Polemik putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan soal batas minimal usia capres-cawapres melahirkan tuduhan pelanggengan kekuasaan terhadap Presiden Jokowi. Ini karena banyak yang menuduh pengabulan gugatan ini sebagai bagian dari upaya untuk mengakomodasi majunya putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai kandidat cawapres Prabowo Subianto. Secara umum, selain karena putusan MK ini, tak sedikit yang menyebut era kekuasaan Jokowi pun mulai mengabaikan banyak aspek demokrasi dan bergelut dalam politik kekuasaan – hal yang dituduhkan sebagai model yang mirip dengan apa yang dijalankan di negara-negara otoriter macam Rusia. Benarkah demikian?
“The path towards a free society has not been simple. There are tragic and glorious pages in our history”.
– Vladimir Putin
Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menjadi trending topik di Indonesia. Pasalnya, lembaga tinggi negara itu mengabulkan sebagian uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres.
Putusan ini menyatakan bahwa batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali bagi mereka yang pernah atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan ini telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat karena dituduhkan sebagai jalan untuk mengakomodir Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2024.
Selain karena Presiden Jokowi dianggap “kurang tegas” menyatakan sikapnya, banyak pihak juga menyebut faktor Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Jokowi – dengan kata lain adalah paman dari Gibran – melahirkan sentimen dan kiritik yang keras dari masyarakat.
Dalam konteks Presiden Jokowi, putusan ini dapat memiliki dampak signifikan terhadap kredibilitasnya di mata masyarakat. Sebagai presiden saat ini, Jokowi memiliki peran penting dalam memastikan integritas proses pemilihan umum, termasuk soal dukungan pada aturan hukum yang berkeadilan. Pasalnya, keputusan MK ini dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang bagaimana Jokowi menjalankan tugasnya dalam menjaga integritas proses demokrasi.
Memang, jika berkaca pada data tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Jokowi saat ini berada di angka 75,2 persen. Namun, kepercayaan publik ini dapat berubah seiring dengan perkembangan politik dan sosial di masyarakat, termasuk dalam konteks usia minimal capres-cawapres ini.
Akumulasi kritik yang muncul kemudian juga diarahkan pada persoalan-persoalan lain, misalnya terkait pembungkaman kritik, turunnya indeks demokrasi, konflik negara vs masyarakat terkait lahan dan proyek pembangunan, dan lain sebagainya.
Menariknya, banyak yang kemudian menilai Indonesia tak lebihnya negara otoriter dengan “sampul” demokrasi, katakanlah mirip seperti yang terjadi pada Rusia di era Vladimir Putin. Benarkah demikian?
Jokowi Meniru Putin?
Menyebut Jokowi meniru Putin bukanlah argumentasi kosong tanpa alasan. Saat ini Jokowi adalah presiden yang sangat kuat – beberapa pengamat bahkan menyebutnya presiden terkuat setelah era Reformasi. Parlemen dikuasai koalisi pemerintah. Oposisi tak bisa berbuat banyak dalam berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Demikianpun dengan masyarakat bawah di konflik-konflik agraria misalnya yang memang menjadi pihak yang paling diperlakukan tak adil.
Awalnya, Jokowi memang pernah menyebut dirinya belajar banyak dari Tiongkok, khususnya dari Presiden Xi Jinping. Di tahun 2014 misalnya, Jokowi pernah berbagi bahwa dirinya mendapat 3 resep khusus dari Xi Jinping untuk pengelolaan ekonomi negara.
Namun, jika melihat kondisi Tiongkok yang memang sangat sentralistik, agaknya Jokowi lebih cocok diperbandingkan dengan Presiden Vladimir Putin – dalam konteks kekuatan politik tentunya.
Putin telah bertahan dan memegang kekuasaan di tingkat tertinggi di Rusia selama bertahun-tahun. Ia pertama kali menjabat sebagai Presiden pada tahun 2000 dan telah mengisi posisi kepemimpinan baik sebagai Presiden maupun Perdana Menteri sejak saat itu. Konsistensinya di puncak kekuasaan menciptakan rasa stabilitas politik bagi sebagian besar masyarakat. Seruan Jokowi 3 periode mungkin bisa dianggap mirip dengan konteks langgengnya kekuasaan Putin itu.
