadi aktor penting di dunia siber, aktor non-negara seperti individu atau kelompok akan semakin terdorong menjadi kompetitor entitas negara.
Hal tersebut yang tampaknya terlihat dalam kasus yang menimpa Kemenkeu. Aktor non-negara di dunia siber kemudian seakan menjadi kompetitor yang membongkar bobroknya birokrasi negara yang terjadi Kemenkeu.
Pada akhirnya, sorotan negatif yang masif kepada Kemenkeu tampaknya adalah bagian dari konsekuensi dari perkembangan teknologi yang pesat.
Suka atau tidak, saat ini peradaban manusia sedang dihadapkan pada era baru di dunia, era di mana kita dihadapkan dengan sebuah ancaman yang tidak terlihat.
Perkembangan teknologi yang kemudian menjadikan dunia siber memiliki pengaruh yang sangat kuat itu tampaknya isadari oleh Sri Mulyani. Hal ini yang tampaknya membuat Sri Mulyani mengumpulkan para buzzer dan influencer medsos di kantornya.
Sri mulyani kemungkinan besar sadar “ancaman online” terhadap Kemenkeu harus dilawan pada zona medsos juga, termasuk melalui mereka yang “menguasainya”.
Lalu, apakah cara Sri Mulyani yang mengumpulkan para pegiat medsos dapat meredam kekuatan opini di dunia siber yang menggerogoti Kemenkeu?
Sebuah Penggiringan Opini?
Seorang ilmuan politik dari Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama dalam artikelnya yang berjudul Social Media and Democracy mengatakan internet dan kebangkitan medsos telah mengubah pemahaman mengenai kebebasan berbicara dalam ruang publik di seluruh negara.
Ini terjadi karena komunikasi bernuansa politik bisa dengan bebasnya berseliweran di medsos. Hal itu disebut sebagai salah satu akibat dari implementasi sistem demokrasi.
Fukuyama menilai kebebasan berpendapat di ruang publik digital tidak bisa lagi dilihat sebagai tujuan mulia demokrasi saja, tetapi juga telah berubah bentuk menjadi pasar ide politik.
Fukuyama juga menilai tren politik di medsos saat ini, jika ada informasi yang buruk, solusi yang dilakukan oleh buzzer atau tokoh politik bukanlah menyensor atau mengaturnya, tetapi dengan mengeluarkan informasi lain yang lebih baik, yang pada akhirnya mampu menangkal informasi yang buruk tersebut.
Perspektif itu yang kiranya coba dilakukan oleh Sri Mulyani untuk menangkal informasi buruk di medsos terkait kinerja kementriannya dengan mengumpulkan para pegiat medsos yang sebelumnya juga sempat mengkritik Kemenkeu.
Dengan cara tersebut, Sri Mulyani agaknya berharap citra kementriannya kembali terangkat dengan seolah menerima masukan hingga kritik langsung dari publik yang diwakilkan oleh mereka yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Selain itu, para pegiat medsos tadi mungkin juga diharapkan dapat memberikan narasi penjelas maupun klarifikasi yang diutarakan Kemenkeu dalam pertemuan itu, maupun di kemudian hari.
Bagaimanapun, kapitalisasi opini publik di era informasi menjadi hal yang sangat lumrah di negara demokrasi.
Ini menjelaskan mengapa elite politik begitu candu pada indoktrinasi, seperti yang bisa kita lihat dalam kasus yang menimpa Kemenkeu.
Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Secret, Lies, and Democracy, mengatakan opini masyarakat telah menjadi sumber kekuatan politik negara demokrasi modern.
Chomsky melihat fenomena tersebut melalui analogi hume’s paradox, yang pada dasarnya menjelaskan paradoks bahwa penggiringan opini justru lebih populer dilakukan di negara demokrasi, dibandingkan negara otoriter.
Menurut Chomsky hal ini disebabkan karena jika ada kelompok atau individu yang berbeda pendapat di negara otoriter, pemimpinnya hanya perlu membungkam atau bahkan mungkin mengeksekusinya.
Sementara itu, di negara demokrasi, perbedaan pendapat disebut perlu disesuaikan melalui penggiringan opini.
Sri Mulyani tampaknya sangat memahami hal tersebut. Perbedaan pendapat yang terjadi dengan publik di medsos membuat Sri Mulyani merasa perlu menggiring opini publik bahwa Kemenkeu telah melakukan reformasi birokrasi dengan menindak oknum pegawai yang melakukan penyelewengan.
Hal tersebut yang kemudian tampak menjadi bahan diskusi Sri Mulyani dengan para pegiat medsos, agar para buzzer dan influencer ini dapat menyampaikan informasi tersebut di medsos. Termasuk kemungkinan ekspektasi untuk menggiring opini publik untuk memperbaiki citra Kemenkeu.
Merujuk pada penjelasan-penjelasan diatas, kiranya dapat disimpulkan bahwa selama suara publik masih memegang peranan dalam menentukan siapa yang berkuasa, kapitalisasi dan penggiringan opini publik akan tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam demokrasi.
Akan tetapi, analisis diatas masih sebatas interpretasi semata. Tujuan penggiringan opini yang coba dilakukan Sri Mulyani dengan mengumpulkan buzzer dan influencer di kantor Kemenkeu pun belum dapat dipastikan.
Yang jelas, publik tetap berharap Menkeu Sri Mulyani sebagai bendahara negara dapat mengelola keuangan negara dengan baik dan membina jajarannya agar tidak menyalahgunakan jabatan dan wewenang. (S83)