Site icon PinterPolitik.com

Bukan PPP, Sandi Berlabuh ke PKS?

sandiaga pks

Sandiaga Uno. (Foto: Detik)

Elite Partai Gerindra yang juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menghadiri acara yang digelar kader muda PKS Kota Malang, Jawa Timur. Usai acara Sandi memberikan pernyataan hubungannya dengan PKS memang “mesra” dan akan terus dijaga. Lalu, akankah itu menjadi tanda bahwa Sandi akan segera merapat ke PKS? 


PinterPolitik.com 

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Uno belakangan terlihat menghadiri acara-acara yang digelar PKS ditengah isu kepindahannya ke PPP menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti. 

Terakhir, Sandi menghadiri acara yang digelar kader muda PKS di Kota Malang, Jawa Timur (Jatim). Pada kesempatan tersebut, lampu sorot seolah tertuju kepada Sandi yang dipercaya menjadi pembicara dalam program Malang Cerdas yang diusung Ketua Bidang Kepemudaan DPP PKS Gamal Albinsaid. 

Gamal sendiri diketahui merupakan mantan juru bicaranya ketika berkonstestasi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu, sehingga dirinya mengaku sangat mendukung program yang diusung politisi muda PKS itu. 

Menariknya, seusai acara Sandi menyatakan hubungannya dengan PKS yang selama ini terjalin masih “mesra” dan akan terus dijaga. 

Sandi juga mengaku sekarang sedang menimbang dengan cermat terkait langkah politiknya ke depan. Dia mengaku setelah Lebaran nanti akan ada keputusan penting yang akan diambil. 

Sebelum dengan PKS, Sandi sebelumnya dikabarkan kuat bakal hengkang dari Partai Gerindra dan bergabung dengan PPP. Pengumuman resmi Sandi sebagai kader Partai berlambang Kakbah bahkan tampaknya hanya tinggal menunggu waktu. 

Nyatanya, hal tersebut tidak kunjung terjadi. Bahkan, Sandi belakangan “mesra” dengan PKS hingga kerap menghadiri acara yang digelar partai politik (parpol) yang dahulu bernama Partai Keadilan (PK) tersebut. 

Merespons hal tersebut, Ketua DPP PPP Ahmad Baidowi menyatakan Sandi memiliki hak politik untuk bergabung dengan parpol manapun. Dia juga menjelaskan PPP menyerahkan semua keputusan kepada Sandi. 

Yang juga menarik, Sandi kini seolah tinggal menentukan pilihan mudah untuk bergabung dengan salah satu dari dua parpol dengan ideologi Islam. 

Lalu, mengapa Sandi seakan menjadi sosok yang paling mengidentikkan diri dekat dengan entitas Islam, termasuk sederet parpolnya? Mengapa Sandi juga disambut baik oleh dua “entitas politik” Islam tersebut? 

Representasi Sosok Islamis? 

Belakangan, berkaca politik Indonesia yang hampir selalu diwarnai isu politik identitas menjelang Pemilu, banyak orang khawatir melihat kedekatan dan peluang Sandi yang akan bergabung dengan salah satu dua parpol bertentitas Islam.  

Yang dikhawatirkan, Sandi kemudian bisa saja akan terjebak dalam isu tersebut yang dapat memantik residu sosio-politik yang tak diinginkan. 

Namun, Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul The Origin of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution menjelaskan bahwa hal itu merupakan konsekuensi dari kehidupan manusia yang berkelompok. 

Fukuyama juga menjelaskan kehidupan manusia lah yang kemudian melahirkan “politik” untuk mengatur perbedaan-perbedaan yang tak bisa dihindari dalam sebuah kelompok.

Singkatnya, politik adalah respons dari kesadaran atas perbedaan identitas. Yang dimaksud identitas ini sendiri sangat luas, mulai dari identitas agama, suku, ras, kelompok kerja, dan masih banyak lagi. 

Sebagai contoh, anggota parlemen merupakan representasi dari konstituen yang berada di daerah pemillihannya (dapil). Para anggota parlemen itu harus menyuarakan apa yang menjadi kepentingan konstituennya. 

Dengan demikian, tidak ada salahnya jika Sandi yang sekarang menjadi sosok yang seolah mengidentikkan diri dekat dengan parpol yang bernuansa Islam dan kemudian bermain dengan isu politik identitas yang mungkin akan membawanya ke kontestasi Pilpres 2024 nanti. 

