HomeNalar PolitikBukan Penjajah, Kenapa Indonesia Benci Yahudi-Komunis? 

Bukan Penjajah, Kenapa Indonesia Benci Yahudi-Komunis? 

Kecil Besar

Dengarkan artikel berikut!

Indonesia di masa lampau dijajah Belanda dan Jepang, tapi, masyarakat kita kini lebih membenci etnis Yahudi dan pengikut komunisme. Mengapa bisa demikian? 


PinterPolitik.com 

Apakah kalian mengetahui tuduhan apa yang paling menakutkan di Indonesia? Pastinya bukan tuduhan โ€œwibuโ€, ataupun tuduhan โ€œgamer akutโ€. Bukan, tapi, tuduhan yang secara otomatis bisa menciptakan rasa takut yang begitu besar di negara kita, Indonesia, adalah tuduhan โ€œkomunisโ€ dan pendukung Yahudi. 

Dan hal ini pun sempat beberapa kali dibuktikan di lapangan. Survei yang pernah dilakukan Wahid Foundation pada tahun 2018, misalnya, mengungkap bahwa kelompok yang paling tidak disukai di Indonesia ternyata adalah para pengikut komunisme.  

Sementara itu, terkait kebencian kepada etnis Yahudi, menurut survei Anti-Defamation League, Indonesia menempati peringkat ke-4 sebagai negara dengan tingkat kebencian terhadap Yahudi tertinggi di dunia. 

Namun, pernahkah terlintas di pikiran kalian tentang mengapa masyarakat kita begitu membenci Yahudi dan komunis, ketimbang Belanda ataupun Jepang? Padahal, jika melihat catatan sejarah, yang pernah secara langsung merugikan masyarakat Indonesia adalah para penjajah Belanda dan Jepang. 

Anehnya, kita kini tidak lagi benci terhadap mereka, bahkan memiliki hubungan yang relatif harmonis, termasuk dalam bidang bisnis dan program pertukaran pelajar. Hal ini cukup berbeda dengan keadaan di Korea Selatan (Korsel) dan Tiongkok di mana banyak warga mereka yang hingga kini masih membenci Jepang karena pernah menjajahnya. 

Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Apakah Yahudi dan komunisme punya sejarah yang lebih โ€˜kejamโ€™ dibanding Jepang dan Belanda? Well, di tulisan ini kita akan mengulasnya bersama. 

image 2

Perbedaan Kekejaman Sejarah 

Menurut sejumlah catatan sejarah, perkiraan masuknya komunisme ke Indonesia diduga dimulai sejak tahun 1913, yang dibawa oleh seorang anggota partai komunis Belanda, bernama Henk Sneevliet. Sneevliet, yang menentang keras pendudukan Jerman atas Belanda pada masa itu, membawa pandangan politik yang kemudian diadopsi oleh Indische Sociaal-Democratische Vereeniging, yang menjadi cikal bakal PKI. 

Baca juga :  Siasat Ahok "Bongkar" Korupsi Pertamina

Kondisi Indonesia yang saat itu berada di bawah pengaruh kolonialisme selama ratusan tahun memiliki situasi sosial yang pas bagi Sneevliet untuk menyebarkan pandangan politiknya.

Sementara itu, keberadaan Yahudi di Indonesia jauh lebih tua. Mereka pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-7 melalui jalur perdagangan dunia yang disebut Jalur Sutra. Menurut Jacob Saphir, seorang penulis Yahudi abad ke-19 yang membahas kehidupan komunitasnya di Hindia Belanda, orang-orang Yahudi disebut awalnya berasal dari komunitas pedagang Irak dan Yaman. 

Dalam konteks ini, jika dibandingkan dengan diskriminasi dan kekerasan yang dilakukan oleh Jepang dan Belanda, catatan sejarah Yahudi dan komunis sebenarnya lebih โ€œdamaiโ€, karena masuknya mereka ke Nusantara dilakukan tanpa disrupsi politik seperti penjajahan ataupun perang.  

