Intrik Ganjar Pranowo, Kiky Saputri, dan para buzzer yang dikaitkan dengan capres 2024 dari PDIP itu masih terus diperbincangkan di linimasa. Ini bukan pertama kali keluhan tentang buzzer yang dikaitkan dengan Ganjar muncul. Jika benar terafiliasi dengan Ganjar, koalisi PDIP, dan strategi politiknya, para buzzer ini kiranya justru kontraproduktif.
Perilaku para buzzer yang disebut-sebut terkait dengan bacapres 2024 Ganjar Pranowo kiranya akan berdampak kurang positif, baik bagi interaksi kondusif di dunia maya maupun terhadap dampak elektoralnya kelak.
Case terbaru memuncak dan seolah masih terus diperbincangkan setelah Ganjar mendapat kesempatan di-roasting oleh komedian Kiky Saputri di sebuah acara televisi.
Setelah mengungkapkan telaah kritis mengenai sensor dari tim Ganjar mengenai apa yang bisa dan tak bisa dibahas dalam roasting itu, Kiky mendapat serangan buzzer di kolom komentar postingannya, terutama di Twitter.
Kiky pun merasakan keresahan karena perilaku buzzer itu bahkan menjurus pada penyebaran fitnah. Menariknya, Kiky menyarankan agar para buzzer Ganjar di-reshuffle.
Fenomena dan manuver buzzer sendiri bukan hal baru jelang kontestasi elektoral di Indonesia. Setidaknya, sejak media sosial mulai masif digunakan untuk membentuk narasi dan opini di Pemilu dan Pilpres 2014.
Lalu, seperti apa sebenarnya korelasi buzzer, aktor politik, dan upaya untuk memengaruhi perilaku pemilih, khususnya saat berkaca pada intrik buzzer Ganjar dan Kiky?
Buzzer, Penjual Ide?
Sebenarnya cukup sulit menebak keberpihakan buzzer di ruang digital yang begitu luas. Termasuk apakah mereka benar-benar terafiliasi dengan entitas tertentu dengan tujuan tertentu pula.
Apalagi, ketika telah bersentuhan dengan narasi politik dalam demokrasi, dengan kebebasannya, yang saling memengaruhi satu sama lain.
Namun, satu esensi dikemukakan Ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama. Dirinya menilai kebebasan berpendapat di ruang digital tidak bisa lagi dilihat hanya sebagai tujuan mulia demokrasi, tetapi juga telah berubah bentuk menjadi pasar ide politik.
Buzzer, yang memiliki korelasi dengan entitas politik, bergerak layaknya pedagang yang menjual ide. Di sisi lain, masyarakat yang menjadi “calon pelanggan” akan melihat, menilai, dan pada akhirnya menentukan keputusan apakah akan membeli agenda politik tertentu. Tentu yang sesuai dengan preferensi personalnya.
Layaknya realita di “pasar”, tak semua penjual dan dagangan mereka memiliki kualitas baik. Refleksinya, akan selalu ada informasi buruk, propaganda, dan disinformasi yang sengaja dikeluarkan untuk memengaruhi narasi politik.
Dalam fungsinya untuk menetralisir isu, misalnya, solusi yang dilakukan menggunakan buzzer bukanlah menyensor atau mengaturnya, tetapi dengan mengeluarkan informasi lain yang lebih positif terhadap mereka atau tak substansial sama sekali dengan konteks pertama.
Ini yang pada akhirnya disebut mampu menangkal informasi yang buruk tersebut, kendati tak berlaku dalam semua kasus.
Kembali ke buzzer Ganjar, tak keliru kiranya jika menilai mereka pun selayaknya penjual ide yang menarasikan dan merespons konteks tertentu. Tinggal apakah para “pembeli” tertarik atau berubah pilihan dengan konstruksi impresi yang ditunjukkan.
Tinggal Andalkan Akal Sehat?
Menentukan pilihan kini menjadi esensi yang, tidak hanya harus dilakukan para audiens, tetapi sebenarnya juga harus disadari para penggerak buzzer.
Dalam hal ini, tentu dalam menentukan pilihan untuk bersikap lebih dewasa dan bijak dalam menarasikan isu tertentu di dunia digital.
Bagi audiens atau para pemilih, reputasi buzzer Ganjar di linimasa agaknya dikenal militan dalam artian yang negatif, yakni sangat agresif dalam melawan narasi minor seputar Ganjar, bahkan hingga ada yang bertendensi personal.
Saat melihat pemberitaan, misalnya, buzzer Ganjar beberapa kali dituding menyerang secara agresif. Tidak hanya kepada netizen yang kritis terhadap Ganjar, tetapi juga kepada aktor politik lain.
Sayangnya, kekuatan dengan karakteristik itu seolah dipertahankan hingga case terakhir dengan Kiky. Ihwal yang berakibat pada pertanyaan sampai kapan kekuatan itu dipertahankan dan korelasinya dengan manajemen impresi Ganjar itu sendiri.
Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Secret, Lies, and Democracy mengatakan pengetahuan atau opini masyarakat telah menjadi sumber kekuatan politik negara demokrasi modern.
Menurut Chomsky, jika ada kelompok masyarakat yang berani berbeda pendapat di negara otoriter, pemimpinnya hanya perlu membungkam, bahkan mungkin mengeksekusinya.
Sementara itu, di negara demokrasi, perbedaan pendapat perlu diselaraskan melalui penggiringan opini.
Masalahnya, nyaris mustahil ada pihak yang mengklaim bahwa gerakan terpola para buzzer di linimasa digerakkan oleh mereka. Anonimitas hingga akun alter atau palsu membuat akuntabilitasnya tak bisa dibuktikan secara jelas (zero accountability).
Oleh karena itu, dalam telaah spekulatif atau bahkan konspiratif, buzzer bisa pula digerakkan oleh pihak lain untuk memperburuk citra rivalnya. Saat diinterpretasi lebih lanjut, jawaban atas siapa “tuan” para buzzer bisa saja menjadi semacam spiral tak berujung, di antara pihak pertama atau pihak ketiga.
Kini, tinggal penilaian jernih dan objektif dari para audiens atau pemilih terhadap perilaku para aktor dan instrumen politiknya di media sosial. Utamanya, yang bermuara pada pilihan politik masing-masing individu nantinya.
Dalam intrik dengan Ganjar, Kiky sempat menyebut bahwa mantan Gubernur Jawa Tengah itu sebenarnya adalah orang yang baik. Kembali, perilaku buzzer-lah yang disebut Kiky membuat impresi Ganjar belakangan ini justru menjadi negatif.
Hal itu seolah menambah sejumlah variabel negatig Ganjar lainnya seperti blunder komunikasi politik di beberapa kesempatan, hingga sejumlah riwayat substansial seperti penolakan Piala Dunia U-20 hingga kasus agraria saat menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah.
Satu hal yang perlu dicermati, dalam kasus buzzer Ganjar dan poros politiknya, belum pernah ada bantahan bahwa buzzer itu memang bagian dari strategi politik mereka. Di titik ini, penafsiran agaknya bisa diterka arah dan pemetaan para aktor yang kemungkinan benar-benar terlibat di dalamnya.
Penjabaran di atas menjadi interpretasi yang kiranya perlu diketahui untuk tetap berperilaku bijak dalam merespons isu perpolitikan media sosial serta membuat penilaian terbaik terhadap pilihan politik di 2024 mendatang. (J61)