Indonesia akan membangun Bukit Algoritma Sukabumi yang terinspirasi dari Silicon Valley Amerika Serikat. Konsep Silicon Valley ini memang berhasil meningkatkan ekonomi dan menampung ide-ide inovatif di beberapa negara. Namun, apakah Bukit Algoritma ini akan sesuai dengan ekspektasi?
Budiman Sudjatmiko, Komisaris PTPN V sekaligus Ketua Pelaksana Kiniku Bintang Raya KSO, meramal Indonesia di masa depan akan memiliki banyak pusat pengembangan inovasi dan teknologi. Mungkin untuk menjawab “ramalannya,” ia mendukung pengembangan Bukit Algoritma yang akan dibangun di Sukabumi. Bukit Algoritma Sukabumi rencananya akan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pengembangan Teknologi Industri 4.0 yang letak persisnya di kawasan Cikidang dan Cibadak.
Bukit Algoritma ini sendiri terinspirasi dari Silicon Valley yang ada di San Fransisco, Amerika Serikat. Silicon Valley yang ada di negara Paman Sam ini merupakan pusat inovasi yang menampung 2.000 perusahaan teknologi, seperti Apple, Facebook, Google, dan Netflix.
Berangkat dari konsep Silicon Valley, Bukit Algoritma diharapkan akan menjadi pusat research and development untuk mengembangkan inovasi dan teknologi. Bukit Algoritma menjadi bentuk adaptasi Indonesia menuju Revolusi 4.0. Disebutkan Bukit Algoritma ini menjadi tempat untuk menampung ide anak bangsa, meningkatkan pendidikan dan sektor pariwisata. Budiman bercita-cita kawasan ini akan mengembangkan berbagai inovasi, seperti kecerdasan buatan, robotik, drone hingga panel surya untuk energi ramah lingkungan.
Proyek gigantic ini akan menggunakan lahan sebesar 888 hektar. Pembangunan tahapan awal akan membutuhkan dana 1 miliar euro atau setara Rp 18 triliun. PT Amarta Karya (AMKA), BUMN konstruksi ditunjuk menjadi mitra infrastruktur proyek tersebut.
Bukit Algoritma dilihat sebagai jalan keluar bagi Indonesia untuk mengembangkan pembangunan sumber daya manusia berbasis iptek dan mendorong ekonomi nasional. Namun, proyek ambisius ini membawa kita ke beberapa pertanyaan.
Baca Juga: Suez: Saatnya Jokowi Ingat Sriwijaya?
Apakah membangun infrastruktur fisik menjadi solusi bagi Indonesia mengembangkan inovasi? Walaupun tidak menggunakan APBN, bukankah Indonesia dapat mengalokasi dana sebesar Rp 18 triliun untuk program yang lebih tepat sasaran? Apakah Bukit Algoritma akan terealisasi sesuai dengan harapan?
Bukit Algoritma sebagai frogleap?
Sikap ambisius merupakan hal yang baik untuk kemajuan. Namun, dalam konteks pembangunan Bukit Algoritma, ambisius dan cita-cita tentu bukan modal yang cukup dalam merealisasikan proyek jangka panjang ini.
Banyak yang skeptis terhadap ide pemerintah dalam merealisasikan Silicon Valley-nya Indonesia. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sudah was-was agar proyek ini tidak menjadi gimmick belakang. Ia juga skeptis Bukit Algoritma ini akan sesuai dengan ekspektasi. Kang Emil juga membandingkan Bukit Algoritma dan Silicon Valley yang memiliki konteks yang berbeda.
Bukit Algoritma muncul karena revolusi industri 4.0 yang saat ini melanda secara global. Indonesia sendiri berambisi untuk mengejar ketertinggalannya melalui industri 4.0.
Dari tulisan Bernard Marr yang berjudul What is Industry 4.0?, industri 4.0 pada dasarnya merupakan transformasi industri di mana produk diproduksi dari digitalisasi manufaktur (smart machines), sehingga kerja menjadi efektif, produktif dan minim pemborosan. Smart machine memiliki akses terhadap data dan informasi sehingga dapat membantu pengembangan bisnis, khususnya di dunia digital.
Arison Tamfu melalui tulisannya Will Industry 4.0 be an opportunity for developing countries to catch up? mengatakan industri 4.0 menjadi kesempatan bagi negara berkembang untuk meningkatkan ekonomi dan kualitas hidup. Industri digital akan membantu efisiensi bisnis dalam produksi dan pelayanan.
