HomeNalar PolitikBukan Tiongkok, Jokowi “Dipeluk” Amerika Serikat?

Bukan Tiongkok, Jokowi “Dipeluk” Amerika Serikat?

Dengan dicapainya kerja sama soal repurchase agreement atau Repo Line antara Bank Indonesia (BI) dengan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve System), serta belum terlihatnya bantuan signifikan dari Tiongkok untuk menanggulangi pandemi Covid-19, mungkinkah itu sebagai indikasi bahwa pemerintahan Jokowi kembali ke “pelukan” negara Paman Sam tersebut?


PinterPolitik.com

Selaku virus yang telah ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), virus Corona (Covid-19) tidak hanya telah menjadi bencana kesehatan, melainkan juga telah menjadi semacam bencana ekonomi. Bagaimana tidak? Atas tingkat penularannya yang begitu tinggi, penerapan physical distancing sampai lockdown (karantina wilayah) menjadi tidak terhindarkan untuk dilakukan.

Masalahnya, langkah pencegahan tersebut, tidak hanya menurunkan risiko penularan, melainkan pula menurunkan aktivitas ekonomi di hampir semua sektor usaha. Sehingga tidak mengherankan, berbagai negara – termasuk Indonesia – tidak hanya disibukkan untuk menjamin ketersediaan kebutuhan pangan, melainkan juga harus memberikan stimulus ekonomi agar dunia usaha tidak hancur lebur karena pandemi Covid-19.

Atas hal tersebut, tidak mengejutkan apabila Covid-19 kemudian disebut sebagai “virus mahal” karena besarnya gelontoran dana yang harus dikeluarkan pemerintah terkait untuk menanggulangi krisis yang diakibatkan olehnya.

Bayangkan saja, Singapura yang kendati penduduknya hanya 5,617 juta jiwa bahkan telah dua kali mengeluarkan dana stimulus ekonomi yang totalnya mencapai 54,4 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp 605 triliun.

Sedangkan di Indonesia, dalam keterangan terbaru, pemerintah diketahui akan menggelontorkan dana sebesar Rp 405,1 triliun untuk mengatasi pandemi Covid-19, serta dampak sosial-ekonomi yang diakibatkan olehnya.

Dengan kebutuhan dana yang besar untuk mengatasi Covid-19, berbagai bantuan, khususnya bantuan dana dari negara atau pihak yang selama ini menjadi mitra Indonesia tentu saja sangat dibutuhkan. Akan tetapi, menariknya, kerjasama yang memberikan aliran dana besar justru belum didapatkan dari Tiongkok selaku negara yang selama ini dinilai begitu dekat dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dana senilai US$ 60 miliar atau sekitar Rp 943,1 triliun justru diperoleh dari kerja sama soal repurchase agreement atau Repo Line antara Bank Indonesia (BI) dengan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve System (The Fed). Repo Line senilai US$ 60 miliar tersebut nantinya dapat digunakan BI apabila membutuhkan likuiditas dalam bentuk dolar.

Lantas, mungkinkah tercapainya kerja sama tersebut menjadi indikasi bahwa pemerintah Jokowi akan kembali ke “pelukan” AS setelah sebelumnya menjalin hubungan yang dekat dengan Tiongkok?

Hubungan Pragmatis?

Natasha Hamilton-Hart dan Dave McRae dalam tulisannya Indonesia: Balancing the United States and China, Aiming for Independence menyebutkan bahwa kendati Presiden Jokowi disebut menjalin hubungan yang dekat dengan Tiongkok, itu sebenarnya hanyalah hubungan pragmatis dalam rangka untuk mendapatkan investor dalam ambisi pembangunan infrastruktur.

Baca juga :  Bandara Kedua Bali: Prabowo Tepati Janji?

Itu misalnya terlihat dari Indonesia yang masih mendapat pinjaman dari Bank Dunia ataupun Asian Development Bank (ADB), kendati telah menerima hujanan dana pinjaman dari Tiongkok ataupun Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB).

Sebagaimana diketahui, Bank Dunia dan ADB adalah lembaga yang disebut sebagai corong negara Barat, khususnya AS. Sementara, AIIB, kendati didirikan oleh banyak negara, dengan Tiongkok yang memiliki 26,6 persen hak suara atau yang tertinggi, mudah untuk menyimpulkan bahwa negeri Tirai Bambu adalah nahkoda dari lembaga baru tersebut. Atas itu pula AIIB banyak dikenal sebagai rival bagi Bank Dunia, ADB, ataupun International Monetary Fund (IMF) sebagai lembaga pemberi pinjaman.

Patrick M. Cronin dan Isabelle M. Burke dalam tulisannya Time to Take the US-Indonesia Strategic Partnership Seriously menyebutkan bahwa Indonesia memiliki tekanan tersendiri apabila tidak memilih AS sebagai mitra strategis karena Washington dapat memberikan sanksi tarif perdagangan yang dapat menjadi “kutukan” bagi Jakarta.

