Vonis 12 tahun terhadap Juliari Peter Batubara mendapat perhatian luas masyarakat. Namun, ini bukan soal vonis yang jauh dari tuntutan publik, melainkan alasan hakim dalam memberi keringanan, yakni sudah di-bully oleh masyarakat. Mengapa keputusan semacam itu bisa terjadi?
“The rules of logic are to mathematics what those of structure are to architecture.” – Bertrand Russell, filsuf Inggris
Ketidakpuasan jelas tergambar di benak publik. Betapa tidak, pada 29 Juli 2020 Ketua KPK Firli Bahuri pernah menegaskan bahwa korupsi di tengah pandemi Covid-19 dapat dijerat hukuman mati. Namun, seperti yang diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK justru hanya menuntut eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara hukuman 11 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Menurut berbagai pihak, korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang dilakukan Juliari telah memenuhi unsur untuk diberikan hukuman maksimal sesuai Pasal 12 huruf b UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yaitu hukuman seumur hidup. Pakar hukum dari Legal Talk Society, Petrus Richard Siantury juga menyebutkan bahwa kasus Juliari termasuk dalam waktu kahar, waktu “luar biasa”, atau waktu bencana.
Dalam situasi semacam itu, kejahatan yang dilakukan idealnya akan diancam hukuman yang lebih berat dibandingkan ketika situasi normal.
Terlepas dari berbagai tuntutan yang ada, vonis sudah diputuskan terhadap kasus Juliari. Pada 23 Agustus, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor mengganjar Juliari dengan vonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca Juga: Tuntutan Rendah Juliari, Kontradiksi KPK?
Menariknya, bukan besaran vonis yang menjadi fokus perhatian berbagai pihak, melainkan pertimbangan hakim dalam memberikan keringanan putusan, yakni telah di-bully oleh masyarakat. “Keadaan meringankan, terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat,” ungkap anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
Ya, seperti yang mudah ditebak, pertimbangan tersebut menimbulkan berbagai reaksi minor. Direktur Pusako Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, misalnya, menyebut pertimbangan tersebut janggal.
“Apa alat ukur hakim bahwa publik melakukan penghinaan kepada terdakwa? Seberapa banyak yang mencerca dan berapa yang membela? Kalau hanya berbasis perasaan dan asumsi hakim, itu tidak pas,” ungkapnya pada 24 Agustus.
Sensibilia Keadilan
Selain menyebut janggal, Feri juga melakukan perbandingan. Nyatanya, berbagai kasus pencurian tidak mendapatkan keringanan meskipun mendapatkan hinaan masyarakat, lantas mengapa Juliari diberi keringanan?
Apa yang dilakukan Feri tersebut disebut dengan argument from analogy. Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon dalam buku Introduction to Logic menjelaskan, argument from analogy atau argument by analogy adalah argumentasi yang dilakukan dengan cara membandingkan kasus terbaru dengan kasus atau pengalaman sebelumnya yang dinilai sama atau mendekati –mirip.
Menurut Fabrizio Macagno dan Douglas Walton dalam tulisannya Argument from Analogy in Law, the Classical Tradition, and Recent Theories, bentuk argumentasi tersebut memang menjadi bentuk argumentasi yang umum dalam penalaran hukum. Untuk menilai suatu keputusan hukum, kerap kali dilakukan perbandingan dengan kasus-kasus sebelumnya.
Tidak hanya menjadi bentuk penalaran, argument from analogy nyatanya menjadi landasan atas diterapkannya yurisprudensi. Ini adalah keputusan-keputusan hakim terdahulu yang dijadikan sebagai pedoman bagi hakim lain untuk menyelesaian suatu perkara yang sama.
Menariknya, karena cara kerjanya yang sederhana, argument from analogy tidak hanya digunakan oleh mereka yang berkecimpung di bidang hukum, melainkan juga masyarakat umum dalam menilai suatu putusan pengadilan.
Baca Juga: Memahami Logika Juliari Korupsi Bansos Covid-19
Tidak heran kemudian, pertimbangan keringanan yang diterima Juliari dinilai masyarakat luas “tidak adil” karena tidak terjadi pada kasus-kasus lainnya. Pada kasus Setya Novanto, misalnya, kendati mendapatkan bully tiada henti, bahkan sampai sekarang, nyatanya tidak menjadi pertimbangan untuk memberi keringanan.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman juga memberi kritik tajam. Menurutnya, korupsi yang dilakukan Juliari sehingga masyarakat memberikan hinaan dan cacian seharusnya menjadi alasan memberatkan, bukannya meringankan.
