Dengarkan artikel ini:
Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto, dirumorkan tidak akan menunjuk Retno Marsudi sebagai menteri luar negeri (menlu). Bahkan, salah satu nama yang kabarnya dipertimbangkan adalah Fadli Zon.
“Trust is earned through power, Cathy. If we don’t act decisively, we’ll be seen as weak and ineffective” – Frank Underwood, House of Cards (2013-2018)
Permainan politik merupakan permainan yang penuh intrik dan membutuh manuver strategis. Ini semua tergambarkan dalam sebuah serial televisi yang berjudul House of Cards (2013-2018).
Berpusar pada kisah Frank Underwood beserta istrinya, Claire Underwood, House of Cards menceritakan bagaimana politikus ini akhirnya berhasil menjadi presiden Amerika Serikat (AS).
Dalam pemerintahannya, Underwood-pun menghadapi berbagai masalah. Salah satunya adalah kebijakan luar negeri, yang mana soal ini dirinya dibantu oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Cathy Durant.
Durant-pun merupakan seorang politikus yang memiliki pengalaman panjang dalam diplomasi dan politik luar negeri. Namun, Durant akhirnya mengalami kesulitan karena harus kerap kali berbeda pendapat dengan sang presiden, Frank Underwood.
Perihal kebijakan luar negeri AS terhadap Republik Rakyat Tiongkok (RRT), misalnya, Underwood selalu mengedapankan preferensi kebijakan seperti sanksi ekonomi. Padahal, Durant menyarankan negosiasi untuk membangun kepercayaan dari pemerintah Tiongkok.
Perbedaan preferensi kebijakan ini tidak hanya terjadi soal kebijakan luar negeri perihal Tiongkok, melainkan juga kebijakan luar negeri terkait kawasan Timur Tengah. Meski Durant menyarankan dialog dan kerja sama dengan aktor di kawasan, Underwood lebih memilih untuk menggunakan kekuatan militer dan paksaan dalam negosiasi.
Penggambaran proses pengambilan kebijakan luar negeri dalam serial ini sebenarnya menggambarkan bagaimana kebijakan-kebijakan ini memiliki signifikasi strategis yang tinggi. Itulah sebabnya individu yang berada di puncak kepemimpinan memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang mendalam.
Inipun juga berlaku bagi pemerintah Indonesia di dunia nyata. Ini mengapa juga pemerintahan yang baru nanti di bawah Prabowo Subianto juga perlu mempertimbangkan siapa yang akan menjabat sebagai Menlu RI.
Lantas, siapakah yang akan dipilih oleh presiden terpilih RI, Prabowo? Mungkinkah Retno Marsudi atau individu lain yang dianggap lebih sesuai dengan preferensi kebijakan Prabowo?
Kementerian Luar Negeri: “Arena” Sipil vs Militer (Lagi)?
Perbedaan preferensi kebijakan seperti di atas tadi sebenarnya tidaklah unik terjadi antara Underwood dan Durant. Perdebatan serupa pernah terjadi di dunia nyata, bahkan di negara kita sendiri.
Semua bermula dari Peristiwa 30 September 1965, yang mana akhirnya berujung pada pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Usai Soekarno lengser, tepatnya pada tahun 1966, dibentuklah Tim Penertib.
Mengacu ke penjelasan Greta Nabss-Keller dalam tulisannya yang berjudul “Reforming Indonesia’s Foreign Ministry: Ideas, Organization and Leadership,” Tim Penertib yang nantinya berubah menjadi Laksus Luar Negeri ini melakukan semacam “pembersihan” terhadap Departemen Luar Negeri (Deplu), nama Kementerian Luar Negeri (Kemlu) saat itu.
Dari Laksus, akhirnya Kemlu yang sebelumnya didominasi oleh para diplomat sipil mulai diisi oleh para pejabat militer dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Setidaknya, pada tahun 1970-an, sejumlah posisi direktur jenderal (dirjen) seperti Direktorat Asia-Pasifik selalu diisi oleh militer.
Tentunya, perubahan ini bukanlah tanpa dampak. Perbedaan preferensi kebijakan luar negeri akhirnya sering terjadi.
Menlu Adam Malik, misalnya, kerap berbeda pendapat dan berdebat dengan para pejabat militer di internal Deplu. Salah satu isu kebijakan yang kerap diperdebatkan adalah hubungan diplomatik dengan Tiongkok, yang mana merupakan kebijakan yang ditentang oleh ABRI karena nilai anti-komunisme.
