Site icon PinterPolitik.com

Bukan Ukraina, Putin Targetkan Jerman?

Bukan Ukraina, Target Putin adalah Jerman?

Kanselir Jerman Olaf Scholz (kiri) dan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) (Foto: Sky News)

Berbagai keganjilan dan analisis muncul di tengah operasi militer Rusia terhadap Ukraina. Yang paling menarik, Vladimir Putin disebut tidak menargetkan Ukraina, melainkan Jerman. Bagaimana analisis ini menjadi mungkin? Untuk apa Putin menarget Jerman?


PinterPolitik.com

“All war represents a failure of diplomacy.” – Tony Benn, mantan Kepala Kantor Pos Britania Raya

Artikel ini adalah seri lanjutan dari artikel PinterPolitik yang berjudul Putin Tidak Serius Serang Ukraina?. Di dalamnya telah dibeberkan berbagai analisis yang menunjukkan keganjilan operasi militer Rusia terhadap Ukraina yang dimulai sejak 24 Februari. Sedikit mengulang, ada dua keganjilan utama yang dijabarkan.

Pertama, menimbang pada besarnya ketimpangan kekuatan militer kedua negara, serta posisi Ukraina yang tidak siap menghadapi serangan Rusia, mengapa Vladimir Putin belum mampu menaklukkan Ukraina?

Kedua, selaku mantan agen KGB terlatih, bagaimana mungkin Putin tidak menerapkan tiga strategi paling mendasar dalam perang? Ketiganya adalah tidak menarget Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sejak hari pertama, tidak langsung dan belum meluncurkan serangan besar, serta tidak melakukan strategi pengepungan.

Dua keganjilan ini membawa kita pada satu kesimpulan penting, yakni Putin sebenarnya tidak serius menyerang Ukraina. Melihat bentuk dan pola serangannya, cukup meyakinkan mengatakan bahwa Rusia tidak berniat untuk menaklukkan Ukraina.

Dengan demikian, seperti yang menjadi pertanyaan di akhir tulisan, apa motif sebenarnya Putin melakukan serangan terhadap Ukraina? 

Untuk menjawab ini, kita perlu merenungkan pandangan pengamat pertahanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Menurutnya, sejatinya tidak ada negara yang benar-benar ingin berperang, bahkan untuk negara yang berwatak ekspansionis seperti Rusia. 

Lanjut Fahmi, perang atau konflik terbuka selalu diposisikan sebagai aksi pamungkas. Perang hanya terjadi ketika kekuatan salah satu negara yang saling berhadapan sudah melemah secara signifikan. Pada titik ini, perang dinilai sebagai perangkat paksa yang efektif untuk penyelesaian konflik ke meja perundingan. 

Persis seperti kutipan Tony Benn di awal tulisan, perang sebenarnya adalah buah dari kebuntuan diplomasi politik.

Nah, poin Fahmi adalah tolakan penting. Mengacu pada besarnya biaya operasi militer yang dikeluarkan Rusia, disebut mencapai £15 miliar (sekitar Rp280 triliun) per hari, mestilah Putin memiliki tujuan besar di baliknya. 

Lantas, tujuan besar apa yang hendak dicapai?

Jerman Target Sebenarnya?

Untuk menjawab puzzle rumit ini, kita perlu merujuk pada rumus dasar aktivitas politis, yakni motif suatu tindakan dilihat dari titik di mana keuntungan didapatkan. Untuk menentukan mana motif yang paling tepat, kita akan menggunakan abductive reasoning (penalaran abduktif/abduksi) atau yang dikenal juga dengan inference to the best explanation

Metode abduksi ini diformulasikan oleh filsuf Charles Sanders Peirce pada sepertiga terakhir abad ke-19. Dalam berbagai literatur terbaru, detektif fiksi Sherlock Holmes karya novelis Sir Arthur Conan Doyle kerap dijadikan sebagai contoh pengguna metode abduksi.

Abduksi adalah metode penarikan kesimpulan untuk mendapatkan penjelasan terbaik. Dalam memecahkan kasus-kasus kriminal, Sherlock Holmes membangun berbagai hipotesis, kemudian mengujinya satu per satu untuk menentukan mana yang paling memuaskan. 

Sekarang kita akan petakan berbagai hipotesis yang mungkin. Setidaknya ada tiga hipotesis yang dapat diuji. Pertama, Putin ingin menaklukkan Ukraina. Hipotesis ini telah kita gugurkan sejak awal tulisan. 

Kedua, berbagai akademisi, seperti sejarawan Yuval Noah Harari, percaya Putin ingin mengembalikan Kekaisaran Rusia. Hipotesis kedua ini cukup menjanjikan, namun menyimpan tanda tanya serius. 

Pasalnya, untuk kepentingan ini, Putin membutuhkan sumber daya ekonomi dan militer yang luar biasa. Untuk saat ini, Rusia jelas masih jauh di belakang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Dalam berbagai pemberitaan, Rusia juga dikabarkan tengah meminta bantuan ekonomi dan militer dari Tiongkok. Serangan ke Ukraina jelas telah menguras kas Rusia.

Ketiga, menurut Mike Whitney dalam tulisannya The Crisis In Ukraine Is Not About Ukraine: It’s About Germany, target Putin sebenarnya bukan Ukraina, melainkan Jerman. Hipotesis ini bertolak pada proyek Nord Stream 2, jalur pipa gas alam antara Rusia dan Jerman. Nord Stream 2 sendiri dimiliki oleh perusahaan energi raksasa asal Rusia, Gazprom. 

