Site icon PinterPolitik.com

Bukan UI, Kenapa Presiden dari UGM?

Bukan UI, Kenapa Presiden dari UGM?

Presiden Joko Widodo ketika memberikan pidato dalam acara Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia (UI), di Balairung Kampus UI, Depok, Jawa Barat pada 2 Februari 2018 (Foto: Sekretariat Kabinet)

Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani berharap ke depannya Presiden Indonesia tidak lagi dari alumni Universitas Gadjah Mada (UGM), melainkan dari alumni Universitas Indonesia (UI). Kenapa alumni UGM menguat di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?


PinterPolitik.com

“I love history, doesn’t matter what era, I’m fascinated.” – Tom Petty

Ada sebuah pandangan menarik dalam mengomentari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Melihat penunjukan berbagai pejabat tinggi, khususnya menteri, Presiden Jokowi terlihat banyak mengangkat sosok yang merupakan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM). Di periode kedua ini, terhitung sudah ada sembilan menteri yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di UGM.

Mereka adalah Menko Polhukam Mahfud MD, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko PMK Muhadjir Effendy, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, MenPUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Selain kesembilannya, tentu saja, Presiden Jokowi sendiri juga merupakan alumni UGM

Fakta ini kemudian melahirkan persepsi bahwa Geng UGM – Kagama – menguat di bawah pemerintahan Jokowi. Dan lebih menariknya lagi, beberapa nama yang beredar sebagai kandidat potensial di Pilpres 2024 juga merupakan alumni UGM. Dua yang paling menonjol adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Ini kemudian melahirkan komentar menarik dari Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani. Sebagai alumni Universitas Indonesia (UI), ia berharap agar ke depannya ada presiden yang berasal dari UI. “Kalaupun tidak di 2024, di 2029 ya presidennya dari UI-lah, masa UGM terus,” ungkapnya pada 11 Juni 2022.

Arsul juga berharap agar alumni UI bisa kompak seperti alumni UGM dan Universitas Islam Indonesia (UII). Harapnya, alumni UI harus memiliki program untuk mengidentifikasi para alumninya yang potensial menjadi presiden.

Di titik ini, ada dua pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama, kenapa Geng UGM bisa menguat di bawah pemerintahan Jokowi? Kedua, kenapa harapan Arsul Sani agar presiden berasal dari UI bisa mencuat? 

Habituasi Jokowi?

Untuk pertanyaan pertama, kita dapat bertolak pada tulisan Aris Santoso yang berjudul Jokowi dan Jejaring Perwira Solo. Menurutnya, dalam menentukan posisi di TNI dan Polri, ada kecenderungan Presiden Jokowi untuk memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo. 

Aris mencontohkan pengangkatan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai KASAU, kemudian Panglima TNI. Pada 2010-2011 ketika Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo, Hadi adalah Komandan Lanud Adi Soemarmo, Solo.

Selain Hadi, ada Letjen TNI Agus Subiyanto yang kini menjabat sebagai Wakasad. Pada 2009-2011, Agus menjabat sebagai Komandan Kodim 0735/Surakarta. Kemudian ada Kapolri Listyo Sigit. Pada 2010-2012, Listyo merupakan Kapolresta Surakarta. 

Senada dengan Aris Santoso, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga menyebutkan terdapat kecenderungan itu. Bahkan menurutnya, ini kemudian melahirkan persepsi terdapat Geng Solo yang sedang menguat di tubuh militer.

Salah satu sejarawan paling terkenal saat ini, Yuval Noah Harari, menjelaskan bahwa manusia terikat pada sejarahnya. Ini membuat kita memiliki tendensi untuk merasa nyaman dengan sesuatu yang sudah kita kenal dan alami, seperti kampung halaman. 

Dalam penjelasan yang lebih radikal, salah satu filsuf terbesar Jerman, Martin Heidegger, menyebutkan manusia yang terlahir ke dunia merupakan mereka yang terlempar – disebut thrownness atau keterlemparan. Kita tidak tahu lahir di mana, bersama siapa, atau di masa apa. Kita terlempar dalam lingkungan yang tidak pernah kita pilih.

Atas keterlemparan yang ada, manusia yang hidup di dunia pada dasarnya terkerangkeng oleh faktisitas (facticity), yakni seperangkat nilai dan kondisi yang sudah ada dalam sosial. Secara sadar atau tidak, manusia yang hanyut dalam faktisitas kemudian membentuk habitus atau kebiasaan (habituasi) yang dilakukannya dalam kehidupan.