Kehadiran pejabat-pejabat ABRI di Deplu akhirnya juga membawa perubahan dalam arah kebijakan. Kebijakan luar negeri Indonesia kala itu juga lebih berorientasi pada keamanan, yang mana bisa saja terkesan lebih menggunakan perspektif realis./
Perbedaan arah kebijakan di internal Deplu ini juga tidak hanya terjadi di era Adam Malik. Saat Menlu Ali Alatas menjabat, perbedaan pendapat disebut juga terjadi perihal kebijakan di Timor Timur (sekarang Timor Leste), Aceh, dan Papua.
Jika ABRI lebih menekankan pada orientasi kebijakan keamanan, banyak petinggi sipil Deplu justru lebih memiliki prinsip liberal karena sebagian besar dari mereka memiliki latar belakang pendidikan hukum yang didapatkan di negara-negara Barat. Maka dari itu, diplomat sipil lebih menekankan pada norma-norma hak asasi manusia (HAM).
Meski begitu, perpecahan internal ini mereda usai Orde Baru berakhir. Kemlu kini akhirnya lebih didominasi oleh para diplomat sipil.
Lantas, bagaimana dengan situasi saat ini? Apa yang perlu dipertimbangkan oleh Prabowo dalam memilih Menlu barunya?
Mustahil Prabowo Pilih Retno?
Apa yang terjadi di Deplu di masa lampau setidaknya juga menjadi gambaran bahwa preferensi kebijakan itu bisa saja hadir kembali di masa kini dan mendatang. Namun, apakah memang pergantian itu yang kini sedang dibutuhkan?
Seperti yang banyak diketahui, Prabowo memang memiliki visi kebijakan luar negeri yang lebih tegas. Dalam sejumlah kesempatan, Prabowo bahkan menekankan pada pentingnya kekuatan negara dalam menunjukkan posisinya di politik dunia.
Menurut Prabowo, Indonesia perlu memiliki kekuatan militer yang lebih kuat. Selain itu, Indonesia juga perlu menunjukkan pengaruhnya sebagai salah satu negara besar di dunia, seperti dengan menjadi pemimpin bagi negara-negara berkembang di belahan bumi selatan.
Tentu, visi Prabowo untuk kebijakan luar negeri Indonesia bukanlah hal sederhana. Inipun juga didasari pada asumsi-asumsi perspektif realis dalam Hubungan Internasional (HI).
Apa yang diimpikan oleh Prabowo bisa jadi justru banyak berseberangan dengan para petinggi diplomat di Kemlu saat ini. Menlu saat inipun merupakan seorang diplomat yang justru lebih berfokus pada pendekatan-pendekatan domestik.
Menlu Retno Marsudi, mengacu pada penjelasan Aaron L. Connelly di tulisannya yang berjudul “Sovereignty and the Sea: President Joko Widodo’s Foreign Policy Challenges,” merupakan seorang diplomat yang dipilih jadi menlu oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena konsep yang dibuatnya, yakni diplomasi membumi.
Retno sendiri merupakan salah satu bagian dari kelompok yang disebut sebagai “Hassan’s boys,” julukan untuk diplomat-diplomat kondang yang dididik oleh mantan Menlu RI Hassan Wirajuda. Beberapa di antaranya adalah yang berasal dari diplomat angkatan 12 dan 13, seperti Arif Havas Oegroseno, Marty Natalegawa, dan Hassan Kleib.
Hassan sendiri merupakan salah satu menlu yang paling sukses dalam sejarah RI. Namun, bisa dibilang, rekam jejak Hassan untuk membangun norma HAM di ASEAN merupakan bentuk institusionalisme liberal yang justru lebih menekankan pada kerja sama antarnegara dibandingkan realitas politik luar negeri yang didasarkan pada kekuatan seperti pendekatan realis.
Bukan tidak mungkin, para petinggi diplomat Kemlu yang sebagian besar merupakan “Hassan’s boys” memiliki cara pandang yang mirip dalam membangun kebijakan luar negeri Indonesia.
Lantas, apakah mungkin ini saatnya merombak itu semua? Bisa saja, apalagi realias geopolitik kini menuntut akan adanya kecurigaan terhadap negara-negara lain, mengingat negara-negara kini saling memperkuat kekuatan militer mereka.
Bukan tidak mungkin, Prabowo membutuhkan sosok yang dapat dipercayainya dalam menyusun kebijakan luar negeri RI. Sejumlah namapun akhirnya muncul, mulai dari Rosan Roeslani, Meutya Hafid, hingga Fadli Zon.
Siapakah yang kan dipilih oleh Prabowo? Mungkin, hanya Mr. President-elect yang tahu untuk saat ini. (A43)