Site icon PinterPolitik.com

Bukan Jokowi, Tapi Gibran?

bukan jokowi tapi gibran

Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka (kanan) bertemu Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto (tengah) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. (Foto: Istimewa)

Nama Gibran Rakabuming Raka seakan-akan mencuat secara tiba-tiba di kalangan elite politik. Baik Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, hingga Ketua DPR RI Puan Maharani disebut mendorong Wali Kota Solo tersebut untuk mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.


PinterPolitik.com

“Tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak, suara sepatu kuda” – Ibu Sud, “Naik Delman”

Ambisi untuk mengejar posisi pertama memang penting ketika berpartisipasi dalam sebuah balapan. Namun, mimpi untuk menjadi juara tidaklah selalu terwujud.

Setidaknya, itulah situasi yang dihadapi oleh Aureole kala mengikuti pacuan kuda Coronation Stake pada tahun 1954. Namun, salah satu kuda paling populer dalam sejarah Britania (Inggris) Raya itu berhasil mendapatkan posisi pertama kala mengikuti Victor Wild Stakes.

Sebenarnya, pacuan kuda bukanlah dunia yang baru bagi kuda yang berwarna cokelat terang tersebut. Kuda yang dibesarkan oleh Raja George VI merupakan salah satu kuda favorit monarki Inggris saat ini, yakni Ratu Elizabeth II.

Tidak hanya di pacuan kuda, Aureole juga berhasil membuat namanya tenar di layanan streaming bernama Netflix – khususnya di seri berjudul The Crown (2016-sekarang). Dalam seri tersebut, Sang Ratu alias Lilibet menjadi sosok monarki yang suka berkuda sebagai hobinya.

Mungkin, terinspirasi oleh Lilibet, Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto juga menghabiskan waktu hobinya dengan berkuda. Bahkan, meski sudah berusia 52 tahun kala itu, Prabowo tetap kukuh untuk belajar menaiki kuda.

Kini, Prabowo telah menyentuh usia 70 tahun. Boleh jadi, ini adalah saat yang tepat bagi sang Menteri Pertahanan (Menhan) untuk menyalurkan ilmu dan kemampuan berkudanya pada generasi yang lebih muda – dan bukan tidak mungkin pilihan itu jatuh kepada Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka.

Gibran merupakan putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mungkin, sebagai putra dari sahabatnya, Prabowo ingin mengenal Gibran secara lebih dekat.

Namun, tampaknya penyaluran ilmu dan kemampuan dari Prabowo kepada Gibran bukan hanya dilakukan dalam dunia equestrianism, melainkan juga di dunia politik. Bagaimana tidak? Prabowo memberikan saran kepada Gibran agar maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 – entah itu di DKI Jakarta maupun di Jawa Tengah (Jateng).

Uniknya, saran demikian kepada Gibran tidak hanya datang dari Prabowo, melainkan juga dari sejumlah elite politik seperti Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Nama Gibran seakan-akan tunas yang tiba-tiba muncul untuk mengisi kursi DKI-1.

Makin bersinarnya nama Gibran di saat-saat seperti ini menjadi unik. Pasalnya, meski namanya sempat diwacanakan di Pilkada DKI Jakarta sejak lama, pengusungan nama Gibran tampaknya menjadi semakin deras akhir-akhir ini.

Mengapa nama Gibran tiba-tiba bersinar begitu saja di tengah dinamika politik yang semakin panas menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024? Mungkinkah Gibran menjadi kunci utama bagi para elite politik?

Gibran, Anak Kesayangan Jokowi?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa cinta dan kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya jauh lebih besar dibandingkan cinta dan kasih sayang mereka pada orang tua. Orang tua akan selalu siap sedia untuk memberikan segalanya demi anak-anaknya.

Benar saja. Orang tua mana yang tidak ingin anak-anaknya bisa sukses dan berhasil dalam kehidupan? 

Cara berpikir demikian menjadi wajar apabila mengacu pada penjelasan Paul Bou-Habib dalam tulisannya yang berjudul The Moralized View of Parental Partiality. Setidaknya, parsialitas orang tua (parental partiality) – tendensi untuk parsial kepada anak sendiri ini – membuat mereka rela memberikan sumber yang lebih kepada anak-anak mereka.

Tentunya, parsialitas ini bisa saja tersalurkan dalam banyak aspek kehidupan. Salah satunya pun adalah dunia politik.

Tidak dipungkiri, dalam kehidupan sosial manusia, keluarga adalah kesatuan paling esensial karena dalam satuan sosial inilah semua kehidupan sosial itu sendiri dimulai. Proses internalisasi, misalnya, dimulai dalam satuan sosial ini.

