Site icon PinterPolitik.com

Bukan Rizieq, Anies-UAS Cocok?

bukan rizieq anies uas cocok

Ustadz Abdul Somad alias UAS (kanan) berbincang-bincang ketika berkunjung ke kediaman Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kiri) pada 21 Agustus 2022 lalu. (Foto: Instagram/@ustadzabdulsomad_official)

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baru saja mendapatkan sebuah kunjungan kejutan dari seorang penceramah populer, Ustadz Abdul Somad (UAS). Mungkinkah kejutan ini bisa berkaitan dengan kontestasi politik elektoral pada tahun 2024 mendatang?


PinterPolitik.com

“You’ve moved on, found someone new” – Olivia Rodrigo, “happier” (2021)

Terdapat sebuah kenyataan yang perlu disadari oleh setiap makhluk hidup di muka Bumi ini. Pesan yang perlu diinternalisasi ini adalah kenyataan bahwa tidak ada yang abadi di dunia.

Ketika sebuah hubungan berakhir, misalnya, sedikit merasa bersedih pun sebenarnya wajar. Siapa tahu kalau kita semua yang memiliki pengalaman pahit seperti ini membutuhkan kisah-kisah yang terasa cocok seperti yang terkandung dalam lirik-lirik lagu Olivia Rodrigo di awal tulisan?

Namun, cara terbaik dalam membuat kita cepat pulih akan pengalaman pahit itu adalah dengan tetap melangkah ke depan tanpa harus memberatkan apa yang terjadi masa lalu. Masa lalu tetaplah menjadi masa lalu.

Mungkin, rasa sedih seperti ini yang kini tengah dirasakan oleh Habib Rizieq Shihab (HRS) menjelang kontestasi politik elektoral menuju tahun 2024 mendatang. Meski sempat menjalani hukuman penjara, sosok pemimpin kelompok Persaudaraan Alumni (PA) 212 ini dianggap memiliki kecenderungan dukungan politik pada sosok calon presiden (capres) potensial tertentu, yakni Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Namun, sinyal bahwa Anies tidak lagi memiliki kedekatan politik dengan HRS ini terlihat ketika Imam Besar PA 212 tersebut bebas pada bulan Juli 2022 lalu. Berbeda dengan situasi saat HRS pulang dari Arab Saudi pada tahun 2020 silam, Anies justru tidak mengunjungi Imam Besar tersebut.

Dalam hitung-hitungan politik, HRS pun dinilai tidak benar-benar bisa memberikan keuntungan politik bagi Anies. Mengacu pada artikel PinterPolitik.com berjudul Rizieq Shihab Tidak Berkutik di 2024?, Anies bisa saja telah memiliki kekuatan politik yang lebih kuat di belakangnya daripada HRS, yakni mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) yang disebut-sebut bisa menjadi king maker bagi Anies.

Meski begitu, peran yang dibawa oleh HRS dan JK merupakan dua peran yang sebenarnya berbeda. Ketika JK bisa menjadi king maker bagi Anies, HRS sebenarnya memiliki kekuatan massa yang memiliki pengaruh yang besar, khususnya di Jakarta.

Dengan kekuatan massa yang besar, tentu muncul sejumlah pertanyaan. Mengapa kemudian Anies tampak tidak lagi mendekati HRS dan PA 212? Mungkinkah ada sosok pengganti HRS yang justru dinilai lebih cocok untuk Anies?

UAS Adalah Kunci?

Bila dibandingkan dengan capres-capres potensial lainnya – seperti Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK), Anies merupakan capres potensial yang dianggap memiliki basis suara potensial di kalangan religius. Oleh sebab itu, basis suara dari kelompok Muslim menjadi penting bagi Anies – bila ingin maju sebagai capres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. 

Namun, latar belakang Anies sendiri bukanlah seorang ulama yang jelas lebih memiliki pengaruh di kelompok ini. Maka dari itu, kehadiran seorang ulama atua pemuka agama Islam bisa menjadi kunci Anies untuk mengamankan basis suara tersebut.

Sebelumnya, kehadiran HRS dan Front Pembela Islam (FPI) membuat Anies bisa mengamankan basis suara tersebut dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Kemunculan HRS dan FPI juga terjadi akibat momentum politik yang terjadi pada kontroversi Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok terkait kasus penistaan agama.

Berkaca dari dinamika perpolitikan Pilkada DKI Jakarta saat itu, tentu basis suara ini menjadi salah satu penentu utama dalam kemenangan Anies. Ini pun tidak lepas dari peran HRS dalam memobilisasi massanya di FPI.

