Proses pemberhentian Terawan dari IDI sudah berlangsung sejak tahun 2013. Dengan koneksi yang kuat dengan kekuasaan, cukup sulit membayangkan hanya faktor IDI yang berada di belakang pemberhentian. Lantas, siapa musuh besar itu? Apakah kasusnya sama dengan Siti Fadilah Supari?
“There’s a monster outside my room,” – M. Night Shyamalan, sutradara India
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tengah menuai sorotan publik. Ini bukan soal pandemi Covid-19 atau isu kesehatan lainnya, melainkan soal pemberhentian dr Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI. Mengutip Juru Bicara Pengurus Besar (PB) IDI dr Beni Satria, pemberhentian ini adalah perjalanan panjang yang telah memakan waktu sejak tahun 2013.
Dalam Muktamar XXXI PB IDI di Banda Aceh, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI resmi mencoret nama Terawan. Surat bernomor 0280/PB/MKEK/02/2022 menunjukkan berbagai hal. Disebutkan, Terawan melakukan pelanggaran etik berat (serious ethical misconduct), serta tidak melakukan itikad baik sepanjang 2018-2022 setelah diberikan sanksi soal metode cuci otak atau Digital Subtraction Angiography (DSA).
Kemudian, ada juga yang menyebut ini terkait langkah Terawan yang aktif mempromosikan Vaksin Nusantara secara luas, bahkan setelah tidak lagi menjabat sebagai Menteri Kesehatan (Menkes).
Sejauh ini, berbagai elite politik telah menerima Vaksin Nusantara. Ada politisi senior Golkar Aburizal Bakrie, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti, hingga Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.
Beragam reaksi muncul atas pemecatan Terawan. Menkes Budi Gunadi Sadikin berusaha menengahi untuk melakukan mediasi. Ada pula reaksi keras, misalnya dari anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem Irma Suryani Chaniago. Menurutnya, IDI telah menunjukkan sikap arogan, sangat eksklusif, dan elitis. “Saya sudah usulkan agar Komisi IX memanggil IDI untuk dimintai pertanggungjawaban,” ungkap Irma pada 27 Maret.
Atas ketegangan ini, ada satu pertanyaan serius yang perlu diajukan. Benarkah IDI adalah aktor antagonis utama di balik pemecatan ini?
Too Big to Fail
Ada satu alasan utama yang membuat pertanyaan itu diajukan. Dengan fakta proses pemberhentian telah dilakukan sejak 2013, mengapa baru sekarang Terawan berhasil dipecat?
Kita tentu ingat, persis setelah Terawan diangkat menjadi Menkes, isu metode cuci otak langsung mencuat ke permukaan. Beragam narasi minor terhampar, namun itu berlalu begitu saja dan tidak berujung pemecatan.
Jika membahas sosok Terawan, ia bukanlah dokter biasa. Terawan merupakan dokter yang tidak asing di lingkungan pejabat dan elite politik. Metode cuci otak yang digunakannya sejak 2005 telah dirasakan berbagai public figure hingga pejabat kelas atas. Ini membuat namanya dikenal di level elite Indonesia.
Bahkan, jika ingin menelusuri hubungan dengan RI-1, Terawan bukan sosok asing bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Terawan merupakan dokter kepresidenan di lingkungan Istana Negara sejak tahun 2009.
Lalu pada pertengahan 2019, RSPAD menjadi tempat pemeriksaan kesehatan resmi bagi para peserta pemilihan presiden dan wakil presiden. Kala itu, Terawan yang memimpin rumah sakit tersebut tentu berinteraksi langsung dengan Jokowi sebagai salah satu kandidat.
Puncak kedekatan ini jelas terlihat saat Terawan diangkat sebagai Menteri Kesehatan pada 2019. Kendati memicu berbagai aksi penolakan, nyatanya posisi Terawan tetap bertahan. Jika tidak karena pandemi Covid-19, Terawan mungkin masih duduk sebagai menteri.