Michael Maccoby dalam publikasinya yang berjudul Why People Follow the Leader: The Power of Transference menjelaskan secara tersirat jika budaya santri-santri di daerah yang memiliki sikap patuh pada kiai dan ulama panutannya yang kemudian dapat bertransformasi menjadi dukungan elektoral bagi entitas politik tertentu. 

Tidak hanya para santri, kelompok masyarakat lain yang menghormati para ulama dan kiai pun juga memiliki tendensi akan “kepatuhan politik” yang sama. 

Berkaca dari dua penjelasan diatas, tampaknya Sandi menyadari hal itu adalah sebuah peluang untuk membawanya ikut serta dan aktif dalam Pilpres 2024 nanti. 

Relasi antara Sandi dan para ulama dan kiai sejatinya sudah berlangsung sejak Pilpres 2019 yang dimana saat itu Sandi mendampingi Prabowo Subianto. 

Namun, pasca Pilpres, keputusan Prabowo yang bergabung dengan kubu Jokowi mendapatkan impresi negatif dari para ulama, kiai, dan kelompok Islam tertentu karena dianggap telah “berkhianat”. 

Menariknya, impresi negatif itu tidak ikut dirasakan oleh Sandi. Faktor-faktor tersebut yang kemudian nampaknya disadari oleh Sandi bahwa relasi dengan entitas Islam merupakan investasi bagi karier politiknya kedepan. 

Lantas, apakah keputusan Sandi jika bergabung dengan salah satu parpol berentitas Islam sudah tepat? Apakah keputusan itu bisa membawanya menjadi kontestan Pilpres 2024? Serta PPP atau PKS? 

Bukan Keputusan Tepat? 

Saat ini banyak parpol bernuansa Islam yang mulai bergeser ke arah lebih moderat. Bagi sebagian orang, pergeseran ini sejalan dengan gagasan Islam modern dan dianggap solusi perkembangan zaman dengan tetap mengakomodir ceruk suara mereka yaitu umat Muslim. 

Namun, pandangan berbeda datang dari pengamat politik dan sekularisme Olivier Roy dalam bukunya yang berjudul The Failure of Political Islam. 

Roy dalam penjelasannya sudah memprediksi banyak parpol dari negara-negara Islam akan beralih kearah yang lebih modernis. Bagi Roy, hal tersebut bukanlah sesuatu yang solutif. 

Hal tersebut justru menandakan bahwa parpol Islam telah gagal membawa ide-ide fundamental agama menjadi sebuah gerakan politik. 

Roy menambahkan, hingga pada akhirnya hal ini akan berdampak pada partai Islam yang modernis setiap Pemilu hanya akan mengejar ambang batas parlemen dan mencari celah agar terlibat dalam koalisi bersama parpol yang nasionalis atau sekuler. 

Pernjelasan Roy diatas sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Catriona Croft-Cusworth dalam tulisannya yang berjudul Why Islamic Parties Don’t Win Indonesian Elections yang kurang lebih menjelaskan bahwa parpol-parpol Islam sendiri saling memiliki pandangan yang berbeda diantara mereka. 

Hal ini yang tampaknya menyebabkan parpol-parpol Islam di Indonesia tidak bisa bersatu dan mengalahkan dominasi parpol nasionalis atau sekuler. 

Padahal, potensi partai Islam menguasai dunia politik Indonesia sangat terbuka lebar karena masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. 

Berkaca dari dua penjelasan di atas, keputusan Sandi yang mengidentikan diri dekat dengan entitas Islam dan kabarnya akan bergabung dengan salah satu dari parpol Islam tampaknya belum cukup akan membawa Sandi untuk ikut dalam Pilpres 2024. 

Terlebih, kedua parpol tersebut, PPP dan PKS agaknya akan bergabung dengan koalisi yang hampir pasti memiliki calon lain yang akan maju dalam Pilpres 2024. 

Bahkan, partner koalisi PKS, Partai Demokrat sudah secara terang-terangan menolak mencalonkan Sandi untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) berpasangan dengan Anies Baswedan. 

Namun, analisis diatas masih sebatas interpretasi semata. Yang jelas, kembali mengutip pernyataan Ketua DPP PPP Ahmad Baidowi pada bagian sebelumnya, apapun langkah Sandi akan diambil merupakan hak politiknya sebagai warga negara. 

Menarik untuk melihat langkah politik Sandi yang akan diambil setelah Lebaran nanti. Kembali, Sandi perlu benar-benar mempertimbangkan hal tersebut dengan matang mengingat langkah Sandi kemungkinan besar akan sangat berpengaruh bagi reputasi dan karier politiknya. (S83)

Exit mobile version