HomeNalar PolitikBukan Luhut, Harusnya Nadiem?

Bukan Luhut, Harusnya Nadiem?

Kecil Besar

Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS), Jake Sullivan, dikabarkan membahas kerja sama ekonomi dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Apakah sebenarnya Luhut orang yang tepat untuk strategi pengimbangan antara AS-Tiongkok?


PinterPolitik.com

โ€œI am your best friend!โ€ โ€“ SpongeBob Squarepants & Patrick Star, โ€œNaughty Nautical Neighborsโ€ (1999)

Pernahkah kalian memiliki sebuah persahabatan yang spesial? Mungkin, sebagian dari kita pernah punya yang begitu spesial sehingga tidak ingin momen-momen indah itu menghilang suatu saat di masa depan.

Saking spesialnya, perasaan cemburu bisa saja muncul saat sang sahabat memiliki hubungan dekat dengan orang lain. Boleh jadi, perasaan itu menggambarkan bagaimana kita tidak ingin persahabatan yang kita miliki berubah.

Mungkin, perasaan seperti ini tengah dirasakan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Wang Yi. Bagaimana tidak? Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) RI Luhut Binsar Pandjaitan baru saja menerima telepon dari Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS), Jake Sullivan.

Kabarnya, mereka membahas soal kemungkinan dan kesempatan kerja sama AS dan Indonesia dalam Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF). Beberapa di antaranya adalah kesempatan untuk kerja sama investasi dari AS di Indonesia.

Tentu saja, berita ini menjadi hal baru dalam andil politik luar negeri yang dijalankan oleh sang Menko Marves. Pasalnya, Luhut kerap disebut lebih dekat dengan Tiongkok daripada AS yang mana menjadi lawan geopolitik dari negeri Tirai Bambu tersebut.

Mungkin, layaknya cerita dalam episode SpongeBob Squarepants (1999-sekarang) yang berjudul โ€œNaughty Nautical Neighborsโ€ โ€“ di mana SpongeBob harus bersaing dengan Patrick Star untuk merebut hati sahabat mereka yang bernama Squidward Tentacles, Wang yang kerap disebut sahabat oleh Luhut kini harus bersaing dengan Sullivan.

Terlepas dari kisah dari SpongeBob, Patrick, dan Squidward, bukan rahasia lagi bahwa memang Indonesia โ€“ dan Asia Tenggara โ€“ menjadi negara dan kawasan yang diperebutkan oleh dua kekuatan besar ini, yakni AS dan Tiongkok. Meskipun negara-negara Asia Tenggara memiliki kecenderungan untuk tidak memilih salah satu pihak, perebutan ini pun tetap terjadi.

Amerika Juga Butuh Luhut

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sendiri terlihat lebih dekat dengan Tiongkok secara ekonomi. Namun, dalam hal keamanan dan kepentingan strategis, Indonesia di bawah Jokowi justru terlihat sangat erat dengan AS.

Mungkin, pertanyaan selanjutnya yang kemudian muncul adalah peran Luhut di dalam politik luar negeri Jokowi. Mengapa Luhut โ€“ di samping terlihat dekat dengan Tiongkok โ€“ menjadi kunci bagi AS untuk mendekati Indonesia? Kemudian, perlukah Luhut yang dikenal condong ke negeri Tirai Bambu ini digantikan oleh sosok yang lebih berimbang?

Baca juga :  Berani Prabowo Bersihkan Broker di PLN?

Mengapa Luhut?

Peran besar Luhut dalam politik luar negeri Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejak Jokowi menjabat sebagai presiden, Luhut bisa dibilang menjadi sosok yang penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan luar negeri.

Dalam hubungan Indonesia dan Tiongkok, misalnya, Luhut pun disebut sebagai the enabler di baliknya. Mengacu pada tulisan Muhammad Zulfikar Rakhmat berjudul Luhut Binsar Pandjaitan: The Prominent Enabler behind China-Indonesia Relations, Luhut secara aktif memang berperan di balik berbagai kerja sama Indonesia-Tiongkok โ€“ mulai dari penawaran proyek infrastruktur hingga justifikasi terhadap kedatangan tenaga-tenaga kerja asing (TKA) dari Tiongkok.