Sejak Niccolò Machiavelli menulis Il Principe pada tahun 1532, rumus penunjukan pejabat tinggi pemerintahan tetap sama, yakni kepercayaan. Apalagi, melihat status Terawan yang berasal dari kursi profesional, bukan partai politik, kepercayaan Presiden Jokowi terhadapnya jelas sangat besar.
Konteks ini penting untuk dicatat karena Presiden Jokowi dinilai sebagai sosok yang sulit percaya dengan orang lain. Poin psikologis ini disinggung oleh Sita W. Dewi dan Margareth Aritonang dalam tulisan Understanding Jokowi’s Inner Circle.
Saat ini, pemecatan Terawan juga memiliki implikasi politik. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly dan berbagai politisi di DPR telah menyuarakan untuk merevisi Undang-Undang 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran.
Disebutkan, jika benar-benar direvisi, maka izin praktik dokter akan sepenuhnya dipegang oleh pemerintah alias tidak memerlukan rekomendasi IDI.
Status kedekatan politik ini adalah poin terpenting untuk diperhatikan. Dengan posisi sedekat itu dengan kekuasaan, sulit membayangkan ini hanya soal IDI. Pasalnya, jika benar IDI adalah faktor utama di balik pemecatan, mengapa itu tidak berhasil dilakukan sejak lama?
Jika boleh jujur, apabila melihat rangkaian peristiwa dan posisi politik yang ada, dapat dikatakan apabila Terawan terlalu besar untuk dijatuhkan – too big to fail. Ini mengingatkan kita pada penegasan penting filsuf David Hume pada tahun 1739 dalam bukunya A Treatise of Human Nature.
Menurut Hume, adalah sebuah kekeliruan apabila menyimpulkan rentetan peristiwa pasti merupakan sebab-akibat (kausalitas). Memang benar keduanya berurutan, tapi bisa saja faktor tersebut hanya merupakan faktor pendukung atau bahkan sekadar kebetulan bersamaan terjadi. Dalam frasa Latin, ini disebut sebagai non causa pro causa.
Dengan kata lain, hanya karena Terawan sudah terlibat ketegangan lama dengan IDI, tidak serta merta aktor utamanya adalah IDI. Lantas, jika benar Terawan terlalu besar untuk dijatuhkan IDI, bagaimana pemecatan ini dapat berhasil?
Seperti Siti Fadilah?
Ada sebuah adagium menarik, “Untuk menjatuhkan monster, kita membutuhkan monster lainnya”. Melihat posisi politik Terawan, mestilah terdapat aktor besar di luar sana yang membuatnya berhasil dijatuhkan.
Ini juga berkaitan dengan Terawan yang terkena reshuffle pada Desember 2020 lalu. Pasalnya, jika melihat pola yang ada, menteri yang terkena reshuffle di tengah jalan merupakan sosok yang disebut tidak membutuhkan pertimbangan rumit (complicated consideration).
Nah, sekarang pertanyaannya, pertimbangan rumit apa yang membuat Terawan terdepak sebagai menteri, dan sekarang juga berhasil didepak IDI?
Jawabannya sebenarnya sudah penulis singgung. Jika bukan karena pandemi Covid-19, Terawan mungkin masih menjadi menteri. Dengan kata lain, ada konflik politik besar di pandemi Covid-19 yang melibatkan Terawan.
Untuk merabanya, kita akan melihat rangkaian peristiwa yang terjadi. Saat konferensi pers resmi pertamanya, apa yang disampaikan Menkes Budi Gunadi Sadikin adalah prospek rencana vaksinasi pemerintah. Ia mengkonfirmasi Indonesia sedang dalam tahap negosiasi akhir untuk memboyong vaksin produksi AstraZeneca dan Pfizer-BioNTech.
Menariknya, tidak lama sebelum itu, Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza menyebut Terawan sempat menolak menandatangani kesepakatan kerja sama pengadaan vaksin oleh sejumlah produsen, seperti AstraZeneca, Sinopharm, hingga Sinovac.
