HomeNalar PolitikBumerang Kartu Prakerja Jokowi

Bumerang Kartu Prakerja Jokowi

Iming-iming dana segar menarik minat jutaan orang untuk mendaftarkan diri sebagai penerima Kartu Prakerja di tengah kesulitan ekonomi akibat Covid-19. Namun di sisi lain eksekusi kebijakan tersebut saat ini dinilai melenceng dari urgensi serta relevansinya dan berpotensi menjadi sentimen minor bagi pemerintah Jokowi.


PinterPolitik.com

Berada di ujung ngarai kesulitan ekonomi yang dalam akibat Covid-19, memaksa jutaan orang untuk berebut menjadi penerima bantuan dana di depan mata berupa Kartu Prakerja. Tentunya upaya apapun akan dilakukan oleh mereka yang telah dan menjadi kelompok ekonomi rentan, setidaknya demi bertahan nafas lebih panjang di tengah kesulitan ini.

Situs pendaftaran secara daring Kartu Prakerja ramai diserbu para kandidat penerima program bantuan sosial pemerintah tersebut. Menjadi bagian dari janji kampanye Jokowi pada Pilpres 2019, awalnya program ini direncanakan untuk dilaksanakan paling lambat pada Februari 2020. Namun, hantaman Covid-19 di Indonesia akhirnya membuat realisasi program mundur ke minggu kedua April 2020.

Selain pengunduran waktu, terdapat beberapa penyesuaian lain yang berubah dari rencana awal Kartu Prakerja. Dampak ekonomi yang bermuara pada PHK massal akibat Covid-19, membuat program ini terkesan “diselipkan” sebagai bagian dari paket stimulus ekonomi pemerintahan Jokowi.

Selain itu, nominal anggaran dan jumlah penerima manfaat naik dua kali lipat menjadi Rp 20 triliun untuk sekitar 5 juta peserta. Sementara target penerima saat ini masih sama, yaitu bagi para pencari kerja serta korban PHK. Nantinya, menurut pemerintah, mereka diproyeksikan untuk mendapatkan dana untuk pelatihan keterampilan serta sejumlah insentif selama empat bulan program ini berlangsung.

Namun demikian, jika kita sedikit menengok ke belakang, program Kartu Prakerja ini mendapatkan berbagai respon kurang positif dari berbagai pihak. Bahkan proyek kampanye andalan Jokowi ini juga dipertanyakan oleh orang dekatnya sendiri yang duduk di pos menteri.

Ekonom Center of Reform in Economics (CORE), Akhmad Akbar Susamto misalnya, menilai sejak awal program Kartu Prakerja tidak akan mengatasi masalah pengangguran dan justru akan memberi permasalahan baru pada sisi anggaran. Bahkan, hal senada sudah disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada Januari lalu.

Dalam sebuah kesempatan, Menkeu bercerita bahwa ia sempat kebingunan dan mempertanyakan bagaimana merealisasikan kampanye Kartu Prakerja dengan anggaran sebesar Rp 10 triliun ketika itu. Namun menurut Menkeu, Jokowi mengatakan “pokoknya kampanye dulu”.

Seiring waktu setelah berhasil mempertahankan tampu kekuasaan, Jokowi tetap bergeming terkait saran dan kritik berbagai pihak terkait Kartu Prakerja. Kemudian di luar dugaan, organisme mikroskopik bernama Covid-19 yang mewabah turut membombardir sektor perekonomian Indonesia pada Maret 2020 dan turut berdampak pada berbagai rencana kebijakan Jokowi, termasuk program Kartu Prakerja.

Lantas, apakah pandemi Covid-19 saat ini merupakan waktu yang tepat untuk tetap mengeksekusi program kartu “sakti” Jokowi edisi Prakerja ini?

Tunggangi Momentum

David Sears dalam publikasinyaSelf-Interest vs. Symbolic Politics in Policy Attitudes and Presidential Voting” menyatakan bahwa sikap simbolis (simbolic attitudes) dapat merefleksikan self interest atau kepentingan pribadi yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu, self interest juga cenderung mejadi basis dari kebijakan yang bersifat simbolis lainnya.

Kutipan pernyataan Sears tersebut cukup merefleksikan bagaimana kebijakan simbolis berbagai kartu andalan Presiden Jokowi dieksekusi berdasarkan self interestnya. Pemerintahan Jokowi sendiri, sejak periode pertama dikenal memiliki kebijakan pemberian bantuan dana sosial berbasis kartu.

Selain Kartu Prakerja, publik yang mengamati janji kampanye Jokowi tentu tidak asing dengan Kartu Indonesia Pintar edisi kuliah, Kartu Sembako Murah, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar edisi sekolah, serta Program Keluarga Harapan.

Banyak kalangan menilai bahwa berbagai program kartu sakti tidak efisien dan efektif. Mulai dari akurasi data penerima, nominal bantuan yang diterima, hingga bagaimana realisasi pemanfaatan oleh penerima menjadi persoalan akuntabilitas penting yang seharusnya diperhatikan pemerintah.

Namun berbagai saran dan masukan positif, baik sebelum hingga selama pelaksanaan berbagai bersimbol kartu tersebut, sepertinya harus mengalah dengan self interest atau kepentingan kampanye Jokowi yang terlanjur dijanjikan.

