Publik tentu masih mengingat pada pernyataan Prabowo Subianto yang pernah menyatakan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Namun di sisi lain, Fareed Zakaria menyebut bahwa berbagai manuver luar negeri Tiongkok yang destruktif belakangan ini seperti mengulangi kesalahan Uni Soviet. Lantas, apakah interpretasi Zakaria secara harfiah berarti Tiongkok akan berakhir dan bubar seperti Uni Soviet?
PinterPolitik.com
Kedigdayaan Amerika Serikat (AS) di samudera masih tak terbantahkan setelah kehadiran armada mereka menjadi “tamu tak diundang” di tengah-tengah latihan militer ambisius Tiongkok di Laut China Selatan (LCS) selama sepekan kemarin.
Steven Stashiwick dalam sebuah tulisannya di The Diplomat mengatakan bahwa presensi US Navy yang mengerahkan dua kapal induk, yakni USS Nimitz dan USS Ronald Reagan plus didampingi beberapa kapal cruiser dan destroyer tersebut merupakan kombinasi sekaligus manuver tidak lazim AS.
Hal tersebut dianggap Stashwick mengindikasikan sebuah pesan khusus bagi semua pihak akan kesiapan AS dalam menghadapi pihak-pihak yang menentang norma internasional dan stabilitas regional. Dalam domain ini, Tiongkok tentu menjadi sosok antagonis yang paling disoroti tindak-tanduk luar negerinya belakangan ini yang dinilai cukup “mengganggu”.
Tak heran memang ketika hal itu direfleksikan pada ikhtisar Fareed Zakaria dalam sebuah acara di CNN pekan lalu yang juga ditulis di The Wahington Post dengan judul China Has Been Bungling Its Post-Coronavirus Foreign Policy dan mengatakan bahwa Tiongkok melakukan strategic blunder dengan memanfaatkan kelengahan dampak pandemi untuk mengekspliotasi kedaulatan dan kepentingan negara lain.
Zakaria menyebut “wolf warrior” diplomacy atau diplomasi konfrontasional Tiongkok menjadi sangat ofensif sehingga menimbulkan transisi paradigma minor dari negara-negara yang selama ini menyambut baik sejumlah kerjasama dengan negeri Panda seperti India, Australia, serta Filipina.
Berangkat dari tendensi berupa sentimen minor terhadap Tiongkok, dari negara yang sempat terpukau dengan kebangkitannya, apakah konsekuensi paling signifikan yang akan terjadi terhadap Tiongkok serta dampaknya bagi negara yang cukup ketergantungan dengannya seperti Indonesia?
Tiongkok Ikuti Kehancuran Uni Soviet?
Sebuah postulat cukup menarik terlontar dari Fareed Zakaria dalam acara The Global Public Square (GPS) CNN ketika ia mengatakan bahwa Tiongkok saat ini berada dalam kesalahan strategis seperti yang Uni Soviet lakukan saat Perang Dingin, yakni dikelilingi oleh negara yang semakin tak bersahabat atau mulai skeptis dengannya.
Esensi yang membuatnya menjadi menarik ialah saat pernyataan tersebut dapat ditafsirkan pada berbagai kemungkinan yang memungkinkan untuk direfleksikan dengan dinamika geopolitik kekinian. Tak terkecuali terkait pertanyaan berdasarkan interpretasi secara harfiah bahwa apakah Tiongkok akan berakhir seperti Uni Soviet.
Sebelum dapat menempatkan diri pada postulat Zakaria serta interpretasi harfiah di atas, merajut variabel similaritas Tiongkok dan Uni Soviet tentu akan menjadi hal yang bijaksana.
Pertama, Tiongkok memiliki rival yang sama dengan Uni Soviet dalam menyebarkan pengaruhnya di seluruh dunia. Ya, Amerika Serikat (AS), yang tak bisa sedikitpun diremehkan meskipun Presiden Donald Trump seolah tak seaktif pendahulunya ketika berhadapan dengan para penantangnya.
Terlebih lagi, ketangguhan AS pada aspek militer saat ini tentu menyiratkan bahwa negeri Paman Sam telah begitu berpengalaman dengan berbagai bentuk konfrontasi, termasuk pengalaman mengalahkan Uni Soviet.
Kedua, isu disintegrasi menghantui Tiongkok yang serupa dengan apa yang terjadi di Uni Soviet saat Perang Dingin. Tak sulit menyebutkan disintegrasi yang tersembunyi di balik One-China Policy dan seolah menjadi bom waktu tersendiri bagi Tiongkok. Sebut saja isu demokrasi Hongkong yang semakin memanas dan mengundang perhatian Barat. Lalu ada pula isu Taiwan, hingga isu di sepanjang perbatasan Himalaya.
Ketiga, baik Tiongkok dan Uni Soviet sama-sama berhaluan Totaliter. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres bahkan mengafirmasi hal tersebut secara tersirat dalam merespon pertanyaan Fareed Zakaria seputar manuver Tiongkok di kerjasama multilateral dengan mengatakan bahwa negeri Tirai Bambu masih dalam perjalanan yang jauh dalam hak sipil dan politik.