Besarnya peran Luhut di balik hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok ini menjadi masuk akal. Bersama Menlu RI Retno Marsudi, Luhut diberi peran dalam membawa kebijakan diplomasi ekonomi pemerintahan Jokowi โ€“ mengacu pada tulisan Noto Suoneto yang berjudul How Prabowo Subianto Has Helped Shape Indonesiaโ€™s Foreign Policy.

Pemberian peran diplomasi di bidang investasi dan perdagangan kepada Luhut ini menjadi masuk akal. Pasalnya, sang Menko Marves ini bisa dibilang masuk dalam kategori pemimpin diplomatik yang bersifat pragmatis.

Berdasarkan tulisan Corneliu Bjola yang berjudul Diplomatic Leadership in Times of International Crisis, pemimpin diplomatik bisa dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni (1) maverick yang memiliki visi besar tetapi sulit menginspirasi banyak pihak, (2) congregator yang mampu membangun konsensus di antara banyak pihak, dan (3) pragmatist yang berorientasi pada kerja sama yang membangun keuntungan mutual.

Wang Yi Si Sahabat Luhut

Maka dari itu, menjadi masuk akal apabila Luhut menjadi sosok yang justru kini didekati oleh pemerintahan Joe Biden di AS. Pasalnya, kebijakan luar negeri AS di bawah Biden pun mulai berorientasi kepada bidang ekonomi juga guna menghalau besarnya pengaruh ekonomi Tiongkok di Asia Tenggara โ€“ termasuk Indonesia.

Dengan dua faktor tadi โ€“ yakni peran diplomasi ekonomi dan sifat kepemimpinan diplomatik Luhut, menjadi masuk akal apabila AS pun akhirnya memerlukan sang Menko Marves. Singkatnya, agar bisa sejalan dengan keinginan pemerintahan Jokowi, Luhut adalah kunci masuknya bagi pemerintahan Biden.

Namun, bila AS nantinya mulai bisa mengimbangi pengaruh ekonomi Tiongkok di Indonesia, bukan tidak mungkin dilema baru akan tercipta bagi Luhut. Bagaimana nantinya dia terpaksa harus memilih salah satu negara?

Saatnya Nadiem Ambil Peran?

Luhut memang bisa dibilang memiliki pengaruh yang besar dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Namun, sebagai seorang diplomat pragmatis, sang Menko Marves belum tentu bisa membangun konsensus di antara AS dan Tiongkok โ€“ yang mana sama-sama dibutuhkan oleh Indonesia untuk menciptakan stabilitas di Asia Tenggara.

Baca juga :  The Tale of Budi Gunawan

Namun, bagaimana jika Indonesia tidak harus memilih salah satu dari dua kekuatan besar ini? Tentu, bila bayangan akan kondisi tersebut terwujud menjadi kenyataan, pemerintah Indonesia bisa lebih fleksibel dan melenggang di panggung politik internasional.

Artinya, baik AS maupun Tiongkok, akan mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Indonesia. Ini bisa berujung pada otonomi strategis yang didambakan oleh pemerintahan Jokowi โ€“ begitu juga pemerintahan-pemerintahan sebelum dan sesudah Jokowi nanti.

Tentu, pasti akan ada banyak hambatan yang membuat otonomi strategis demikian untuk bisa terwujud. Namun, kesempatan untuk mencapainya bisa saja menjadi lebih luas dengan kemungkinan-kemungkinan lain.

Gimana Nasib Tunjangan Guru Nadiem

Misal, andaikata menteri yang mengambil peran besar dalam diplomasi tersebut adalah orang yang memang bisa menjembatani kepentingan negara-negara besar, khususnya AS dan Tiongkok. Namun, apakah pemerintahan Jokowi punya sosok seperti itu?

Untuk saat ini, pemerintah sebenarnya punya sosok yang potensial dalam menjembatani kepentingan AS dan Tiongkok di Indonesia. Sosok tersebut kini menduduki posisi sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), yakni Nadiem Makarim.