Ihwal ini juga terjadi pada Kartu Prakerja. Bahkan, Menkeu Sri Mulyani di awal tahun ini menguak fakta bahwa Jokowi terkesan memaksakan kampanye Kartu Prakerja beranggaran besar, yang ketika itu membuat Sri Mulyani sendiri bingung bagaimana realisasinya. Hal ini kemudian dinilai sebagai indikasi bahwa “gimik” berbagai kartu andalan Jokowi sebenarnya tidak memiliki perencanaan yang baik.

Terlebih ketika rencana implementasi program Kartu Prakerja cukup terhalang oleh pandemi Covid-19. Dalam situasi yang sebenarnya dinilai kurang relevan, program tersebut tetap dieksekusi oleh Presiden Jokowi dengan menyelipkannya di antara stimulus ekonomi Covid-19.

Momentum Covid-19 juga nampaknya dimanfaatkan dengan “cerdik” oleh Presiden Jokowi untuk melipatgandakan anggaran kartu Prakerja menjadi Rp 20 triliun bagi sekitar lima juta penerima. Ini tentu menimbulkan penafsiran bahwa program simbolik politis Kartu Prakerja, yang sejak awal telah dinilai agak dipaksakan, akhirnya turut “diselundupkan” bersama paket gelontoran dana darurat bernominal besar untuk bantuan sosial penanganan pandemi.

Selain itu, kombinasi momentum saat ini ketika banyak pekerja yang diPHK akibat Covid-19, disinyalir seolah menjadi justifikasi sekaligus glorifikasi atas kedermaan pemerintah untuk menyediakan dana penyelamat, yang nyatanya hanya bersifat temporer.

Ketika kita sampai pada titik ini, kemudian muncul pertanyaan mengenai akankah manuver aji mumpung program Kartu Prakerja pemerintahan Jokowi di tengah pandemi Covid-19 justru menjadi bumerang negatif tersendiri?

Sinyal “Backfire”?

Richard Fox dan Jennifer Lawless menyebutkan konsep dynamic ambition dalam publikasinya berjudul “Gaining and Losing Interest in Running for Public Office: The Concept of Dynamic Political Ambition.” Konsep dynamic ambition menggambarkan bahwa aktor politik dalam prosesnya akan selalu mengalami waktu di mana ia akan mendapatkan atau kehilangan ambisi politiknya sendiri.

Berkaca pada konsep tersebut, Presiden Jokowi dinilai berkeputusan bahwa pandemi Covid-19 ini menjadi momentum tepat merealisasikan ambisi program Kartu Prakerja andalannya. Selain memang telah bersikukuh untuk segera diimplementasikan, insentif ini kemudian dikemas sedemikian rupa dan digadang-gadang menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan saat pandemi Covid-19 ini.

Entah disadari atau tidak, faktanya eksekusi program Kartu Prakerja saat ini dinilai tidak sesuai dengan urgensi maupun relevansi di lapangan. Hal ini dikarenakan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, termasuk kalangan yang belum memiliki pekerjaan serta korban PHK, saat ini ialah kebutuhan dasar harian mereka yang semakin sulit dipenuhi.

Realitanya, visi Kartu Prakerja seolah berlawanan arus dengan tren saat ini di mana justru banyak perusahaan yang melakukan PHK ataupun merumahkan tenaga kerjanya. Hal ini semakin menegaskan melencengnya relevansi Kartu Prakerja.

Tanpa pandemi Covid-19 saja, angka pengangguran berada di kisaran 7,1 juta orang pada tahun 2019 dan diprediksi bertambah di tahun ini. Sementara korban PHK akibat Covid-19 sendiri mencapai 2,8 juta orang. Jika diakumulasi akan sangat jauh dari target 5 juta orang penerima Kartu Prakerja.

Pada frekuensi lainnya, masyarakat yang mengandalkan upah harian atau masuk kategori kelompok ekonomi rentan akibat Covid-19 juga masih sangat masif. Saat ini, jumlah pekerja sektor informal di Indonesia berada di angka 75,9 juta orang, sementara jumlah masyarakat yang mengandalkan pekerjaan paruh waktu sebanyak 36,54 juta orang.

Berdasarkan data di atas, esensi Kartu Prakerja berupa pelatihan dan peningkatan keterampilan dinilai hanya akan menjadi formalitas belaka. Insentif berupa uang tunai yang diterima juga memiliki kecenderungan bahwa akan sepenuhnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang menjadi urgensi prioritas masyarakat saat ini.

Selain karena menyempitnya lapangan pekerjaan akibat Covid-19, jaminan bahwa penerima Kartu Prakerja akan terserap dunia kerja pun memang nihil kepastian. Hal ini menjadikan alasan mengapa Kartu Prakerja dinilai belum memecahkan persoalan ketenagakerjaan.

Rangkaian sinyal tersebut membuat agaknya sulit untuk tidak mengatakan bahwa program Kartu Prakerja Presiden Jokowi akan menjadi bumerang negatif tersendiri baginya, baik dari sisi legitimasi kebijakan maupun dalam strategi penanganan pandemi Covid-19.

Di luar itu semua, tentu kita juga mengapresiasi bahwa janji kampanye Presiden Jokowi tersebut berhasil direalisasikan. Akan tetapi, mantan Wali Kota Solo tersebut sepertinya juga harus memberikan evaluasi terkati ketetapan dari Kartu Prakerja tersebut. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Peekaboo Jokowi-Golkar
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?