Site icon PinterPolitik.com

Bukan Muhammadiyah, PAN “Amankan” NU?

Zulhas Kebelet Nyapres?

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. (Foto: Detik)

Ketua Umum (Ketum) PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) disebut membawa partainya kian dekat dengan organisasi massa (ormas) Islam terbesar Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). Lalu, apakah PAN yang secara historis memiliki riwayat relasi dengan ormas Islam lainnya, Muhammadiyah, telah berhasil move on dan “mengamankan” NU?


PinterPolitik.com

Dikenal secara historis memiliki afiliasi dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, yakni Muhammadiyah, PAN di bawah komando Zulkifli Hasan (Zulhas) tampak move on dan “beralih secara politik” kepada Nahdlatul Ulama (NU).

Bahkan, sambutan positif tersurat langsung dikemukakan oleh elite NU saat menyambut Zulhas di acara Musyawarah Kerja Wilayah (Muskerwil) NU Jatim pada hari Minggu, 25 Desember kemarin lusa.

Adalah Ketua PWNU Jatim KH Marzuki Mustamar yang mengatakan PAN semakin dekat kepada NU dibandingkan dengan “yang lain”, tanpa menyebutkan lebih detail makna dan subjek komparasi tersebut.

Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Perdagangan (Mendag), Zulhas sendiri sebelumnya memang telah melakukan relasi dengan Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf saat menandatangani Nota Kesepahaman tentang sinergi pengembangan dan pemberdayaan ekonomi umat.

Zulhas menyebut bentuk kerja sama itu adalah sinergi dan pintu masuk untuk mendorong berbagai macam kolaborasi lain untuk kemajuan kewirausahaan pesantren.

Menariknya, kunjungan dan pertemuan Zulhas dengan elite NU Jatim KH Marzuki Mustamar terjadi pula tepat di bulan Desember 2021 lalu.

Maka dari itu, jika dilihat secara politik, manuver terpola Zulhas kiranya memang memiliki makna tertentu. Utamanya penafsiran mengenai target elektoral ke ormas Islam dengan basis suara masif seperti NU.

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, PAN sendiri memiliki riwayat afiliasi tak langsung dengan Muhammadiyah. Ihwal yang membuat manuver Zulhas dan respons positif KH Marzuki Mustamar tampaknya memantik pertanyaan tersendiri, yakni mengapa hal itu bisa terjadi?

Serta, apakah PAN nantinya akan benar-benar merengkuh insentif elektoral dari NU dan Muhammadiyah sekaligus?

Ceruk Potensial?

Dengan berbagai rilis survei yang menyebut PAN tidak lolos Senayan, Zulhas kiranya terus memutar otak dan mengaktualisasikan strategi jelang kontestasi elektoral 2024 yang kian dekat.

Kendati melakukan eskalasi keintiman hubungan dengan NU, hubungan PAN dan Muhammadiyah juga terus terjalin hangat di bawah kepemimpinan Zulhas. Ini misalnya terlihat melalui pernyataan Zulhas pada 14 Juni 2021 silam yang menyebut Muhammadiyah adalah orang tua yang melahirkan PAN.

Ditegaskan pula olehnya sebuah poin menarik dan memiliki makna substansial, yakni PAN disebut akan selalu berkomitmen memperjuangkan aspirasi Muhammadiyah dalam politik, terutama di parlemen.

Kembali pada konteks relasi PAN dan NU di Jatim, konteks tersebut agaknya juga bukan hanya perkara aspek historis ataupun kedekatan emosional, melainkan memiliki kalkulasi lain.

Dengan fakta NU adalah ormas Islam terbesar di Indonesia, tak sulit kiranya untuk menyimpulkan betapa signifikannya hubungan tersebut dalam aspek politik.

Berangkat dari karakteristik kontestasi elektoral di Indonesia yang masih lekat dengan aspek ketokohan, manuver Zulhas menjalin hubungan baik dengan ulama NU seperti KH Marzuki Mustamar agaknya memang memiliki esensi khusus.

Menyadur intisari Michael Maccoby dalam tulisannya yang berjudul Why People Follow the Leader: The Power of Transference, tersirat bahwa budaya santri-santri di daerah yang memiliki sikap patuh pada kiainya dipengaruhi motivasi atas gambaran dan emosi yang kuat di alam bawah sadar mereka.

Dengan demikian, jika di suatu daerah pemilihan (dapil) sebuah persaingan politik, sosok yang berpengaruh adalah tokoh NU atau sosok lainnya, tentu pendekatan terhadap sosok tersebut perlu dilakukan.

