Site icon PinterPolitik.com

Buzzer dan WhatsApp Massa Bayaran

Buzzer dan WhatsApp Massa Bayaran

Para pelajar menjalankan aksi demonstrasi di Jakarta. (Foto: Tagar)

Di tengah kesimpangsiuran informasi mengenai siapa-siapa saja yang menimbulkan kericuhan dalam gelombang demonstrasi akhir-akhir ini, sebuah potongan percakapan grup WhatsApp yang mulanya diduga berasal dari kelompok pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM) tersebar di media sosial.


PinterPolitik.com

“And I be gassing up my buzz like some bees” – Tyler, the Creator, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Di tengah gelombang demonstrasi, “pertempuran” tampaknya juga terjadi di media daring. Baik demonstran maupun pemerintah saling melontarkan narasi di dunia digital.

Mahasiswa dan media misalnya, mengunggah berbagai informasi terkait rancangan-rancangan undang-undang (RUU) dan revisi Undang-undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap bermasalah. Selain RUU, poster-poster unik ala Generasi Z juga menjadi bahan pembicaraan di media sosial.

Tak hanya itu, informasi terkait apa yang terjadi di lapangan demonstrasi turut tersebar di berbagai platform daring – seperti Twitter dan Instagram. Kabar bahwa terjadi penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian di lingkungan posko medis Universitas Katolik Atma Jaya misalnya, menarik perhatian banyak warganet.

Namun, tampaknya beberapa pihak yang tak sepakat dengan mahasiswa juga turut menyajikan narasi versi mereka. Beberapa akun yang diduga merupakan buzzer pro-pemerintah – seperti @yusuf_dumdum dan @OneMurtadha – menyebarkan dugaan bahwa sebagian demonstran merupakan massa bayaran.

Berbagai cuplikan video yang menampilkan pengakuan beberapa orang menjadi andalan para buzzer ini. Selain video, sebuah screenshot berisi potongan percakapan grup WhatsApp turut menjadi perbincangan digital.

Tidak tinggal diam, beberapa warganet dan media berupaya mengecek keabsahan potongan percakapan yang mulanya diduga berasal dari massa pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM) itu. Beberapa nomor ponsel yang terlihat dalam screenshot tersebut ternyata ditengarai dimiliki oleh oknum-oknum polisi.

Meski pihak kepolisian telah menyangkal keterlibatannya, potongan percakapan tersebut menuai pertanyaan dan kontroversi. Mengapa informasi seperti ini menjadi ajang manipulasi? Lalu, siapakah sebenarnya yang berada di balik penyebarluasan informasi tersebut?

Manipulasi Informasi?

Screenshot percakapan grup WhatsApp yang terungkap tersebut bisa jadi merupakan bentuk manipulasi informasi. Boleh jadi, para buzzer yang turut menyebarkan merupakan pihak yang memanipulasi informasi itu.

Steven A. McCornack dalam tulisannya yang berjudul Information Manipulation Theory menjelaskan bahwa informasi dapat dimanipulasi mengikuti permintaan dalam situasi komunikasi yang kompleks. Dalam teori tersebut, dijelaskan pula bahwa manipulasi informasi dapat dilakukan melalui beberapa strategi atau jenis pesan.

Biasanya, manipulasi informasi dilakukan dengan menyebarkan informasi yang bersifat muslihat (deceptive). Dengan mengutip Sandra Metts, McCornack menyebutkan beberapa jenis pesan muslihat, yakni pemalsuan (falsification) yang dilakukan dengan menegaskan informasi yang berbeda dengan kenyataan atau menolak validitas informasi yang benar; distorsi (distortion) yang dilakukan dengan melebihkan, meminimalisir, dan pengelakan; serta penghilangan (omission) yang dilakukan dengan menghilangkan referensi-referensi yang relevan.

Penggunaan teknik-teknik manipulasi informasi ini mungkin dapat dilihat dalam kampanye #SawitBaik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Penyajian narasi akan manfaat-manfaat industri kelapa sawit dalam kampanye itu boleh jadi dilakukan dengan teknik distorsi dan omission.

Lantas, bagaimana dengan potongan percakapan WhatsApp yang tersebar di media sosial?

Terungkapnya berita percakapan grup WhatsApp di media sosial tersebut bisa jadi menjelaskan akan adanya manipulasi informasi dengan teknik pemalsuan. Setidaknya, screenshot tersebut menguatkan narasi mengenai dugaan adanya massa bayaran di balik gelombang demonstrasi mahasiswa.

Meski dengan adanya penguatan narasi, kebenaran akan informasi tersebut juga masih simpang siur. Hal yang justru bisa menjadi perhatian adalah bagaimana para akun yang diduga sebagai buzzer turut menyebarkan informasi-informasi yang diduga dimanipulasi.

Bisnis Buzzer

Peran buzzer dalam politik sebenarnya sudah tidak asing di telinga sebagian masyarakat – dan warganet tentunya. Seperti sebutannya, buzzer dianggap berperan dalam menciptakan kebisingan di jejaring internet.

Sebuah studi dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 mencoba menjelaskan bagaimana para buzzer daring bekerja. Dengan menggunakan Teori Jaringan Sosial milik Grannovetter, studi tersebut menjelaskan bahwa terdapat individu-individu yang memiliki kemampuan untuk memengaruhi opini individu lain – disebut sebagai opinion leader atau influencer.