Keterikatan pada sejarah atau faktisitas dapat menjelaskan habituasi Presiden Jokowi yang punya kecenderungan memilih koleganya yang dulu berdinas di Solo. Terlebih lagi, mengutip Sita W. Dewi dan Margareth Aritonang dalam tulisannya Understanding Jokowi’s Inner Circle, RI-1 disebut sebagai sosok yang sulit percaya dengan orang lain. Mungkin dalam benaknya, daripada mengambil risiko terhadap orang baru, lebih baik memilih sosok yang sudah dikenalnya.

Atas penjelasan ini pula kita dapat memahami mengapa Geng UGM bisa menguat. Sebagai sosok yang ditempa di UGM, bukan tidak mungkin Presiden Jokowi juga memiliki kecenderungan memilih sosok yang juga berasal dari UGM. Seperti pernyataan Yuval Noah Harari, ini adalah ikatan sejarah karena perasaan familiar.

Perbedaan Kultur?

Setelah menjawab pertanyaan pertama, sekarang kita akan lanjut ke pertanyaan kedua. Kata kunci atas ini adalah harapan Arsul Sani yang meminta alumni UI kompak seperti alumni UGM dan UII. Menggunakan hermeneutika, pernyataan itu dapat diperdalam menjadi harapan agar Jakarta bisa seperti Yogyakarta.  

Salah satu ilmuwan politik paling berpengaruh saat ini, Francis Fukuyama, dalam bukunya The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, menjelaskan bahwa perkembangan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan telah menciptakan fenomena yang ia sebut dengan Great Disruption

Istilah ini bukan dalam pengertian ekonomi, melainkan fenomena meluasnya ketidakpercayaan di tengah masyarakat – defisit kepercayaan. Menurut Fukuyama, kemajuan teknologi, khususnya di kota-kota besar tidak hanya mengubah cara manusia berekonomi, melainkan juga berdampak pada perubahan sosial, seperti meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

Mengutip sosiolog Jerman Ferdinand Tönnies, Fukuyama menjelaskan transisi dari gemeinschaft (komunitas) menuju gesellschaft (masyarakat). Kemajuan teknologi yang melahirkan revolusi industri telah mengubah tatanan sosial dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri perkotaan.

Menurut Tönnies, gemeinschaft telah menjadi ciri dari masyarakat petani yang memiliki jaringan hubungan yang sebagian besar didasarkan pada kekerabatan, kontak langsung, dan tatap muka. Sedangkan gesellschaft menjadi ciri masyarakat industri dan perkotaan, yang mana individunya tidak lagi terlalu bergantung satu sama lain untuk saling mendukung.

Nah, meminjam penjelasan Fukuyama, kita tentu mengetahui terdapat kultur yang berbeda antara Jakarta dengan Yogyakarta. Bukan tidak mungkin, posisi UI yang berpusat di Jakarta telah membuat alumninya menjadi lebih individualistik. 

Sementara UGM yang berada di Yogyakarta masih kental dengan budaya kolektif, khas masyarakat agraris – kita menyebutnya dengan budaya guyub. Yogyakarta sendiri juga merupakan daerah istimewa yang berlaku seperti kerajaan karena dipimpin oleh sultan. 

Kembali mengutip Martin Heidegger, konstruksi budaya itu menjadi faktisitas alumni UI dan UGM untuk memiliki habitus atau kultur yang berbeda. Ini kemudian memunculkan harapan dari Arsul Sani agar alumni UI dapat kompak seperti alumni UGM.

Dalam konteks politik, budaya kolektif ini sangat penting untuk menghimpun dukungan. Terlebih lagi, karena Presiden Jokowi masih berkuasa sampai 2024, kedekatan sejarahnya pada UGM sekiranya juga turut menjadi variabel. 

Ini pula dapat menjawab mengapa kandidat di Pilpres 2024, seperti Anies dan Ganjar berasal dari UGM. Pergerakan Kagama dapat dikatakan masif dan solid. Terkhusus Ganjar, konteksnya menjadi lebih menarik karena posisinya sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Kagama 2019-2024.

Apabila melihat nama-nama di Pengurus Pusat Kagama 2019-2024, terdapat nama pejabat tinggi pemerintahan dan petinggi partai politik.

Ada Menhub Budi Karya Sumadi, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Menko Polhukam Mahfud MD, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Wamenkumham Eddy OS Hiariej, Hakim MK Saldi Isra, Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad, eks Menkes Terawan, dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.

Kemudian, terdapat pula nama konglomerat Dato Sri Tahir yang menjadi Dewan Pertimbangan Presiden.

Sebagai penutup, agar ada presiden yang berasal dari UI seperti harapan Arsul Sani, kerangkeng kultur individual harus bisa dilepaskan. Alumni UI perlu kompak dan meniadakan saling sikut antar sesamanya. (R53)

Exit mobile version