Dengarkan artikel ini:
Selama kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 berlangsung, presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, selalu mengatakan bahwa dirinya akan melanjutkan program dan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, haruskah demikian?
“I calculate you’re not as calculated, I can even predict your angle” – Kendrick Lamar, “euphoria” (2024)
Bulan April 2024 lalu bisa dibilang menjadi bulan yang penuh berkah. Selain Hari Raya Idulfitri yang tiba pada bulan ini, sejumlah pemimpin perusahaan-perusahaan teknologi dunia juga tiba di Indonesia pada bulan ini.
CEO Apple Tim Cook, misalnya, tiba di Indonesia pada 16 April 2024. Keesokan harinya, Cook-pun mendapatkan jadwal untuk bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tidak hanya Cook, ada juga CEO Microsoft Satya Nadella. Nadella tiba di Indonesia dan bertemu juga dengan Jokowi pada 30 April 2024.
Kabarnya, keduanya datang ke Jokowi untuk membawa sejumlah investasi. Apple sendiri disebut akhrinya memberikan investasi senilai Rp1,6 triliun. Sementara, Microsoft membawa investasi senilai Rp27,6 triliun untuk Indonesia.
Meski terdengar baik, tampaknya, angka triliunan ini terbilang kecil bila dibandingkan dengan nilai investasi Apple dan Microsoft ke negara-negara tetangga.
Microsoft, misalnya, membawa nilai investasi yang lebih besar untuk Malaysia, yakni Rp35,5 triliun. Sementara, Apple justru punya investasi dengan nilai yang lebih fantastis untuk Vietnam, yakni sekitar Rp256 triliun.
Mengapa ini bisa terjadi? Padahal, Indonesia merupakan negara yang jauh lebih besar secara geografi dan demografi bila dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia.
Pemerintahan Jokowi selama ini juga selalu mengedapankan kebijakan-kebijakan yang mengundang investasi asing. Tidak jarang Jokowi selalu membicarakan istilah “investasi” di banyak kesempatan, baik di depan publik maupun media.
Lantas, mengapa Indonesia masih saja menjadi negara yang kalah saing, bahkan dengan negara-negara tetangga yang bisa dibilang jauh lebih kecil? Mengapa ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintahan selanjutnya di bawah presiden terpilih RI, Prabowo Subianto?
Jokowi Belum Berhasil?
Investasi asing adalah salah satu kunci bagi masuknya dana dan pekerjaan baru, dua hal yang penting bagi pembangunan Indonesia. Pemerintahan Jokowi-pun secara aktif melakukan strategi-strategi tertentu agar investasi ini datang ke Indonesia.
Ketegangan politik dan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) membuat perusahaan-perusahaan teknologi memindahkan manufakturnya dari Tiongkok. Inipun disebut-sebut menjadi kesempatan emas bagi Indonesia, salah satu negara Asia Tenggara yang juga memiliki tenaga kerja yang terbilang murah seperti Tiongkok.
Jokowi-pun pada tahun 2020 meminta para anggota kabinetnya untuk melakukan sejumlah langkah agar perusahaan-perusahaan ini pindah ke Indonesia. Namun, upaya itupun berakhir dengan kegagalan ketika banyak perusahaan asing itu lebih memilih Vietnam.
Kemarahan Jokowi di rapat kabinetpun beredar di media massa dan media sosial (medsos). Para menteri dianggap gagal memenuhi tugas dari sang presiden.
Namun, pertanyaan sebenarnya adalah mengapa pemerintahan Jokowi gagal dalam menangkap kesempatan itu. Jawabannya adalah karena kondisi dan situasi.
Indonesia memang disebut akan menikmati bonus demografi, suatu kondisi di mana jumlah penduduk dalam usia produktif lebih banyak daripada jumlah penduduk yang tidak produktif dan ditanggung, dalam beberapa tahun ke depan.
Namun, persoalan lain masihn eksis. Persoalan itu adalah pendidikan dan kemampuan sumber daya manusia Indonesia.