Jika beroperasi, Nord Stream akan mengirimkan 55 miliar meter kubik gas setiap tahunnya ke 26 juta rumah tangga di Jerman. Proyek ini sejatinya telah rampung, namun membutuhkan sertifikasi dari otoritas Jerman.

Mengacu pada data Directorate-General for Energy EU, Rusia memasok 41 persen gas di Uni Eropa. Jerman adalah pelanggan terbesar dengan 50 persen kebutuhan gas dan batu baranya datang dari Rusia. Kemudian, sekitar 30 persen kebutuhan minyak Jerman juga dipenuhi oleh Rusia. 

Artinya apa? Jika Nord Stream beroperasi, Jerman akan benar-benar bergantung pada sumber energi Rusia. Ini jelas terlihat dari penolakan Jerman memberikan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Kanselir Jerman Olaf Scholz juga melakukan kunjungan rutin ke Putin, sebelum dan setelah serangan, untuk melakukan diplomasi.

Namun, di sini pertanyaannya menjadi serius. Jika targetnya adalah Jerman, untuk apa Putin menyerang Ukraina? Kenapa tidak langsung menarget Jerman?

Serangan Kamuflase?

Untuk menjawabnya, kita perlu mengetahui psikologi dan latar pemikiran Putin. Presiden Rusia ini telah tertempa selama 16 tahun sebagai agen intelijen KGB. Menurut Khairul Fahmi, belasan tahun menjadi agen KGB pasti membentuk cara berpikir Putin untuk menjalankan strategi secara terukur.

Lanjut Fahmi, Jerman adalah negara penting di Eropa. Jerman dijuluki sebagai the King of Europe atau rajanya Eropa. Jika berhasil menundukkan Jerman, itu adalah simbol kemenangan bagi Rusia. Putin dapat mengklaim telah menggenggam Eropa. “Ini adalah politik simbol,” ungkapnya.

Senada dengan Fahmi, menurut Mike Whitney, jika terjalin hubungan hangat antara Jerman dan Rusia, maka itu dapat menjadi tanda berakhirnya tatanan dunia unipolar. Ini adalah ancaman bagi AS yang telah mengawasi dunia selama 75 tahun terakhir. Joe Biden jelas tidak menginginkan ini. 

Lalu, menjawab pertanyaan yang tadi, kenapa harus menyerang Ukraina? Menurut Fahmi, seorang agen intelijen terlatih seperti Putin mestilah menyamarkan motif aslinya. Ini sesuai dengan strategi nomor 20 dari Thirty-Six Stratagems, yakni “Disturb the water and catch a fish” (渾水摸魚/混水摸魚, Hùn shuǐ mō yú). Artinya, memancing di air keruh. Sebelum menghadapi pasukan musuh, buatlah sebuah kekacauan untuk memperlemah persepsi dan pertimbangan mereka.

Kemudian, besar kemungkinan Putin telah mengkalkulasi sanksi ekonomi yang akan dijatuhkan negara Barat saat ini. Dengan menyerang Ukraina, akan ada sanksi ekonomi yang membuat Rusia tidak bisa mengekspor sumber energinya. Dampaknya? Eropa dan AS akan mengalami kenaikan harga energi.

Saat ini, AS bahkan mengalami inflasi tertinggi sejak 1982, yakni sebesar 7,9 persen. Harga BBM meningkat mencapai US$4,3/gallon dari tahun lalu yang mencapai US$2,8/gallon.

Besar kemungkinan Putin tengah menjalankan strategi nomor 11 dari Thirty-Six Stratagems, yakni “Sacrifice the plum tree to preserve the peach tree” (李代桃僵, Lǐ dài táo jiāng). Artinya, pohon prem berkorban untuk pohon persik. Ada suatu keadaan di mana kita harus mengorbankan tujuan jangka pendek untuk mendapatkan tujuan jangka panjang.

Saat ini, memang benar Rusia tengah menderita akibat sanksi ekonomi. Namun, ketika konflik berakhir, Rusia akan menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan dengan kenaikan harga minyak.

Jika analisis ini tepat, maka Putin benar-benar tengah melakukan strategi yang matang dan terukur. Ia menunjukkan kapasitasnya sebagai mantan agen intelijen. Putin sengaja menyerang Ukraina untuk mendapatkan sanksi ekonomi agar Eropa, khususnya Jerman, benar-benar menyadari ketergantungan mereka atas sumber energi Rusia. 

Namun, ada pula pembacaan yang berbeda, di mana Putin tidak sengaja menyerang Ukraina dan menjadikannya bagian dari rencana. Menurut Mike Whitney, Ukraina justru adalah bidak AS untuk menggambarkan Rusia sebagai ancaman Eropa. Dengan kata lain, agar proyek Nord Stream 2 batal, AS tampaknya sengaja mendorong Ukraina bergabung ke NATO untuk memancing tindakan agresif Putin. 

Well, apa pun yang terjadi, entah itu antara bagian dari rencana Putin atau bidak AS, yang jelas kita dapat menarik kesimpulan bahwa tujuan yang sebenarnya adalah Jerman. Ini adalah cara Putin untuk menggenggam Eropa, sekaligus menantang adidaya AS. (R53)

Exit mobile version