Site icon PinterPolitik.com

Bukan Milenial, Megawati Sindir Jokowi?

Bukan Milenial, Megawati Sindir Jokowi?

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. (Foto: Garudeya/Dreamstime.com)

Uniknya, alih-alih mengangkat heroisme kalangan muda di Hari Sumpah Pemuda, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri justru melayangkan kritik terhadap kalangan milenial, khususnya mereka yang terlibat dalam demonstrasi penolakan UU Ciptaker. Namun, mungkinkah kritik tersebut sebenarnya ditujukan kepada Presiden Jokowi?


PinterPolitik.com

Tanggal 28 Oktober 1928 adalah pertama kalinya ikrar persatuan tanah air, bangsa, dan bahasa dibacakan. Sejak tahun 1959, 28 Oktober kemudian ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda yang diperingati sampai saat ini.

Namun, peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini agaknya sedikit berbeda. Bagaimana tidak? Selaku pemimpin partai politik (parpol) paling berkuasa saat ini, Megawati Soekarnoputri justru mempertanyakan sumbangsih milenial, khususnya mereka yang terlibat dalam demonstrasi penolakan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) untuk bangsa dan negara pada 28 Oktober lalu. Lalu, Ketua Umum (Ketum) PDIP tersebut juga mengaku telah mewanti-wanti Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tidak memanjakan milenial.

Sontak saja, pernyataan tersebut mengundang berbagai kritik. Tidak hanya dari kalangan politisi dan pengamat, komedian Ernest Prakasa juga turut memberi komentar. Pertama, Ernest meluruskan bahwa mereka yang terlibat demonstrasi kemarin bukanlah milenial, melainkan agensi (Gen Z). Kedua, sang komedian menegaskan bahwa milenial sudah banyak memberikan sumbangsih yang membanggakan, misalnya di bidang industri digital.

Namun, tentu aneh membayangkan bahwa Megawati tidak memahami poin seperti yang diungkapkan oleh Ernest. Lantas, konteks sumbangsih apa yang sekiranya diungkit oleh putri Soekarno tersebut?

Straw Man Fallacy

Di titik ini, mungkin kita dapat memahami bahwa pernyataan tersebut adalah bentuk kejengkelan Megawati terhadap para demonstran, khususnya mereka yang melakukan tindakan anarkis. Atas kejengkelan tersebut, Ia kemudian melayangkan kritik atau mungkin tepatnya serangan dengan mempertanyakan sumbangsih para pedemo.

Akan tetapi, konteks sumbangsih yang dicetuskan Megawati tampaknya tidak seperti yang disebutkan Ernest, melainkan lebih kepada sumbangsih politik. Dengan kata lain, boleh jadi Ketum PDIP tersebut hendak membandingkan para milenial dengan pejabat-pejabat yang duduk di pemerintahan.

Jika benar itu yang terjadi, maka terdapat kemungkinan Megawati telah melakukan kesalahan penalaran yang disebut dengan straw man fallacy. Louis de Saussure dalam tulisannya The Straw Man Fallacy as a Prestige-Gaining Device menyebutkan straw man sebagai “pemenang pragmatis”. Ini bukan hanya karena kekuatan persuasifnya, melainkan lebih kepada kemampuannya untuk menyerang lawan sekaligus meningkatkan prestise penggunanya.

Pada praktiknya, straw man digunakan dengan cara fokus untuk menyerang titik terlemah lawan, yang kemudian dibesar-besarkan seolah itu adalah masalah yang begitu substansial. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump adalah salah satu politisi yang paling sering menggunakan teknik ini.

Pada debat Pilpres AS 2016 yang lalu, Trump menggunakan teknik ini untuk menyerang Hillary Clinton. Saat itu, Clinton menggunakan istilah open borders (membuka perbatasan) ketika membahas topik mengenai reformasi imigran.

Saat itu, tanpa memedulikan konteks Clinton, yakni membuka pintu untuk barang dan energi, Trump justru berfokus pada istilah tersebut dengan menyebut Clinton ingin membuka gerbang agar imigran bebas masuk. Jelas saja serangan tersebut menguatkan jargon America First yang diusung Trump.

Pada debat Pilpres AS 2020, Trump kembali menggunakan teknik ini. Alih-alih memuji Joe Biden karena tampil prima dan kompeten di debat terakhir, Trump justru menantang Biden untuk melakukan tes narkoba. Menariknya, tantangan serupa juga dilayangkan pada 2016 lalu kepada Clinton ketika terlihat begitu bersemangat di sesi debat.  

Menurut de Saussure, straw man memiliki tingkat persuasi yang tinggi karena lawan bicara dengan mudah terpancing emosi sehingga tidak tenang dan jernih menghadapi serangan. Ini kemudian membuat lawan mau tidak mau menerima serangan tersebut meskipun mereka menyadari argumentasi yang dikeluarkan oleh penyerang tidak memiliki relevansi logis. Konteks emosi ini yang membuat teknik straw man sulit untuk dilawan balik.

George Y. Bizer, Shirel M. Kozak, dan Leigh Ann Holterman dalam tulisannya The Persuasiveness of the Straw Man Rhetorical Technique, juga menyebutkan bahwa straw man telah menjadi semacam teknik umum politisi karena teknik ini dipercaya memiliki kemampuan persuasi yang mumpuni.