Laporan dari McKinsey & Company pada tahun 2018 lalu menyoroti potensi besar negara kepulauan ini dalam mengembangkan ekonomi digital. Namun, walaupun terdapat peluang yang luas, perusahaan teknologi menghadapi tantangan dalam merekrut tenaga kerja berkualitas sesuai dengan kebutuhan pengembangan tersebut.
Situasi ini yang dihadapi Indonesia berbeda jauh dengan India dan Tiongkok, kedua negara yang kini disebut-sebut menjadi tempat di mana banyak talenta teknologi berasal. Bahkan, kini Tiongkok berhasil menjadi salah satu negara yang menguasai teknologi-teknologi baru.
Menurut data yang dikumpulkan oleh World Economic Forum pada tahun 2016, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia hanya sekitar 17,45 juta. Sementara, Tiongkok memiliki lebih dari 77,67 juta lulusan perguruan tinggi.
Ketimpangan ini juga terlihat dalam ranah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Di bidang IPTEK, jumlah lulusan perguruan tinggi Indonesia hanya sekitar 206.000. Angka ini jauh di bawah Tiongkok yang memiliki sekitar 4,67 juta lulusan IPTEK.
Dengan kondisi seperti ini, bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan teknologi seperti Apple dan Microsoft hanya bisa melihat potensi Indonesia sebagai pasar, bukan untuk tempat manufaktur ataupun pengembangan. Wajar saja apabila pemerintahan Jokowi belum berhasil dalam mencuri hati para investor tersebut.
Lantas, langkah apa yang sebenarnya perlu dilakukan? Mengapa ini perlu menjadi pekejaan rumah (PR) besar bagi pemerintahan Prabowo di masa mendatang?
Mengapa Prabowo Perlu Beda?
Suatu negara bisa maju ketika bisa menguasai teknologi-teknologi baru. Bukan tidak mungkin, dengan penguasaan teknologi, Indonesia-pun bisa menjadi negara maju seperti yang dimimpikan oleh Prabowo dan banyak orang lainnya.
Untuk mendapatkan penguasaan teknologi, negara-negara biasa mempelajari teknologi terbaru, tanpa harus mengikuti perkembangan teknologi secara bertahap satu per satu. Strategi ini disebut sebagai strategi loncatan kayak (leapfrogging).
Melalui tulisannya yang berjudul Technological Leapfrogging by Developing Countries, M.R. Bhagavan dari Stockholm Environment Institute mengungkapkan bahwa beberapa negara, termasuk Jerman dan Prancis, pernah mengambil langkah loncatan katak.
Pada abad ke-19, dua negara itu memutuskan untuk menghindari tahapan-tahapan perkembangan industri yang telah dilakukan oleh Inggris guna mencapai status sebagai negara industri. Langkah serupa juga diambil oleh Jepang, Korea Selatan (Korsel), Tiongkok, dan Singapura pada abad ke-20.
Lantas, bagaimana caranya negara-negara ini bisa melakukan strategi loncatan katak? Apa yang bisa dipelajari oleh Prabowo dari negara-negara ini?
Bhagavan dalam tulisannya tadi-pun menyebutkan bahwa loncatan ini bisa dilakukan melalui pengembangan industri dan infrastruktur. Namun, pendidikan-pun juga disebutkan menjadi faktor penting dalam pengembangan itu.
Pada akhirnya, tugas besar inilah yang harus dilakukan oleh Prabowo, yakni dengan mengambil langkah yang berbeda dari pendahulunya, Jokowi. Dalam beberapa program kampanye, Prabowo sendiri berjanji akan mengirimkan lebih banyak mahasiswa dan mahasiswi untuk belajar kedokteran dan IPTEK di luar negeri.
Bila ini benar terwujud, bukan tidak mungkin Indonesia mengalami brain gain (peningkatan kemampuan sumber daya manusia). Pemerintah-pun harus memastikan agar brain gain ini terjadi, bukan sebaliknya. Bukan begitu? (A43)