Lantas, sejauh mana manuver Zulhas dan respons elite NU Jatim memengaruhi tingkat elektoral PAN nantinya?

Zulhas Main Cerdas? 

Zulhas agaknya memahami prediksi mengerikan dari sejumlah jajak pendapat yang menyebut PAN tak akan lolos parlemen pada 2024. Terbaru, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada 18 Desember pekan lalu menunjukkan bahwa PAN hanya mampu meraih 1,7 persen dukungan.

Ini tentu bukan kabar baik dan membuat kehadiran Zulhas di acara Muskewil NU Jatim tampak begitu penting. Tak lagi terpaku dengan suara Muhammadiyah, Zulhas dan PAN kemungkinan besar juga mengincar suara NU, khususnya di Jatim.

Itu sekaligus menjadi afirmasi atas tulisan Alexander R. Arifianto yang berjudul From ideological to political sectarianism: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, and the state in Indonesia yang menyatakan politik Indonesia bukanlah tentang pertarungan ideologi, melainkan terkait sektarianisme atau pertarungan kelompok masyarakat. 

Cara kerja untuk memenangkan pertarungan itu lekat dengan intensi logis sebuah partai politik (parpol) untuk turut pula mencapai tujuan akhir, yakni memenangkan pemilihan legislatif.

Strategi perebutan suara pada dasarnya tidak bertolak pada kampanye ideologi – termasuk kecondongan terhadap satu ormas tertentu – tetapi seberapa besar usaha parpol dalam mendekati dan beramah-tamah dengan kelompok masyarakat.

Maka dari itu, walau pemilih tradisional PAN disebut berasal dari Muhammadiyah, jika Zulhas dapat melakukan pendekatan yang strategis, tepat, dan proporsional, menggaet suara dari pemilih NU merupakan suatu probabilitas yang dapat diraih serta tak keliru untuk diperjuangkan.

Dari segi angka, pada Pemilu 2019 lalu, PAN meraih 1.209.375 suara di Jatim. Dengan perkiraan jumlah warga Muhammadiyah di Jatim sebesar 10 juta jiwa, yang mana tentunya tidak semua ke PAN, dapat dikatakan sisanya berasal dari warga yang memiliki afiliasi dengan NU.

Itu juga bertolak dari relasi PKB di bawah komando Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang belakangan tengah tak harmonis dengan PBNU. Variabel lain yang barang tentu juga dilihat Zulhas sebagai sebuah peluang.

Kendati diramalkan tak lolos parlemen, usaha keras di Jatim agaknya berangkat dari kalkulasi rinci mengenai kemungkinan rengkuhan minimal di setiap dapil.

Menurut Ketua DPW PAN Jatim Ahmad Rizki Sadig pada 2021 lalu, ikhtiar politik PAN yang dimaksud bukan untuk menguasai Jatim dalam artian riil, melainkan memiliki wakil di setiap dapil di provinsi paling timur Pulau Jawa itu.  

Jatim memiliki 11 dapil RI, 14 dapil provinsi, dan 200 dapil kab/kota. Jika dihitung dalam “kertas buram” yang realistis, PAN sebenarnya hanya menargetkan total 225 kursi dari total 1620 kursi kab/kota, 120 kursi provinsi, dan 89 kursi RI dari Jatim.

Di atas semua itu, dalam memahami manuver Zulhas plus reaksi yang didapatnya terhadap PAN, konsep trial balloon kiranya dapat menjadi pintu masuk utama.

Itu merupakan seperangkat informasi yang sengaja dilempar ke khalayak dan media untuk mengamati reaksi pihak lain. 

Dalam hal ini, politisi sering kali sengaja membeberkan informasi tentang perubahan maupun manuver politiknya untuk melihat reaksi aktor politik lain, apakah diterima atau justru mendapatkan resistensi dan tantangan.

Jika mendapat respons positif dan aktor lain dengan irisan kepentingan yang sama seperti PKB maupun parpol lain tak merespons, PAN kiranya akan melakukan peningkatan pendekatan untuk mengetuk pintu dan simpul-simpul suara NU di Jatim.

Untuk itu, akan cukup menarik menantikan dinamika ke depan terkait dengan pengaruhnya terhadap strategi lanjutan PAN beserta pengaruhnya ke konstelasi politik lain seperti KIB, dan poros pengusung calon presiden di 2024. (J61)

Exit mobile version