Poin ini berelasi dengan temuan Tempo yang bertajuk Lobi Merombak Formasi Kabinet. Disebutkan, Budi Sadikin ternyata sudah dipersiapkan sebagai Menkes sejak Oktober 2020. Budi Sadikin disebut telah melakukan perjalanan ke Jenewa dan London untuk melobi sejumlah produsen vaksin Covid-19.
Nah, jika benar poin vaksin yang membuat Budi Sadikin diangkat sebagai Menkes, maka rasionalisasi serupa juga dapat ditujukan kepada Terawan. Adalah persoalan vaksin yang membuatnya terdepak sebagai menteri. Kita tentu melihat, setelah itu Terawan aktif dengan Vaksin Nusantara. Ini dapat dibaca sebagai gestur ketidakpercayaan terhadap vaksin luar.
Jika ini soal vaksin internasional, maka ini soal Big Pharma. Mengutip drugwatch, Big Pharma merupakan salah satu dari industri paling berpengaruh di dunia saat ini.
Klon Kitchen dalam tulisannya The New Superpowers: How and Why the Tech Industry is Shaping the International System, menyebut revolusi industri keempat telah membentuk kembali kontur tatanan global. Munculnya perusahaan-perusahaan raksasa yang menjadi jantung revolusi telah menantang otoritas, kedaulatan, dan kapasitas pemerintah.
Milan Babic dan kawan-kawan dalam tulisan Who is more powerful – states or corporations?, membuat komparasi kekuatan ekonomi menarik. Dari 100 entitas dengan pendapatan tertinggi pada 2016, 71 diantaranya merupakan perusahaan raksasa. Walmart dari Amerika Serikat (AS) bahkan di atas negara ekonomi maju seperti Spanyol, Belanda, Australia, dan Korea Selatan.
Dalam perspektif perang, penekanan Klon Kitchen adalah apa yang disebut sebagai perang asimetris. George Dimitriu dalam tulisannya Clausewitz and the Politics of War: a Contemporary Theory, menyebut perang tidak lagi hanya terjadi antara negara dengan negara, melainkan juga dengan aktor non-negara, seperti perusahaan multinasional dan kelompok transnasional.
Menurut pengamat militer Khairul Fahmi dalam tulisannya Membedah Salah Kaprah IKN Diduduki China, dalam konteks perang asimetris, perusahaan multinasional tidak serta merta menjadi aktor utama, melainkan dapat juga bertindak sebagai proxy negara yang ingin mengganggu Indonesia.
Jika melakukan komparasi, apa yang terjadi pada Terawan tampaknya mirip dengan kasus Siti Fadilah Supari. Eks Menkes tersebut menolak flu burung (H5N1) sebagai pandemi karena tidak menular dari manusia ke manusia, menolak penggunaan vaksin, dan menolak memberikan sampel virus flu burung ke WHO.
Jika kemudian dikatakan mirip, apa yang membedakan Siti Fadilah dengan Terawan mungkin adalah posisi politik. Kita tentu tahu, setelah aksi heroiknya, Siti Fadilah kemudian mendekam di penjara karena disebut terlibat korupsi alat kesehatan di Kementerian Kesehatan. Berbeda dengan Siti Fadilah, berbagai dukungan politik justru terlihat berada di belakang Terawan.
Well, sebagai penutup, menyimpulkan kasus Terawan mirip dengan Siti Fadilah tentu cukup sumir atau abu-abu. Kasus Siti Fadilah sendiri sampai sekarang masih menjadi konspirasi yang tidak kunjung menemui konsensus bersama.
Entah itu Big Pharma, WHO, ataupun aktor internasional lainnya, itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk diverifikasi. Namun yang jelas, ada satu kesimpulan pasti, yakni Terawan sekiranya terlalu besar untuk dijatuhkan hanya oleh IDI. Too big to fail. (R53)