HomeHeadlineBukan PKS, Kenapa PKB Pilih Gerindra?

Bukan PKS, Kenapa PKB Pilih Gerindra?

Kecil Besar

Meskipun sama-sama partai Islam, koalisi PKB dan PKS justru kandas di tengah jalan. Lantas, mengapa PKB berkoalisi dengan Partai Gerindra yang merupakan partai nasionalis? 


PinterPolitik.com

Di tengah pergunjingan banyak pihak soal siapa capres-cawapres di 2024, pengamat politik M. Qodari memberikan pernyataan menarik yang berbeda sendiri. Menurut Qodari, justru tidak tepat membahas siapa sosok yang akan maju saat ini, karena yang seharusnya dibahas adalah partai politik mana yang berpotensi berkoalisi. 

Qodari memiliki alasan sederhana atas penekanan itu. Menurutnya, nama atau sosok adalah sesuatu yang tidak pasti. Katakanlah sekarang elektabilitasnya tinggi, mungkin enam bulan lagi akan turun, begitu pula sebaliknya. 

Sementara untuk partai politik, perolehan suara mereka itu pasti. Jumlah 128 kursi DPR (22,26 persen) PDIP tidak akan berubah, begitu pula kursi PPP, PAN, maupun partai lainnya. Dengan demikian, yang jauh lebih penting dibahas adalah koalisi partai politik yang mungkin untuk terbentuk.

Menurut Qodari, setidaknya ada dua rumus dalam melihat kecocokan koalisi. Pertama adalah irisan platform, basis massa, atau ideologi. Sementara yang kedua adalah sebesar apa potensi konflik yang dapat tercipta dari koalisi. Jika irisannya besar dan potensi konfliknya kecil, itu akan menjadi koalisi yang solid.

Nah, dua rumus itu akan kita gunakan untuk membaca salah satu koalisi partai yang sudah terbentuk, yakni koalisi Partai Gerindra dan PKB. Sekilas, kita tentu mengetahui Gerindra adalah partai nasionalis, sedangkan PKB adalah partai Islam. Lantas, dengan perbedaan itu, apakah koalisi PKB-Gerindra akan solid? 

Lalu, kenapa koalisi PKB dan PKS yang sebelumnya sempat mencuat kandas di tengah jalan? Bukankah keduanya adalah partai Islam?

pkb tolak pks

Pengujian Deduktif

Untuk kepentingan itu, kita akan melakukan pembuktian deduktif. Sedikit memberi konteks, dalam filsafat, khususnya epistemologi, ada tiga metode untuk membuktikan kebenaran. 

Pertama adalah induktif. Ini adalah pembuktian empiris atau pembuktian langsung ke lapangan. 

Kedua adalah pembuktian deduktif. Ini adalah pembuktian berdasarkan koherensi teoritis. Kita dapat menyebutnya sebagai uji literatur. 

Ketiga adalah pembuktian testimoni. Ini adalah pembuktian berdasarkan testimoni atau kesaksian pihak lain.

Alasan tulisan ini menggunakan pembuktian deduktif karena dua pembuktian lainnya sulit dilakukan. Terkait pembuktian induktif, kita harus menunggu sampai Pemilu 2024 untuk melihat apakah koalisi Gerindra-PKB benar-benar solid. 

Kemudian, terkait pembuktian testimoni, berkaca pada politisi yang kerap melakukan doublespeak (pernyataan ganda), baik elite PKB maupun Gerindra pasti mengatakan koalisinya solid.

Kendala-kendala itu membuat kita menggunakan pembuktian deduktif dengan menggunakan dua rumus dari M. Qodari. 

Rumus pertama, seberapa besar irisan platform dan basis massa kedua partai tersebut? Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, secara cepat, banyak pihak akan mengatakan koalisi ini memiliki irisan yang tidak besar karena perbedaan platform.

Baca juga :  Deddy Corbuzier: the Villain?

Namun, apabila kita membaca penelitian Diego Fossati, Edward Aspinall, Burhanuddin Muhtadi, dan Eve Warburton yang berjudul Ideological representation in clientelistic democracies: The Indonesian case, pandangan itu sekiranya gugur. 

Penelitian yang terbit pada Februari 2020 itu meneliti sepuluh partai politik, yakni NasDem, PDIP, Gerindra, PPP, PKB, PKS, Demokrat, Golkar, PAN, dan Hanura. Dari sepuluh partai itu, hanya Hanura yang tidak lolos ke Parlemen pada Pemilu 2019.

Penelitian itu mencoba menjawab pertanyaan, apakah partai politik menunjukkan perbedaan sikap atau posisi terhadap suatu isu di tengah sistem klientelisme di Indonesia. Dalam temuannya, perbedaan sikap ternyata kentara terlihat pada isu Islam. Sementara pada isu ekonomi, semua partai memiliki cara pandang yang sama.

Pada diagram Political Islam Index (PII) di atas, terlihat perbedaan posisi kentara partai, baik politisi maupun pemilihnya di isu Islam โ€” misalnya soal apakah Islam harus lebih diprioritaskan dari agama lainnya, atau apakah hukum Islam harus diimplementasikan. Ada perbedaan spektrum terhadap isu-isu itu.

Yang menarik adalah, PKB yang selama ini disebut sebagai partai Islam justru tidak memiliki PPI sebesar PKS, PPP, dan PAN. Partai lebah berada di tengah bersama dengan Gerindra, bahkan sedikit berada di belakangnya. 