Straw Man Kala Pilpres 2019

Di Indonesia, teknik ini juga kerap kali dipertontonkan oleh politisi tanah air. Pada Pilpres 2019 lalu, teknik ini kerap digunakan oleh kubu pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk menyerang Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Mantan politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, misalnya, menyindir Prabowo-Sandi yang disebutnya belum memberikan bukti kinerja. Saat itu, berbagai capaian Presiden Jokowi seperti membangun jalan tol juga disanding-sandingkan dengan Prabowo yang disebut belum berbuat apa-apa.

Terang saja, serangan tersebut direspons geram oleh berbagai pendukung Prabowo-Sandi. Ini misalnya dilakukan dengan mengkritik capaian-capaian yang dikemukakan oleh pihak Jokowi-Ma’ruf. Akan tetapi, apabila pihak Prabowo-Sandi melihat secara jernih dan tenang, mereka sebenarnya dapat dengan mudah membalikkan serangan tersebut.

Alasannya sederhana, yakni serangan tersebut adalah kekeliruan logis. Itu adalah straw man fallacy. Masalahnya, dengan status Prabowo yang belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Kepala Pemerintahan, tentu saja mantan Danjen Kopassus tersebut tidak memiliki capaian seperti Presiden Jokowi. Dengan kata lain, itu adalah serangan yang menitikberatkan pada aspek lemah sang Ketum Partai Gerindra.

Konteksnya tentu berbeda apabila perbandingan dilakukan pada konteks yang setara, seperti kecerdasan atau pengetahuan masing-masing kandidat presiden. Jika ini yang dilakukan, akan mudah bagi pihak Prabowo-Sandi untuk menyeimbangi ataupun melawan balik serangan yang ada. Akan tetapi, sebagaimana yang kita lihat, pada Pilpres 2019 kemarin, apa yang ditonton publik bukanlah adu gagasan, melainkan lebih pada melempar narasi-narasi sentimental yang memancing emosi publik.

Megawati Kritik Gibran-Bobby?

Dalam kritiknya kepada milenial baru-baru ini, Megawati besar kemungkinan telah melakukan teknik ini. Pasalnya, jika benar konteks sumbangsih Megawati adalah sumbangsih politik, maka putri Soekarno tersebut telah melakukan serangan serupa seperti yang dialami Prabowo pada penjelasan sebelumnya.

Tentu kita paham, milenial atau mungkin tepatnya para anak muda yang melakukan demonstrasi kemarin bukanlah pejabat yang memang bukan tugasnya untuk menelurkan kebijakan politik. Kapasitas mereka adalah untuk memberikan kritik melalui demonstrasi. Ini adalah checks and balances yang memang menjadi keunggulan mahasiswa.

Akan tetapi, rasa-rasanya cukup ganjil jika menyimpulkan Megawati telah melakukan teknik ini. Pasalnya, dalam kesempatan tersebut, Megawati juga menyinggung agar Presiden Jokowi tidak memanjakan milenial. Melihat pada kasus banyaknya demonstran yang mendapatkan tindakan represif dari aparat, bukankah itu jelas tidak mencerminkan istilah “memanjakan”?

Lalu, Megawati yang sangat menghormati ayahnya, Soekarno, tentu tidak mungkin melupakan pernyataan “Beri aku 10 Pemuda niscaya akan ku guncang dunia” dari sang proklamator. Keganjilan tersebut juga diperkuat dengan kemampuan bahasa politik Megawati yang disebut memiliki high level political language atau bahasa politik level tinggi.

Dengan kata lain, besar kemungkinan pernyataan Megawati tersebut justru memiliki makna yang berbeda daripada yang selama ini direspons publik. Dengan pernyataannya agar Presiden Jokowi tidak memanjakan milenial, boleh jadi kritik tersebut ditujukan kepada keluarga sang presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution yang saat ini tengah maju di Pilkada 2020.

Dengan usia Bobby yang baru menginjak 29 tahun dan Gibran yang baru 33 tahun, keduanya jelas masuk ke dalam ketegori milineal. Artinya, terdapat kemungkinan bahwa kritik tersebut sebenarnya ditujukan kepada keduanya. Pasalnya, majunya Gibran dan Bobby telah memunculkan gejolak internal di tubuh PDIP dan memantik sentimen minor publik perihal politik dinasti. Ini jelas buruk bagi PDIP yang membutuhkan elektabilitas dan proses kaderisasi partai.

Selain itu, bagi mereka yang mengikuti perjalanan pencalonan Gibran dan Bobby, tentu melihat sikap PDIP sejak awal seperti mendua. Kader senior PDIP, Akhyar Nasution dan Achmad Purnomo juga telah menjadi korban atas majunya keluarga Presiden Jokowi tersebut.

Akan tetapi, di luar spekulasi yang ada, tentu kita paham bahwa hanya Megawati yang benar-benar mengetahui siapa yang sebenarnya Ia kritik pada Hari Sumpah Pemuda kemarin. Entah itu para demonstran, Gibran ataupun Bobby, kita hanya bisa melihat bagaimana PDIP merespons kritik sejumlah pihak atas pernyataan Ketua Umumnya tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version