Kemudian, selama masa pemerintahannya, Rusia mengalami pemulihan ekonomi setelah periode krisis pada awal tahun 1990-an. Harga minyak yang tinggi dan kebijakan ekonomi yang hati-hati telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, yang dapat menciptakan dukungan bagi kepemimpinannya. Ini mungkin bisa diperbandingkan dengan upaya-upaya Jokowi meningkatkan pembangunan nasional, utamanya lewat proyek-proyek infrastruktur.
Hal yang mungkin tak begitu sama dalam tataran ekstrem dengan Putin adalah bahwa pemerintahan Putin telah melakukan kontrol yang kuat terhadap media di Rusia. Ini dapat mempengaruhi opini publik dan memastikan bahwa citra Putin yang dihargai tetap utuh di mata masyarakat.
Jokowi memang belum sampai ke level itu. Namun, perkembangan pers dan media massa di Indonesia kini mengalami pergeseran yang masif, sehingga bercampur baur dengan urusan politik – katakanlah dalam konteks ketika media menjadi corong kepentingan politik sang pemilik.
Pertaruhan Warisan Jokowi
Bisa dibilang, kunci utama mengapa putusan MK ini menjadi penting adalah menyangkut warisan politik Jokowi. Selain karena ingin memastikan proyek-proyek yang sudah berjalan bisa sukses ketika tak lagi menjabat, Jokowi tentu ingin punya “rasa aman”. Ini terkait potensi persoalan hukum di kemudian hari dari kebijakan-kebijakan yang saat ini sudah diambil.
Selama pemerintahannya, Jokowi memfokuskan pada pembangunan infrastruktur yang melibatkan proyek-proyek besar seperti jalan tol, bandara, dan proyek-proyek transportasi lainnya. Pembangunan ini tidak hanya meningkatkan konektivitas antarwilayah, tetapi juga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Adalah penting bahwa fondasi ekonomi yang telah dibangun ini dapat dipertahankan oleh pemerintah berikutnya.
Selain infrastruktur, Jokowi juga berupaya meningkatkan investasi dan kemudahan berbisnis di Indonesia. Langkah-langkah untuk menyederhanakan proses bisnis, mempercepat perizinan, dan membuka pintu bagi investasi asing adalah bagian dari strategi ekonomi yang digariskan oleh pemerintahnya. Mempertahankan iklim investasi yang kondusif akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan menciptakan lapangan kerja bagi warga negara.
Pentingnya memastikan kontinuitas program-program sosial juga menjadi aspek penting dalam menjaga warisan politik Jokowi.
Namun, di samping semua prestasi dan kebijakan positif yang telah diterapkan, warisan politik Jokowi juga mencakup sejumlah tantangan yang perlu diatasi oleh pemerintah berikutnya. Misalnya, isu-isu terkait ketidaksetaraan, korupsi, dan perlindungan lingkungan perlu mendapat perhatian serius agar pembangunan berkelanjutan dapat terwujud.
Dalam rangka menjaga warisan politiknya, Presiden Jokowi seharusnya perlu memastikan bahwa ada mekanisme demokrasi yang kuat dan proses transisi kekuasaan yang stabil sembari tak mencampurkannya dengan kepentingan politik pribadi atau keluarga – dalam hal ini Gibran. Penghormatan terhadap aturan demokrasi dan lembaga-lembaga negara adalah prasyarat untuk kelangsungan stabilitas politik dan keamanan.
Dengan kasus putusan MK dan sentimen yang berkembang di sekitarnya, agaknya hal ini masih akan jadi persoalan serius di kemudian hari.
Pada akhirnya, dengan membandingkan Jokowi dengan Putin, harapannya akan menjadi kritik secara tidak langsung pada sang presiden. Jangan sampai, dinamika yang ada jelang akhir kekuasaan Jokowi justru mengaburkan segala pencapaian-pencapaian baik yang sudah diraih. (S13)