Khofifah Indar Parawansa dinilai menjadi politisi perempuan paling berpengaruh saat ini. Meskipun tampak masih “di bawah radar” dan tidak familiar di semua kalangan, proyeksi karier politiknya ke depan tampak cukup positif. Benarkah demikian?
Dukungan sejak dini dari empat partai politik (parpol) kepada Khofifah Indar Parawansa untuk maju di Pilgub Jawa Timur (Jatim) 2024 agaknya bermakna khusus. Ini kiranya dapat menjadi progresivitas tersendiri bagi peta politik nasional ke depan.
Menariknya, empat parpol itu berasal dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), yakni Partai Gerindra, PAN, Partai Demokrat, dan Partai Golkar.
Hari Minggu (10/12) lalu, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo secara langsung menyerahkan rekomendasi cagub Jatim kepada Khofifah.
Dua hari sebelum rekomendasi Hashim dan Partrai Gerindra dan meski belum secara resmi, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat yang juga Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menyatakan akan mendukung Khofifah maju di Pilgub Jatim 2024.
Lalu pada tanggal 4 Desember, Ketum PAN Zulkifli Hasan juga menyerahkan secara langsung rekomendasi serupa. Sementara itu, Ketua DPD Partai Golkar Jatim Sarmuji menyebut partainya juga mendukung pencalonan Khofifah sebagai cagub.
Kendati banyak yang mengaitkannya dengan simbiosis politik dengan pencapresan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, bukan tidak mungkin parpol lain di luar lintas koalisi Pilpres 2024 juga akan mendukung Khofifah.
Itu dikarenakan, belum ada kandidat yang tampak memiliki cukup modal politik untuk menandingi Khofifah dengan tren ekspose politik positif yang terus meningkat.
Sokongan eksplisit langsung yang berasal dari para elite parpol tersebut seakan menegaskan bagaimana signifikannya pengaruh Khofifah di provinsi paling timur Pulau Jawa, yang mana sangat strategis dalam peta politik Indonesia.
Lalu, pertanyaannya, mengapa Khofifah bisa se-berpengaruh itu?
Khofifah Amankan Akar Rumput?
Di ekosistem politik Indonesia, menelusuri silsilah keluarga politisi prominen agaknya menjadi pintu masuk pertama yang relevan untuk mengidentifikasi dan menginterpretasi kekuatan mereka. Begitu pun dengan Khofifah.
Kendati tak melulu terkait dengan endorse atau warisan politik tertentu dan bisa saja dipengaruhi oleh kepiawaian yang bersangkutan, silsilah mereka tak jarang menentukan langkah awal dan takdir berikutnya dari sang politisi itu sendiri.
Khofifah lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya Achmad Ra’i adalah seorang petani, sementara ibunya Rochmah adalah ibu rumah tangga.
Nama asli Khofifah sendiri adalah Khofifah Tegistha. “Indar Parawansa” merupakan nama mendiang suami Khofifah yang memiliki garis keturunan langsung dengan ulama besar penyebar agama Islam di Sulawesi, Syekh Yusuf.
Dalam spoon class theory atau teori kelas sendok, Khofifah bukanlah sosok yang lahir dari kalangan sendok emas maupun perak yang memiliki akses dan privilese lebih.
Pernikahannya dengan Indar Parawansa pun tak bisa dikatakan berkontribusi secara langsung terhadap kiprahnya. Dikarenakan, saat itu Khofifah baru mulai merintis karier politik.
Sebagai informasi, setelah lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Surabaya (1989) dan Universitas Airlangga (1991), Khofifah meniti profesi sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Taruna Surabaya pada 1989 sebelum pindah mengajar ke Universitas Wijaya Putra Surabaya pada hingga tahun 1992.
Pada tahun 1991, Khofifah mulai masuk ke dunia politik dengan bergabung ke PPP. Menariknya, potensi dan kepiawaian politik Khofifah membuatnya terpilih menjadi anggota DPR dari PPP pada tahun 1992 atau saat dirinya baru berusia 27 tahun saat itu.
Selain konsisten membawa isu perempuan dalam sosial keagamaan, Khofifah juga dinilai menjadi politisi yang berani di Senayan. Tercatat, dirinya menjadi orang yang jamak memberikan kritisi dan interupsi di tengah politik DPR era Orde Baru (Orba) yang “iya-iya” saja.