Terakhir, banyak dari negara-negara yang cenderung dekat dengan Tiongkok ialah negara demokrasi yang terus berganti kepemimpinan pada periode tertentu dan tak menjamin akan selamanya tergantung dengan negeri Mao Zedong. Oleh karena itulah, tak berlebihan ketika mengatakan bahwa komparasi Tiongkok dan Uni Soviet memiliki rasionalisasinya tersendiri, termasuk bagaimana proyeksi berakhirnya era konfrontasi yang ada.
Jeffrey Engstrorm dalam tulisannya yang berjudul Systems Confrontation and System Destruction Warfare bahkan menyebut manuver Tiongkok berkarakteristik destruktif menyusul dengan terkuaknya berbagai manuver negatif negeri Tirai Bambu ini. Sebutan itu sendiri bertolak atas tren yang kemudian mengekspos sentimen negatif negara lain terhadap Tiongkok yang semakin kuat dan meluas, termasuk pada sekutu bisnisnya.
“Pesan” AS dengan determinasi dua kapal induknya di LCS baru-baru ini dinilai dapat menambah fundamental preseden negatif bagi Tiongkok yang membuat sekutu “investasi” selama ini, meskipun cukup sulit namun bukan tidak mungkin untuk meninjau ulang kembali atau bahkan meninggalkan komitmen dengan Tiongkok.
Lantas dengan tatanan global yang ada saat ini, apakah rangkaian kecenderungan tersebut hanya sebatas prediksi berkekuatan lemah belaka? Serta bagaimana posisi Indonesia di tengah-tengah dinamika terkini dan yang akan datang?
Jangan Sampai Terombang-ambing
Fareed Zakaria mengutip pernyataan eks Foreign Secretary India, Vijay Gukhole yang memberikan perspektif segar sekaligus “seksi” dengan mengatakan bahwa dalam era setelah pandemi Covid-19, menikmati keuntungan dari dua kekuatan, AS dan Tiongkok, mungkin bukan lagi sebuah opsi.
Pernyataan ini tentu tak bisa dihiraukan begitu saja dikarenakan pandemi beserta dampak turunannya dinilai akan secara signifikan memengaruhi akhir dari konstelasi geopolitik global saat ini. Dan manuver destruktif Tiongkok yang ditanggapi dengan cool dan elegan oleh kekuatan “super” AS sepertinya akan berakhir dengan banyak analisa sebuah kejayaan berikutnya bagi incumbent.
Lalu bagaimana dengan kebijakan luar negeri tanah air, yang sulit untuk siapapun mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) membawa Indonesia “berbagi tempat dalam bahtera” mengarungi dinamika global di bawah kepemimpinannya dengan investasi masif Tiongkok?
Dalam publikasi berjudul Realism and Domestic Politics, Fareed Zakaria menyampaikan sebuah perspektif bahwa teori terbaik dalam melihat serta merumuskan sebuah kebijakan luar negeri ialah berdasarkan relative position atau posisi dari negara itu sendiri dalam sistem serta tatanan internasional.
Di dalam penjabaran perspektif tersebut, konteks national culture atau tradisi nasional suatu negara yang disebutkan Zakaria agaknya menjadi menarik dan relevan dalam melihat proyeksi manuver destruktif Tiongkok serta akibatnya, manuver pertahanan hegemoni AS, plus dampaknya bagi kebijakan luar negeri Indonesia.
Secara tradisi, politik luar negeri Indonesia selalu digaungkan berlandaskan prinsip bebas aktif yang maknanya, baik tersirat maupun tersurat, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Namun realitanya, dua pemimpin awal republik, Soekarno dan Soeharto, justru mendemonstrasikan contoh yang dinilai tak selalu merepresentasikan landasan tersebut. Soekarno, Bapak Proklamator akhirnya memutuskan berhaluan Timur dan kemudian menjadi salah satu faktor yang mengantarkannya turun dari tampu kekuasaan.
Sementara berhaluan Barat menjadi salah satu patok penting bagi kokohnya kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Tendensi ini juga sejalan dengan realita bahwa sangat sulit kiranya bagi pemimpin untuk membiarkan negaranya netral secara total yang justru membuat mereka terombang-ambing dalam dinamika geopolitik global dengan segala konsekuensinya.
Hal inilah yang semestinya menjadi penilaian pihak berkepentingan tanah air yang acapkali pemerintah selalu mengedepankan respon normatif dan terealisasi menjadi kebijakan luar negeri tanggung nan awkward ketika Indonesia harus berhadapan dengan isu high politics luar negeri, terutama dengan negara kuat.
Presiden Jokowi dinilai wajib mempertimbangkan manuver destruktif Tiongkok saat ini dan jangan justru semakin terlena dengan keuntungan bersifat pribadi dan sesaat dibandingkan kepentingan bangsa jangka panjang.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga memiliki peran vital sebagai referensi utama bidang pertahanan presiden dan dapat berkaca pada penyataannya sendiri di masa silam dengan mengatakan Indonesia berpotensi Bubar 2030 untuk merefleksikannya pada analisa potensi Tiongkok-lah yang justru berpotensi bubar seperti Uni Soviet dan dampaknya bagi Ibu Pertiwi.
Dengan tantangan global yang ada, harapan setiap anak bangsa selalu memuncak saat berbicara konteks optimisme kejayaan bangsa di masa mendatang. Hal inilah yang menjadi tugas luhur setiap komponen negara di Indonesia saat ini untuk mewujudkan harapan itu. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.