Belanda, seperti yang kita tahu, masuk melalui Indonesia dengan VOC membawa misi kolonialisme, untuk mengeksploitasi kekayaan sembari melakukan disrupsi besar kepada tatanan sosial yang sebelumnya sudah berlaku di wilayah Nusantara. Di sisi lain, Jepang masuk karena urgensi mereka demi memenangkan Perang Dunia II dengan Barat, eksploitasi mereka pun meninggalkan luka yang cukup mendalam bagi beberapa masyarakat kita. 

Lantas, mengapa kita lebih โ€˜takutโ€™ terhadap Yahudi dan komunsime?  

image 3

Konstruksi dan Dekonstruksi 

Setidaknya empat jawaban atas pertanyaan yang bisa menjelaskan kebencian kepada Yahudi dan komunisme. 

Pertama, ini terkait dengan warisan politik. Kita tahu bahwa pada masa Orde Baru, komunisme sangat dibenci, dan yang menarik, pengucilan tidak hanya terjadi pada para pengikut komunis tetapi juga pada Yahudi, sejak Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, Yahudi seakan โ€˜resmiโ€™ dimusuhi bersama karena Yudaisme tidak diakui sebagai agama resmi negara. 

Kedua, kurangnya upaya rekonsiliasi. Berbeda dengan negara seperti Tiongkok atau Korsel yang masih membenci Jepang, Hubungan Indonesia lebih memiliki rekonsiliasi yang lebih sukses dengan bekas penjajahnya. Belanda kini dikenal sebagai salah satu negara terbesar pemberi beasiswa luar negeri, sementara Jepang berada di level yang lebih tinggi dengan pembangunan industri otomotifnya di negara kita. 

Baca juga :  BUMN Join Danantara, โ€œErick Tersingkirโ€?

Namun, kebencian terhadap Yahudi dan komunis sendiri tidak pernah mendapat kesempatan untuk berkompromi. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 soal pelarangan PKI dan penyebaran ajaran komunisme masih berlaku. Dan terkait Yahudi, hingga sekarang negara kita tidak pernah menjalin hubungan secara resmi dengan negara penganut terbesarnya, Israel. 

Ketiga, kemungkinan rekayasa sosial. Seperti di Amerika Serikat (AS), penghinaan terhadap kelompok tertentu dapat digunakan sebagai bahan bakar populisme politik, contohnya seperti rasisme terhadap warga kulit hitam di sana.  

Jika kita melihat fenomena kebencian terhadap Yahudi dan komunsime dengan kacamata yang sama, maka bisa jadi di Indonesia fenomena serupa pun juga terjadi melalui rekayasa sosial, di mana kebencian terhadap komunis dan Yahudi dibangun sebagai bahan agitasi kemarahan publik untuk mencap sesuatu sebagai hal yang benar-benar perlu dimusuhi bersama.  

Keempat, kurangnya pemahaman tentang Yahudi dan komunisme itu sendiri. Satu hal yang menarik tentang kebencian kita terhadap Yahudi dan komunisme adalah ini sering dihubungkan dengan pandangan agama.  

Sehingga, hal yang terjadi kemudian adalah banyak orang yang anti terhadap Yahudi dan komunis hanya karena perintah turun-menurun, tanpa benar-benar memahami sejarah dan realitasnya. Padahal, Yahudi dan komunisme tidak secara langsung dapat dihubungkan dengan aksi kekerasan kelompok-kelompok yang sering mengatasnamakan dua hal itu.  

Alasan-alasan ini mungkin bisa menjelaskan mengapa kebencian terhadap Yahudi dan komunis tampak lebih besar dibandingkan dengan negara bekas penjajah. Namun, tentunya, perlu diingat bersama persoalan ini merupakan persoalan kompleks.  

Untuk ke depannya, tentu menarik untuk mempelajari bagaimana sentimen negatif ini berdampak kepada postur politik dalam negeri maupun luar negeri Indonesia itu sendiri. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

More Stories

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

Teror Soros, Nyata atau โ€œHiperbolaโ€? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?