Mengapa peran HRS begitu penting dalam dinamika politik saat itu? Jawabannya adalah “senjata” yang dimiliki oleh HRS – yang disebut sebagai spiritual capital (modal spiritual).

Dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Spiritual Capital, Senjata Rizieq?, dijelaskan bahwa konsep modal spiritual ini berangkat dari pendekatan sosiolog asal Prancis bernama Pierre Bourdieu, yakni konsep-konsep modal seperti modal sosial, modal kultural, dan modal simbolis.

Mengacu pada tulisan Bradford Verter berjudul Spiritual Capital, modal spiritual merupakan salah satu bentuk modal kultural yang terejawantahkan dalam tiga bentuk utama, yakni yaitu bentuk modal yang telah melekat (embodied state), modal yang disalurkan dalam objek (objectified state), dan modal yang disalurkan dalam institusi (institutionalized state).

HRS bisa jadi memiliki modal melekat dengan pengetahuan agama yang mendalam. Dengan pengetahuan tersebut, Imam Besar dari PA 212 itu bisa mempengaruhi dan mengontrol massa dalam jumlah besar di kelompok Muslim.

Namun, apakah hanya HRS yang memiliki modal demikian? Tentu, terdapat banyak ulama dan pemuka agama lainnya yang memiliki modal pengetahuan agama yang mendalam. Salah satunya adalah UAS.

Bila UAS dan HRS memiliki modal tersebut, lantas, apa yang membuat UAS memiliki kelebihan pada tingkat tertentu bila dibandingkan dengan HRS? Faktor pembeda apa yang bisa membuat Anies lebih memilih UAS dibandingkan HRS?

Daripada Rizieq, Lebih Cocok UAS?

Baik HRS maupun UAS sama-sama memiliki pengaruh yang besar di kelompok Muslim – khususnya kelompok konservatif. Namun, dua pemuka agama ini tetap saja memiliki perbedaan di antara satu sama lain.

HRS bisa dibilang memiliki gaya ceramah yang lebih kontroversial. Banyak video yang tersebar di media sosial (medsos) justru menggunakan kata-kata yang dinilai kasar. Berbeda dengan HRS, UAS lebih memilih kata-kata yang tidak menimbulkan kontroversi. 

Seperti yang dijelaskan oleh James Boyd White dalam bukunya berjudul When Words Lose Their Meaning, kata-kata (words) tidak hanya mempengaruhi diskursus dalam poliitik, melainkan juga turut membentuk komunitas dan kehidupan bermasyarakat.

Bukan tidak mungkin, pemilihan kata ini menjadi perhatian bagi sebagian masyarakat Indonesia – khususnya masyarakat yang lebih membudayakan nilai-nilai harmoni seperti masyarakat Jawa. Boleh jadi, ini menjadi salah satu alasan mengapa HRS tidak begitu populer di Jateng dan Jawa Timur (Jatim).

Sementara, Anies sendiri kerap memilih penggunaan kata yang santun. Citra santun yang dibangun Anies juga bisa jadi berkaitan dari bagaimana Gubernur DKI Jakarta tersebut menampilkan dirinya sebagai seorang Jawa.

Dampak dari penggunaan bahasa ini akhirnya berkaitan juga dari bagaimana HRS dan UAS memiliki luas jangkauan (outreach) yang berbeda secara nasional. Bila HRS benar-benar tidak disukai di Jateng dan Jatim, UAS masih memiliki celah untuk bisa memiliki outreach di wilayah-wilayah itu.

Dari sisi kelompok Muslim tradisionalis seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dominan di Jatim, misalnya, UAS masih memiliki kedekatan tertentu. Dalam beberapa kesempatan, pemuka agama dari Sumatera tersebut masih disebut sebagai bagian dari NU.

Faktor pembeda kontras antara HRS dan UAS inilah yang mungkin menjadi pertimbangan Anies bila ingin memeluk berbagai kelompok Muslim di Indonesia. Mungkin, HRS bisa dominan di Jakarta. Namun, HRS masih banyak memiliki kelemahan di wilayah-wilayah Indonesia lainnya.

Bila gambaran di atas benar adanya, bukan tidak mungkin Anies akan lebih merasa cocok untuk menggandeng UAS dibandingkan HRS. Dengan modal spiritual UAS, Anies bisa saja berkesempatan untuk mendapatkan jangkauan yang lebih luas di kelompok-kelompok Muslim yang berbeda-beda.

Mungkin, seperti lirik Olivia Rodrigo di awal tulisan, kini sudah saatnya Anies move on dari HRS dan menemukan sosok baru untuk digandengnya, yakni UAS. Lagipula, dalam sebuah “hubungan”, kebahagiaan mutual justru sangat penting. Bukan begitu? (A43)


Exit mobile version