Adanya kemampuan memengaruhi yang dimiliki para buzzer ini memunculkan industri baru. Studi tersebut menjelaskan bahwa industri buzzer ini biasanya digunakan jasanya untuk mempromosikan sebuah produk. Namun, semakin ke sini, jasa itu turut digunakan untuk kepentingan politik – seperti untuk kampanye pemilihan umum (pemilu).

Studi CIPG tersebut juga menjelaskan bahwa buzzer mengandalkan jejaring media sosial yang dimiliki – seperti jumlah followers – guna mengamplifikasi pesan-pesannya kepada masyarakat. Biasanya, para buzzer menggunakan tagar-tagar yang menarik perhatian warganet.

Twitter misalnya, menjadi kunci bagi penggunaan tagar-tagar di media sosial. Dengan manipulasi informasi dan tagar trending dari para buzzer di media sosial itu, warganet dan media dapat terpengaruh karena tagar-tagar itu kerap menjadi rujukan informasi.

Lalu, bagaimana dengan pemerintah? Apakah pemerintah juga menggunakan jasa buzzer untuk mengamplifikasi pesan dan informasi yang ingin disampaikan kepada masyarakat?

Pemerintah kini bisa jadi tengah menggunakan buzzer guna menghadapi gelombang demonstrasi yang tengah terjadi. Berbagai pihak, media, dan warganet menilai penggunaan buzzer oleh pemerintah benar-benar eksis – seperti dengan adanya tagar #DennySiregarPenyebarHoax di Twitter.

Mungkin, penggunaan buzzer oleh pemerintah yang paling kentara adalah program kampanye #SawitBaik. Kabarnya, kampanye tersebut turut didukung oleh ratusan buzzer media sosial.

Penggunaan buzzer oleh pemerintah semacam ini bukan tidak mungkin turut memakan biaya. Biaya jasa buzzer dinilai dapat mencapai jutaan hingga miliaran rupiah. Peneliti CIPG Rinaldi Camil menyebutkan bahwa biaya buzzer pada putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 saja dapat mencapai Rp 3 miliar.

Lantas, apa dampak politik lanjutan yang disebabkan oleh manipulasi informasi oleh para buzzer ini?

Buzzer dalam Diskursus

Para buzzer di media sosial dapat memengaruhi informasi dan narasi yang diyakini oleh masyarakat. Persoalan lanjutannya adalah bagaimana aktivitas para buzzer ini dapat memengaruhi diskursus di masyarakat.

Michel Foucault – filsuf asal Prancis – setidaknya memiliki pemikiran yang berkaitan dengan dinamika diskursus di masyarakat. Dinamika diskursus ini bisa saja turut memengaruhi kekuatan (power) yang dimiliki oleh negara.

Diskursus turut membangun kebenaran (truth) yang diyakini oleh individu maupun kelompok. Share on X

Diskursus ditengarai dapat membentuk pemahaman akan dunia. Pemahaman dan sikap individu atas suatu objek dan orang lain terbangun melalui interaksi-interaksi sosial – membentuk realitas sosial. Oleh sebab itu, diskursus turut membangun kebenaran (truth) yang diyakini oleh individu maupun kelompok.

Dalam dimensi politik, kompetisi diskursus dapat terjadi guna membentuk kekuatan dan pengaruh politik. Kompetisi ini bisa jadi dilakukan dengan memengaruhi kognisi (cara berpikir) masyarakat dalam menghadapi suatu objek atau persoalan.

Selain itu, diskursus juga berkaitan dengan individu pembuat pernyataan. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto misalnya, menyebutkan bahwa gelombang demonstrasi mahasiswa disusupi oleh penumpang gelap yang ingin menjegal pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dalam hal ini, apa yang dikatakan Wiranto bisa jadi diyakini benar oleh sebagian masyarakat. Dengan otoritas dan kekuatan yang dimilikinya, pernyataan dan diskursus dapat memunculkan efek kebenaran (truth effect).

Lantas, apa peran yang diisi oleh para buzzer?

Seperti yang dijelaskan dalam studi CIPG, para buzzer memiliki peran untuk menguatkan narasi dan informasi di media sosial. Jaringan dan interaksi sosial dalam diskursus dapat saja membantu dalam memberikan efek kebenaran.

Akibatnya, entah informasi yang disajikan merupakan hasil manipulasi atau tidak, kebenaran yang diyakini akan kembali menciptakan power bagi pemerintah. Bukan tidak mungkin, dengan peran buzzer, pemerintah semakin dapat mengaplikasikan power yang dimilikinya.

Dalam isu Papua misalnya, pemerintah dianggap memonopoli informasi dengan membatasi akses ke provinsi Papua dan Papua Barat. Penetapan aktivis Veronica Koman sebagai tersangka penyebar berita bohong bisa jadi merupakan perwujudan dari power tersebut.

Informasi yang disebarkan oleh pemerintah bisa saja telah menjadi kebenaran yang diyakini dalam diskursus masyarakat. Para buzzer yang dianggap mendukung pemerintah juga terlihat kerap menyaingi narasi yang disajikan oleh para aktivis terkait Papua.

Mungkin, hal yang sama juga tengah dilakukan terkait gelombang demonstrasi. Seperti lirik rapper Tyler, the Creator di awal tulisan, upaya buzzing pun semakin digencarkan, apalagi bila muncul gelombang oposisi tertentu. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version