Data ini tampaknya menjawab mengapa loyalis dan kader PKB yang menamakan dirinya PKB Merah menolak koalisi dengan PKS. Di kesempatan yang sama, mereka mendukung koalisi dengan Partai Gerindra.

โ€Saya nggak perlu menjelaskan, tapi PKB ini lahir dari NU (Nahdlatul Wathan) dan segaris dengan NU. Dan wawasan kebangsaannya berbeda dengan PKS. Ini yang jadi kegelisahan kami yang merupakan pemilih dan loyalis PKB,โ€ ungkap Koordinator PKB Merah Budi Santoso pada 15 Juni 2022.

Bertolak pada pernyataan Budi Santoso, condongnya PKB Merah pada Partai Gerindra sekiranya mengafirmasi skor PPI di atas. Selain itu, jika melihat basis pendukung Gerindra di dua gelaran pilpres terakhir, partai nasionalis ini justru mendapat banyak dukungan dari massa Islam.

cak imin atau khofifah ed.

Cak Imin atau Khofifah?

Sekarang kita akan mendeduksi rumus kedua. Seberapa kecil potensi konflik koalisi PKB-Gerindra?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita dapat membaca buku Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi yang berjudul Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru.

Dalam buku itu, ada satu teori menarik yang dijelaskan, yakni teori pilihan rasional. Secara sederhana, teori ini menegaskan bahwa individu pasti mengambil keputusan dengan bertolak pada insentif maksimal untuk dirinya sendiri.

Meskipun teori itu digunakan untuk menjelaskan perilaku pemilih di pemilu, dalam konteks tulisan ini, penulis akan menggunakannya untuk menjelaskan perilaku politisi, baik PKB maupun Gerindra. 

Baca juga :  Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pada praktik sehari-hari, teori pilihan rasional mengasumsikan individu memiliki kalkulasi untuk menentukan pilihan yang paling menguntungkannya. Sebagai contoh, jika Anton memiliki belanja mingguan sebesar Rp100 ribu, pilihan rasional Anton adalah membeli makanan di warteg yang kisaran harganya Rp10-15 ribu per porsi. 

Anton tidak akan makan siang ke McDonaldโ€™s karena dapat menghabiskan uang Rp50-80 ribu per porsinya. Jika pergi ke McDonaldโ€™s, Anton akan kesulitan makan dalam empat sampai lima hari ke depan.

Teori pilihan rasional ini kemudian menjadi jawaban kenapa McDonaldโ€™s tidak membuka cabang di pedesaan yang pendapatan harian masyarakatnya sangat kecil.  

Kembali pada PKB. Dengan bertolak pada target partai lebah untuk mengusung kadernya sebagai kandidat di Pilpres 2024, pilihan rasional para kader PKB adalah berkoalisi dengan Partai Gerindra.

Kalkulasinya sederhana. Berbeda dengan Gerindra yang memiliki figur dengan popularitas dan elektabilitas yang tinggi, yakni Prabowo Subianto, PKS tidak memiliki figur menonjol. Selain itu, Gerindra juga termasuk partai yang memiliki logistik yang besar.

Kemudian, ini yang terpenting, berkoalisi dengan PKB akan menambal kelemahan Gerindra. Berdasarkan survei Charta Politika yang dirilis Juli 2022, Prabowo terpantau unggul di Jawa Barat, namun tertinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Mengacu pada basis massa PKB yang berpusat di Jawa Timur, koalisi Gerindra-PKB diprediksi akan menyerap dukungan dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Dua provinsi itu adalah provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia.

Mungkin sekarang pertanyaannya adalah, siapa kader PKB yang dipilih Prabowo sebagai pendampingnya? Apakah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) atau Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa?

Berdasarkan simulasi berbagai survei, duet Prabowo-Cak Imin atau Prabowo-Khofifah terlihat unggul. Survei Media Survei Nasional (Median) yang dirilis Agustus 2022 menunjukkan Prabowo-Cak Imin unggul dengan 24,1 persen. Survei Political Weather Station (PWS) yang dirilis April 2022 menunjukkan Prabowo-Khofifah unggul sebesar 45,6 persen.

Kembali mengutip teori pilihan rasional. Prabowo yang mendapatkan pendamping yang memiliki basis massa di Jawa Timur tentu adalah pilihan rasional. Ini akan meningkatkan potensi kemenangan di Pilpres 2024. Artinya, koalisi PKB-Gerindra, tidak hanya akan solid, melainkan juga menguntungkan keduanya.

Namun, jika dihadapkan antara Cak Imin atau Khofifah, mungkin kalkulasinya akan mengarah pada Khofifah. Seperti yang diketahui, Cak Imin terlibat ketegangan dengan keluarga Gus Dur dan PBNU. Untuk memaksimalkan dukungan dari warga NU, Khofifah mungkin yang akan dipilih. 

Sebagai penutup, ada dua kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, mengacu pada PPI, tampaknya sulit melihat koalisi antara PKB dan PKS. Kedua, untuk meraup dukungan dari Jawa Timur dan massa NU, Prabowo tampaknya akan lebih memilih Khofifah daripada Cak Imin. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump Alami โ€œWarisanโ€ yang Sama?

Kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia. Mungkinkah ada intrik mendalam yang akhirnya membuat AS terpaksa ambil langkah ini?

Didit The Peace Ambassador?

Safari putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit, ke tiga presiden RI terdahulu sangat menarik dalam dinamika politik terkini. Terlebih, dalam konteks yang akan sangat menentukan relasi Presiden Prabowo, Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...