Amita Acharya dalam bukunya The End of American World Order mengatakan negara akan melakukan loncatan katak (leapfrog) untuk meningkatkan statusnya dalam panggung internasional. Ketika regional sudah tidak menjadi tantangan bagi negara dominan, maka negara akan meningkatkan statusnya ke tingkat internasional dengan mengejar prestige global.
Baca Juga: Globalis dan Ambisi Antariksa Jokowi
Berangkat dari penjelasan Archarya, Indonesia sebagai negara emerging power (kekuatan baru yang tengah berkembang) mengharapkan industri 4.0 menjadi momentum untuk meningkatkan ekonomi. Industri 4.0 menjadi medium leapfrog bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya sebagai negara berkembang dan bisa menjadi kesempatan meningkatkan statusnya menjadi negara maju. Diharapkan Bukit Algoritma ini akan memberi dampak ekonomi yang besar, sama seperti Silicon Valley di AS.
Berkaca dari pengalaman Jerman dan Prancis, negara tersebut menggunakan industri sebagai leapfrog sehingga ekonominya dapat menyaingi Britania Raya. Kini, Industri 4.0 juga banyak menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jerman.
Kesuksesan negara lain dalam memasuki era industri 4.0 mungkin menginspirasi Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Sehingga muncul lah rencana Bukit Algoritma yang menjadi wadah inovasi dan pengembangan digital.
Ekspektasi vs Realita
Harapan dan cita-cita tak melulu sesuai dengan keinginan. Tidak ada jaminan Bukit Algoritma sesuai dengan ekspektasi pemerintah yang selalu digadang-gadang akan meningkatkan ekonomi, inovasi digital dan SDM. Pertanyaanya, apakah Bukit Algoritma akan sesuai dengan ekspektasi tersebut? Jawabannya mungkin tidak, atau setidaknya belum.
Yang terpenting dari industri 4.0 bukanlah infrastruktur fisik seperti Bukit Algoritma. Ada variabel-variabel lain yang perlu diperhatikan agar Bukit Algoritma ini sesuai dengan tujuannya.
Sayangnya variabel tersebut belum memadai di Indonesia, seperti sumber daya manusia. Hal ini terlihat pada fenomena krisis insinyur di Indonesia. Saat ini Indonesia membutuhkan lebih dari 260.000 insinyur. Angka itu belum menutup 30 sampai 40 persen dari total keseluruhan kebutuhan insinyur dan kekosongan tersebut diisi oleh tenaga asing.
Hanya 1 dari 83 orang lulusan teknik menjadi insinyur profesional. Menjadi kekhawatiran bahwa universitas di Indonesia tidak dapat menutup kebutuhan itu sepenuhnya.
Dibandingkan negara lain, seperti negara di Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal jauh. Malaysia memiliki perbandingan 3.300 orang insinyur per satu juta. Thailand dan Vietnam lebih tinggi, di mana Thailand memiliki 4.000 dan Vietnam memiliki 9.000 orang insinyur per satu juta.
Sedangkan jumlah insinyur di Indonesia hanya 3.000 orang per satu juta. Padahal, Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR, Danis Hidayat Sumadilaga mengatakan peran insinyur sangat vital dalam era industri 4.0.
Mengikuti kebutuhan saat ini, Indonesia masih harus mengisi 70 persen kebutuhan insinyur. Indonesia belum membenahi permasalahan ini dan kebutuhan insinyur di Bukit Algoritma akan memperbesar kekosongan tersebut.
Indonesia juga masih memiliki pekerjaan rumah terkait literasi digital. Kominfo mengatakan kemampuan berdigitalisasi masih tergolong rendah. Indeks literasi digital Indonesia berada pada hasil 3,17 dari angka 4.
Permasalahan lainnya, Indonesia masih gagap dalam menghadapi teknologi. Dalam urusan administrasi negara, misalnya KTP elektronik masih harus difotokopi. KTP elektronik menjadi tidak berbeda dengan KTP versi lama.
Baca Juga: Di Balik Permintaan Fotokopi e-KTP
Data dan informasi di Indonesia juga belum terjamin aman. Beberapa kali, data-data KTP bocor dan dijual di pasar gelap dengan harga murah. Juni tahun lalu, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) diketahui memberikan hak akses data kependudukan kepada aplikasi pinjaman online (pinjol).
Akses internet di Indonesia juga masih timpang. Ini terlihat pada kebijakan sekolah di rumah pada saat pandemi. Banyak anak-anak yang sulit mendapatkan sinyal internet yang baik dalam proses belajarnya.
Survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menyebutkan pengguna internet masih terkonsentrasi di Jawa. Pulau Jawa menyumbang 56,4 persen dan yang terendah berada di Maluku-Papua yang hanya menyentuh angka 3 persen saja. Permasalahannya terletak pada infrastruktur, terutama untuk daerah di luar Pulau Jawa.