“Menurut saya, pertimbangan ini cacat logika,” ungkapnya pada 25 Agustus.
Kekeliruan Penalaran
Mengutip kritik Zaenur Rohman, menjadi pertanyaan sendiri, mengapa sesuatu yang seharusnya memberatkan, justru menjadi alasan untuk meringankan. Mengacu pada Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, persoalan tersebut disebut dengan swimmer’s body illusion atau ilusi tubuh perenang.
Mengutip Nassim Nicholas Taleb, Dobelli menjelaskan bahwa swimmer’s body illusion adalah bias kognitif atau kekeliruan logis yang terjadi ketika seseorang keliru dalam menentukan mana yang menjadi sebab dan akibat.
Ini bertolak dari kesalahan umum dalam menentukan apakah perenang memiliki tubuh yang bagus karena mereka berenang, atau karena memiliki tubuh yang bagus yang membuat mereka menjadi perenang yang handal.
Umumnya, akan dijawab berenang membuat tubuh menjadi bagus. Padahal, seseorang dapat menjadi perenang yang handal karena sebelumnya memang telah memiliki tubuh yang bagus.
Seperti yang disebutkan Zaenur Rohman, besar kemungkinan pertimbangan keringanan terhadap Juliari terjebak dalam ilusi tubuh perenang. Telah keliru ditentukan, mana yang menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat.
Hinaan dan cacian publik semestinya dipahami sebagai reaksi publik atas ketidakadilan yang terjadi (dipahami sebagai “akibat”), bukannya sebagai alasan untuk meringankan (dipahami sebagai “sebab”).
Jika benar demikian, mengapa kekeliruan logis tersebut terjadi dalam pertimbangan vonis Juliari?
Ruggero J. Aldisert, Stephen Clowney, dan Jeremy D. Peterson dalam tulisannya Logic For Law Students: How to Think Like a Lawyer memberikan penjelasan yang sepertinya cukup memuaskan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Menurut mereka, sekolah hukum saat ini tidak lagi mengajarkan logika. Padahal, logika sebagai alat bernalar (tool) begitu penting untuk memeriksa valid tidaknya suatu argumentasi. Tidak hanya untuk memeriksa dasar-dasar silogisme deduktif, logika juga berperan vital untuk menghindari kesalahan dalam menggunakan analogi.
Kembali mengacu pada buku Introduction to Logic, kendati argument from analogy menjadi praktik yang umum, penggunaan analogi sebagai argumentasi begitu rentan karena sering kali terjebak dalam disanalogy atau false analogy (analogi yang keliru).
Baca Juga: Juliari, Saatnya Bubarkan Parpol?
Meskipun konteks tulisan Aldisert, dkk, adalah sekolah hukum di Amerika Serikat (AS), penjelasan yang mereka berikan sekiranya dapat diadopsi di Indonesia. Pasalnya, mata kuliah ilmu logika untuk kepentingan penalaran memang bukanlah mata kuliah wajib di perguruan tinggi di Indonesia.
Sepengetahuan penulis, mata kuliah tersebut hanya wajib diberikan bagi mereka yang menekuni studi ilmu filsafat. Di program studi ilmu filsafat Universitas Indonesia (UI), misalnya, mata kuliah ilmu logika diberikan selama dua semester di tahun pertama perkuliahan. Itu diberikan untuk menjadi bekal mahasiswa untuk membedah pemikiran para filsuf.
Kekhawatirannya, pertimbangan keringanan terhadap vonis Juliari dapat menjadi yurisprudensi yang digunakan di kasus-kasus korupsi lainnya. Kembali pada Aldisert, dkk, ini lah alasan mengapa logika penting digunakan untuk memeriksa argumentasi atau penalaran.
Jika menggunakan logika yang ketat, swimmer’s body illusion seperti yang ditunjukkan Zaenur Rohman sekiranya tidak akan terjadi. Mestilah dapat dideteksi tengah terjadi kekeliruan dalam menentukan sebab dan akibat, sehingga pertimbangan semacam itu tidak dikeluarkan.
Well, pada akhirnya, apa pun yang menjadi alasan di balik pertimbangan keringanan vonis Juliari, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor telah mengetuk palu dan kita harus menghormatinya. (R53)