Seperti yang telah banyak diketahui, Nadiem merupakan seorang pendiri perusahaan berbasis teknologi yang dikenal sebagai Gojek (kini GoTo). Meskipun kini sudah menjabat sebagai Mendikbudristek, Nadiem disebut masih memiliki sebagian saham GoTo.

Menariknya, koneksinya ke GoTo ini bisa menjadi modal politik. Sesuai penjelasan Kimberly Casey dalam tulisannya berjudul Defining Political Capital, relasi sosial yang dimiliki seseorang merupakan modal sosial yang bisa saja ditransformasikan menjadi modal politik.

Dalam hal ini, modal-modal ini pun bisa digunakan dalam menjalankan fungsi institusional โ€“ katakanlah bila mengambil peran dalam politik luar negeri Indonesia. Pasalnya, GoTo disebut mendapatkan investasi dari sejumlah investor asing besar โ€“ seperti Alibaba Group (Tiongkok), Tencent (Tiongkok), KKR (AS), BlackRock (AS), Google (AS), JD.com (Tiongkok), Temasek (Singapura), dan sebagainya.

Jaringan bisnis yang begitu luas ini bisa jadi menjadi jembatan ke pemerintah di negara-negara besar tersebut. Apalagi, pengaruh perusahaan-perusahaan tersebut sebagai aktor politik internasional non-negara juga sangat luas.

Pada akhirnya, Nadiem bisa saja memiliki kesempatan dan kelebihan yang tidak dimiliki Luhut dalam menjembatani kepentingan-kepentingan negara besar di Indonesia. Namun, semua ini tetaplah hanya menjadi sebuah bayangan saja kecuali bila benar-benar Nadiem memiliki peran demikian. (A43)


spot_imgspot_img

#Trending Article

PHK Indonesia, Waspada Sindrom Katak Rebus? 

Bahaya PHK masih terus mengancam Indonesia. Bagaimana kita bisa mengambil pelajaran besar dari permasalahan ini? 

The Tale of Budi Gunawan

Kehadiran Budi Gunawan dalam pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto kembali menegaskan posisinya sebagai salah satu lingkar elite yang berpengaruh.

How About Dascoโ€™s Destiny?

Peran, manuver, serta konstruksi reputasi Sufmi Dasco Ahmad kian hari seolah kian membuatnya tampak begitu kuat secara politik. Lalu, mengapa itu bisa terjadi? Serta bagaimana peran Dasco dalam memengaruhi dinamika politik-pemerintahan dalam beberapa waktu ke depan?

Prabowo & Trump Alami โ€œWarisanโ€ yang Sama?

Kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS) jadi sorotan dunia. Mungkinkah ada intrik mendalam yang akhirnya membuat AS terpaksa ambil langkah ini?

Didit The Peace Ambassador?

Safari putra Presiden Prabowo Subianto, Ragowo Hediprasetyo Djojohadikusumo atau Didit, ke tiga presiden RI terdahulu sangat menarik dalam dinamika politik terkini. Terlebih, dalam konteks yang akan sangat menentukan relasi Presiden Prabowo, Joko Widodo (Jokowi), dan Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Prabowo Lost in Translation

Komunikasi pemerintahan Prabowo dinilai kacau dan amburadul. Baik Prabowo maupun para pembantunya dianggap tak cermat dalam melemparkan tanggapan dan jawaban atas isu tertentu kepada publik, sehingga gampang dipelintir dan dijadikan bahan kritik.

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

More Stories

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Siasat Ahok โ€œBongkarโ€ Korupsi Pertamina

Ahok tiba-tiba angkat bicara soal korupsi Pertamina. Mengacu pada konsep blame avoidance dan UU PT, mungkinkah ini upaya penghindaran?

Dari Deng Xiaoping, Sumitro, hingga Danantara

Presiden Prabowo Subianto telah resmikan peluncuran BPI Danantara pada Senin (24/2/2025). Mengapa mimpi Sumitro Djojohadikusumo ini penting?