Dengan berbagai tantangan yang belum diselesaikan dan keterbatasan kapital, mengapa Indonesia masih percaya diri untuk mewujudkan Bukit Algoritma?
Mengapa Didorong?
Sikap pemerintah ini dapat dianalisa dengan pendekatan psikologi. Tim Harford dalam tulisannya Wishful thinking in politics is a recipe for foolishness mengutip dua bentuk bias kognitif, yakni confirmation bias dan desirability bias.
Confirmation bias adalah tendensi untuk melihat sesuatu sesuai dengan informasi yang kita miliki. Sementara, desirability bias merupakan wishful thinking, di mana orang akan melihat hal yang ingin dia lihat.
Orang dengan desirability bias akan cenderung fokus pada fakta yang mereka inginkan dan menolak fakta yang bertentangan dengan keinginan mereka. Sedangkan pada confirmation bias, ada upaya untuk mencari fakta-fakta yang ada untuk mengonfirmasi sebuah fakta.
Obsesi pemerintah untuk mewujudkan Bukit Algoritma dapat dikategorikan sebagai desirability bias atau wishful thinking. Pemerintah hanya fokus pada fakta yang mendukung kepercayaan mereka bahwa Bukit Algoritma akan membantu Indonesia secara ekonomi, sama halnya seperti Silicon Valley di Amerika Serikat. Pemerintah juga mungkin melihat negara lain yang berhasil beradaptasi dengan industri 4.0 seperti Jerman.
Pemerintah abai dengan fakta lainnya yang tidak mendukung realisasi Bukit Algoritma. Indonesia masih memiliki berbagai tantangan untuk mewujudkan industri 4.0. Bukit Algoritma kemungkinan besar tidak memberikan dampak sesuai dengan ekspektasi karena ada tantangan di SDM, pendidikan, pemerataan akses internet, infrastruktur informasi dan teknologi.
Silicon Valley dapat berkembang secara pesat di Amerika Serikat karena memiliki banyak universitas, pusat penelitian pemerintah dan laboratorium komersial. Silicon Valley juga merupakan tempat merek global dan memiliki budaya wirausaha yang baik. Terdapat pula akses ke pemberi modal ventura yang berlimpah. Pada dasarnya Silicon Valley merupakan tempat untuk penelitian, perusahaan dan investor yang bertemu di satu tempat.
India sendiri memiliki Silicon Valley yang disebut Bengaluru. Bengaluru efektif di India karena India telah mengembangkan teknologi serta infrastruktur informasi dan teknologi. India merupakan negara dengan konektivitas internet kedua tertinggi di dunia dari 86 juta pengguna smartphone pada 2014 menjadi 450 juta pada 2019. India juga berhasil menjadi negara terbesar ketiga yang memiliki ekosistem start-up.
Baca Juga: Jokowi akan Kirim Pesawat ke Mars?
Indonesia tidak dapat mengambil sikap desirability bias dengan serta merta melihat keberhasilan Silicon Valley di negara lain akan terjadi di Indonesia. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan agar Bukit Algoritma ini tidak sia-sia.
Selain itu, di Amerika Serikat, Silicon Valley memiliki polemik tersendiri dan tidak seindah seperti yang dipikirkan. Silicon Valley memiliki pajak yang tinggi. Sistem work from home (WFH) menyadarkan perusahaan bahwa pegawai dapat bekerja dengan maksimal walaupun hanya di rumah dan perusahaan bisa menghemat biaya sewa kantor.
Twitter menawarkan karyawannya untuk bekerja WFH secara permanen dan 50 persen pekerja Facebook bekerja dari rumah. Banyak perusahaan yang sudah tidak tertarik dengan Silicon Valley sehingga Silicon Valley diperkirakan hanya akan menjadi tempat kosong.
Lantas mengapa Indonesia masih terobsesi dengan Silicon Valley? Belum lagi berbagai tantangan dan pekerjaan rumah yang harus dihadapi Indonesia dalam mewujudkan industri 4.0. Tantangan yang tidak diselesaikan hanya akan mengakibatkan proyek Bukit Algoritma yang gemuk dana sia-sia.
Sebaiknya dana sebesar Rp 18 triliun dialokasikan untuk infrastruktur informasi dan teknologi, sistem pendidikan agar melahirkan sumber daya manusia yang memadai, pengembangan literasi digital dan keamanan digital. Apalah arti Bukit Algoritma tanpa infrastruktur iptek yang memadai dan keterbatasan SDM. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.