PKB dan PDIP yang merupakan partai pengusung Novi Rahman Hidayat pada Pilkada Nganjuk 2018, saling lempar status kadernya. Novi saat ini tidak diakui oleh PKB dan PDIP. Apakah hal tersebut ada kaitannya dengan agenda partai pada Pilpres 2024?
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saling lempar status kader Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat (NRH). Status kader Novi sendiri ditolak setelah dirinya terjerat operasi tangkap tangan (OTT). Novi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan menerima suap terkait jual beli jabatan.
Novi maju dalam Pilkada Nganjuk 2018-2023 dengan diusung oleh PKB, PDIP dan Partai Hanura. Novi yang berpasangan dengan Marhaen Djumadi memenangkan kontestasi dengan meraup 303.192 suara atau 54,5 persen. Dahulu antar partai saling klaim sebagai pemilik kader, namun berbeda dengan saat ini.
Sekretaris Gerakan Sosial dan Kebencanaan DPP PKB Luqman Hakim meminta keberadaan Novi tidak dikait-kaitkan dengan PKB. PKB mengatakan Novi bukan kadernya. Hal ini didasari oleh tersebarnya video di media sosial yang berisi pernyataan Novi yang mengaku dirinya kader PDIP.
DPD PDIP Jawa Timur (Jatim) membantah video tersebut dan menuding Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKB Jatim sebagai partai yang menaungi Novi. Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Saiful Hidayat mengatakan Wakil Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi merupakan kader PDIP, bukan Novi.
Sempat dikabarkan bahwa Novi menjabat sebagai Wakil Ketua DPW PKB Jawa Timur periode 2021-2026. Sekretaris DPW PKB Jatim Anik Maslachah mengatakan Novi memang sempat berharap masuk dalam kepengurusan DPW PKB Jatim, namun tidak diakomodir karena Novi kader PDIP.
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan kedua partai politik saling lempar tanggung jawab. Sebagai pengusung partai, PDIP dan PKB seharusnya meminta maaf karena kepala daerah yang diusung bekerja tidak sesuai amanah rakyat.
Baca Juga: Gus Miftah-PDIP Cs dalam Hasty Generalization?
Direktur Pusat Kajian Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menjelaskan Novi memang didekati oleh partai saat pencalonan, namun Novi bukanlah kader partai asli. Novi menjadi kader partai setelah menjadi kepala daerah. Aditya berpendapat bahwa hal ini menunjukkan partai politik secara gamblang mengaku butuh figur kuat untuk menguatkan posisi partai.
Lantas, apakah pernyataan Aditya benar? Apakah mungkin ini ada kaitannya dengan Pilpres 2024?
Elektabilitas Partai Dipertaruhkan?
Menjelang Pilpres 2024, berbagai partai sudah mulai mencari kader unggulan yang ingin diusung untuk pemilu nanti. Safari politik pun sudah berlangsung dengan dugaan pembahasan Pemilu 2024, seperti pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Partai politik juga mulai menetapkan agenda politik masing-masing untuk menyambut Pemilu 2024. PDIP masih merembuk kader yang ingin diusung. Berdasarkan Lembaga Survei Indonesia (LSI), ada sejumlah nama politikus PDIP yang muncul pada survei Pilpres 2024.
Dua nama terkuat adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Selanjutnya ada Ahok, Tri Rismaharini dan Puan Maharani. Jokowi tidak mungkin menjabat kembali karena terhalang pada masa jabatan presiden maksimal 2 kali. Walaupun Ganjar memiliki elektabilitas tinggi, namun posisinya tersendat pada keputusan internal PDIP.
Selain PDIP, PKB juga melancarkan strategi untuk mencapai target politiknya di Pemilu 2024. Survei Litbang Kompas menyebutkan PKB memperoleh elektabilitas 5,5 persen. PKB mengatakan belum puas atas angka tersebut karena masih tertinggal dengan partai lainnya yang mendapatkan angka yang lebih tinggi.
PKB menyebutkan partai akan bekerja lebih keras untuk mencapai target. Target tersebut berupa peningkatan jatah kursi di DPR sebesar 100 persen dengan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen.