Bukti tegas bagaimana Indonesia sangat mempertimbangkan sanksi AS terlihat jelas ketika pemerintah Indonesia membatalkan rencana pembelian 11 jet tempur Sukhoi Su-35 senilai US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 17,2 triliun dari Rusia setelah negara Paman Sam tersebut mengancam akan menjatuhkan sanksi.

Selain itu, menurut Cronin dan Burke, jika hubungan Indonesia dan AS menguat, itu dapat meningkatkan kualitas interaksi antara AS dan pasukan pertahanan Indonesia, penjaga pantai, dan mitra penegak hukum. Singkat kata, itu menjadi modal yang besar untuk mengontrol aktivitas Tiongkok di Laut China Selatan yang selama ini kerap menimbulkan sengketa.

Randy Mulyanto dalam tulisannya After 70 Years of Ties, China and Indonesia Have a Fruitful, Complicated Relationship juga menyebutkan bahwa kendati hubungan Indonesia dengan Tiongkok memberikan keuntungan, namun sengketa yang terjadi di Laut China Selatan menjadi salah satu penghambat utama hubungan kedua negara tersebut.

Tidak Begitu Penting?

Terganjalnya hubungan Indonesia dengan Tiongkok, tidak hanya karena adanya tekanan dari AS, ataupun adanya sikap pragmatis yang dipegang oleh pemerintah Indonesia. Melainkan juga karena pada dasarnya negeri Tirai Bambu disinyalir tidak melihat Indonesia sebagai mitra yang sangat penting.

Kornelius Purba dalam tulisannya Indonesia Needs China More than China Needs Indonesia menyebutkan terdapat kebanggaan sauvinistis yang tak berdasar dan keliru yang membuat terdapat pihak menyimpulkan bahwa Indonesia sangat penting bagi Tiongkok sehingga itu membuat negeri Panda tersebut tidak akan mengganggu Indonesia.

Baca juga :  Dharma Pongrekun vs ‘Elite Global’

Padahal, menurut Purba, yang terjadi justru sebaliknya, yakni Indonesia yang sebenarnya lebih membutuhkan Tiongkok. Terlebih lagi, Tiongkok akan segera menjadi penyedia Bantuan Pembangunan Resmi atau Official Development Assistance (ODA) terbesar di dunia dan hampir tidak ada peluang untuk mengurangi aliran ekspor dan investasi Tiongkok.

Juniar Laraswanda Umagapi dalam tulisannya The Rise of China-Indonesia Relationship: Soft Power, Resources, and Prospect in the Future juga menyebutkan bahwa Indonesia sebenarnya masih memiliki kekhawatiran tersendiri terhadap eksistensi kekuatan Tiongkok, khususnya di kawasan ASEAN.

Konteks hal tersebut, tidak hanya persoalan apakah kerja sama menguntungkan akan tetap berlangsung dalam waktu yang lama, melainkan juga terkait kekhawatiran mengenai adanya upaya Tiongkok untuk mendominasi kawasan ASEAN.

Apa Artinya?

Ketiga hal tersebut, yakni intervensi AS, sikap pragmatis Indonesia, dan posisi Tiongkok terhadap Indonesia boleh jadi memiliki korelasi di balik mengapa Indonesia melalui BI dapat mencapai kerja sama dengan The Fed senilai US$ 60 miliar di tengah situasi krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini.

Kendati BI juga memiliki swap line dengan Tiongkok senilai US$ 30 miliar atau sekitar Rp 472,7 triliun, itu tentu masih menempatkan negeri Tirai Bambu di belakang AS dalam hal bantuan dana.

Singkat kata, adanya sikap pragmatis hubungan Indonesia dengan Tiongkok, serta adanya kekhawatiran atas sanksi dari AS, boleh jadi membuat hubungan pemerintahan Jokowi dengan negeri Tirai Bambu hanya sebatas hubungan bisnis atau tidak terdapat reciprocity – hubungan timbal balik.

Dicapainya kerja sama dengan The Fed tersebut menjadi indikasi kuat bahwa hubungan Indonesia dengan AS sebenarnya jauh lebih dekat daripada dengan Tiongkok selama ini. Dengan demikian, boleh jadi itu menjadi semacam bantahan atas penilaian sejumlah pihak bahwa pemerintah Jokowi terlalu membangun hubungan yang dekat dengan pemerintahan Xi Jinping selama ini. Kendati hal tersebut tentunya belum diketahui secara pasti.

Di luar itu semua, satu hal yang pasti bahwa kerja sama dengan The Fed tersebut merupakan angin segar di tengah situasi krisis keuangan yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Tentunya kita paham, di situasi sulit saat ini, kesempatan untuk mendapatkan aliran dana segar menjadi suatu kemewahan tersendiri. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...