Maka dari itu, menjadi wajar apabila perasaan sayang dan cinta (love) juga hadir dalam satuan sosial ini. Selanjutnya, tipe kasih sayang dalam keluarga (storge) seperti ini tentu bisa berdampak pada dimensi politik.

Bukan tidak mungkin, rasa sayang orang tua pada anak-anaknya inilah yang membuat Presiden Soeharto dulu dikenal dengan praktik nepotismenya kepada anak-anaknya. Pada tahun 1980-an, misalnya, mengacu pada buku Stefan Eklöf yang berjudul Indonesian Politics in Crisis, putra-putri Presiden Soeharto mampu membangun konglomerat yang lebih didasarkan pada hubungan keluarga.

Tidak hanya di dunia bisnis, dinasti politik pun dinilai juga dibangun berdasarkan favoritisme sang orang tua pada anak-anak mereka. Fenomena-fenomena seperti ini sering terjadi di negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina dan Indonesia.

Bila berkaca pada parental partiality yang disebutkan tadi, bukan tidak mungkin parsialitas yang sama juga ada di antara Jokowi dan Gibran. Nama Gibran bisa saja menjadi kunci bagi para elite politik untuk mempengaruhi Jokowi.

Lagipula, Jokowi sebagai presiden dinilai pandai membangun koalisi – seperti yang dijelaskan Kishore Mahbubani dalam tulisannya yang berjudul The Genius of Jokowi. Bisa jadi, kecerdikan Jokowi inilah yang membuat dirinya semakin berpengaruh di antara elite-elite politik.

Namun, muncul pertanyaan lanjutan. Mengapa baru sekarang nama Gibran mencuat lagi untuk diusung di Pilkada 2024? 

\Meski sebelumnya telah diwacanakan, baru kali ini elite-elite politik sekelas Megawati dan Prabowo mendorong Gibran secara langsung. Mungkinkah ada manuver lain di balik pengusungan Gibran ini?

Manuver Taktis Pengaruhi Jokowi?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, rasa sayang orang tua kepada anak tidaklah bisa diremehkan. Ini pun dijelaskan melalui konsep yang disebut sebagai parental partiality

Bukan tidak mungkin, parsialitas ini turut mempengaruhi dinamika “permainan” politik di Indonesia – yang mana kerap kental dengan istilah-istilah seperti “dinasti politik” dan “trah”. Setidaknya, sejumlah kutub kekuatan politik domestik di Indonesia turut dipengaruhi oleh favoritisme orang tua kepada anak-anak mereka.

Namun, parsialitas ini bisa saja berpengaruh pada situasi politik terkini, yakni tawar-menawar dalam menentukan dinamika koalisi menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Seperti yang diketahui, partai-partai politik kini tengah menjalankan negosiasi-negosiasi serupa.

Dinamika ini bukan tidak mungkin melibatkan banyak pihak. Salah satunya bisa saja adalah Presiden Jokowi yang disebut-sebut menjadi kingmaker di balik Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). 

Tentunya, dalam dinamika negosiasi, diperlukan taktik-taktik tertentu untuk memperoleh hasil (outcome) terbaik. Meminjam strategi negosiasi yang biasa digunakan dalam politik antar-negara, mengacu pada buku The Mediator’s Handbook karya John W. Cooley, diperlukan daya tawar (leverage) yang mumpuni. 

Bukan tidak mungkin, Prabowo dan Megawati berusaha mengooptasi parsialitas orang tua dari Jokowi untuk dijadikan leverage dalam negosiasi-negosiasi selanjutnya. Lagipula, emosi secara tidak langsung akan mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambil oleh Jokowi. 

Apalagi, dinamika koalisi masih bisa berubah dengan sejumlah elite politik dinilai masih berusaha meningkatkan poin-poin koalisi mereka masing-masing. Sejumlah partai politik masih saling mencari “perahu” koalisi. 

Mengacu pada artikel PinterPolitik.com yang berjudul Prabowo dan Megawati Pasti Kandas?, para elite seperti Prabowo dan Megawati bahkan ditengarai sedang berupaya untuk berpecah kongsi. Bukan tidak mungkin, Gibran – dan Jokowi – bisa jadi pion leverage di antara dinamika yang terjadi antara Prabowo dan Megawati.

Lagipula, seperti pacuan kuda, mereka akan meningkatkan kemampuan untuk mengungguli satu sama lain dalam kompetisi. Apakah mungkin Gibran menjadi salah satu jagoan yang bisa diandalkan? Who knows? (A43)


Exit mobile version