Saat Orba tumbang, pata tahun 1999 Khofifah – yang telah pindah ke PKB – dipercaya menjadi Wakil Ketua DPR.
Dari situ, meski di bawah radar, kariernya terus melejit hingga menjadi orang kepercayaan Presiden ke-3 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan serta Menteri Sosial era Jokowi-JK, sebelum mengundurkan diri dan merengkuh jabatan Gubernur Jawa Timur, posisi politik yang kemungkinan paling diidamkannya.
Sebagai catatan yang kiranya menjadi satu determinan signifikan dalam karier politik Khofifah, pada tahun 2000, Khofifah juga dipercaya menjadi Ketua Umum salah satu Badan Otonom dari Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) yang cukup memiliki basis massa besar, yakni Muslimat NU.
Walaupun secara formal cukup “haram” memiliki korelasi dengan politik praktis, Muslimat NU-lah yang kiranya menjadi modal fundamental political capital Khofifah.
Khofifah sendiri kiranya memiliki skill politik yang secara alamiah terbentuk dalam isu sosial dan representasi perempuan. Di berbagai agenda Muslimat NU, Khofifah disebut selalu membangun kedekatan tanpa sekat dan membangun suasana inklusif dengan para ibu-ibu di akar rumput, tanpa terkecuali.
Di titik ini lah, Khofifah memperlihatkan political acumen atau kecerdasan politik untuk menempatkan diri secara proporsional dan membaca situasi politik secara luas dan komprehensif, sesuatu yang berarti dan membuatnya kemudian berpengaruh dan diperhitungkan.
Satu hal menarik lainnya, adalah, semua itu tampak dilakukan Khofifah sebagai sesuatu yang semestinya memang ia harus lakukan, bukan gimmick atau pencitraan politik tertentu. Karakteristik yang cukup langka di Indonesia.
Itu terbukti dari kepercayaan yang diberikannya memimpin Muslimat NU sejak tahun 2000 hingga saat ini, atau selama empat periode.
Survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada November lalu, menempatkan Khofifah di urutan kedua sebagai perempuan paling berpengaruh di negeri ini. Khofifah hanya kalah dari Najwa Shihab yang berprofesi sebagai jurnalis.
Dengan kata lain, Khofifah menjadi politisi perempuan paling berpengaruh berdasarkan survei tersebut, mengalahkan Puan Maharani, Yenny Wahid, dan bahkan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, meski dikatakan berpengaruh dan cukup diperhitungkan, karakteristik Khofifah agaknya belum cukup untuk dapat relevan dan berbicara banyak di kancah nasional. Mengapa demikian?
“Terjebak“ di Jawa Timur?
Akuntabilitas “kebaikan politik” Khofifah selama ini memang cukup sulit untuk dinilai secara pasti. Sedikit catatan minor yang tak terbukti pada tahun lalu saat ruang kerja dinasnya digeledah KPK terkait kasus suap pengelolaan dana hibah Provinsi Jawa Timur pun tak serta merta dapat dijadikan acuan.
Khofifah tentu memahami realita dn hitam-putih politik Indonesia karena telah berpengalaman secara konsisten berada dalam atmosfer persaingan dalam pasang surut politik Indonesia.
Namun, Khofifah agaknya menjadi sosok yang “terlalu baik” untuk bermain di level politik yang lebih tinggi dari “Jawa Timur”.
Kendati esensial, isu representasi perempuan, kemasyarakatan, dan akar rumput yang menjadi kekuatan Khofifah seakan kurang relevan di level yang lebih tinggi.
Jika ekspektasi politik para elite, aktor politik, dan para konstituen Indonesia tetap demikian dalam beberapa waktu ke depan, predikat Khofifah agaknya tak akan berubah dari “sekadar” local strongwoman di Jatim.
Selain itu, ambisi Khofifah secara personal pun masih belum dapat dinilai secara pasti. Memilih resign dari posisi menteri untuk bertarung di Pilgub Jatim 2018 kiranya dapat menjadi batu pijakan atas konteks tersebut.
Political realm Indonesia yang penuh intrik dan terkadang gimik justru “disukai” membuat relevansi Khofifah masih dipertanyakan ke depannya.
Namun, harapan bagi representasi perempuan di level tertinggi politik Indonesia dengan gagasan konstruktifnya bagi bangsa dan negara tetap dinantikan. Well, menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)