Disebutkan juga PKB berencana untk mengusung Ketua Umum DPP PKB Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin untuk maju di Pilpres 2024. DPW PKB Provinsi Banten sudah menyatakan komitmennya untuk mengusung Cak Imin sebagai presiden untuk pemilu mendatang. Masing-masing PKB dan PDIP memiliki target dan agenda politik sendiri untuk Pemilu 2024. Namun, untuk mencapainya , kedua partai harus memperoleh citra yang baik agar mendapatkan dukungan dari masyarakat. Kasus yang menjerat Novi dapat merusak citra kedua partai dan menghalangi partai mencapai target politik.
Baca Juga: Ganteng Gerindra vs Cantik PKB
Hal ini dapat dijelaskan melalui tulisan Khoiruddin Muchtar yang berjudul Komunikasi Politik dan Pembentukan Citra Partai. Khoiruddin mengatakan citra positif partai merupakan hal yang esensial yang membawa kesuksesan organisasi. Citra positif dapat diperoleh atas hubungan kepercayaan masyarakat yang dibangun. Partai juga dapat memperoleh citra positif dengan menyuarakan kepentingan masyarakat.
Berangkat dari tulisan Khoiruddin, kasus Bupati Nganjuk tentu akan mempengaruhi citra kedua partai. Jika citra tercederai, maka PDIP dan PKB dapat mengalami kesulitan untuk mencapai target politik untuk Pemilu 2024. Hal ini juga menjelaskan PDIP dan PKB memilih saling lempar tanggung jawab.
Publisitas Partai Buruk?
Citra baik partai juga bergantung pada publisitas media terkait partai. Tulisan Jesper Stromback dan Lars Nord yang berjudul Political Marketing: The Road To Electoral Success or To Electoral Backlash menjelaskan strategi partai politik untuk menang pada pemilu.
Stromback dan Nord menjelaskan ada empat hal yang menjadi target partai, yakni meningkatkan pengaruh partai, memaksimalkan dukungan pemilih, memaksimalkan keutuhan internal dan memaksimalkan publisitas yang positif. Terkait publisitas, media merupakan salah satu aktor yang mempengaruhi publisitas partai.
Jika dilihat dari publisitasnya, posisi PDIP cukup terancam akibat banyaknya kader yang terjerumus kasus korupsi. Kasus-kasus tersebut cukup marak diberitakan di media.
Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda mengatakan bahwa korupsi merupakan salah satu faktor terbesar yang dapat menjatuhkan partai politik. Yuda memberi contoh pada 2009, di mana elektabilitas PKS dan Demokrat terjun bebas akibat kasus korupsi.
Korupsi dapat menghalangi agenda PDIP yang ingin hattrick di Pemilu 2024. Beberapa faktornya berupa kasus korupsi eks Menteri Sosial Juliari Batubara dan masih buronnya tersangka kasus suap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Harun Masiku. Untuk menghindari elektabilitas anjlok, PDIP tentu harus menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi.
Pengamat politik Rocky Gerung bahkan menyebutkan PDIP sebagai sarang koruptor. Hal ini didukung kuat pada kasus tiga kader PDIP yang terkena OTT dalam 10 hari pada Desember lalu. Mereka adalah Wali Kota Cimahi yang juga menjabat Ketua DPC PDIP Kota Cimahi Ajay Priatna, Bupati Banggai Laut yang juga Ketua DPC PDIP Banggai Laut Wenny Bukamo dan Juliari Batubara.
Baca Juga: Siasat Cak Imin Capres 2024?
Sementara PKB, dari segi publisitas, PKB terlihat lebih unggul dari PDIP karena tidak terseret kasus korupsi. Namun, PKB sempat digoyang isu pelaksanaan Muktamar Luar Biasa yang digagas Gerakan Reformasi PKB.
Pada kesimpulannya, Bupati Nganjuk dapat menghalangi PKB dan PDIP untuk memperoleh agenda politik mereka di Pemilu 2024. Maka dari itu, tindakan saling lempar tanggung jawab dan menghindari tindakan meminta maaf menjadi pilihan yang terbaik untuk mengamankan posisi kedua partai.
Walaupun begitu, kedua partai tetap harus membenahi berbagai masalah untuk memperbaiki publisitas dan citra partai, seperti PKB memperbaiki solidaritas internal dan komitmen PDIP dalam memberantas korupsi. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.