Site icon PinterPolitik.com

Bukan Ganjar-Sandi, Tapi Ganjar-Erick?

Bukan Ganjar-Sandi, Tapi Ganjar-Erick?

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama dengan Menteri BUMN Erick Thohir (ANTARA/HO-Tim Erick Thohir)

Sebelumnya terdengar wacana bahwa Ganjar Pranowo ingin diduetkan dengan Sandiaga Uno. Namun, belakangan ini duet itu berubah menjadi Ganjar dengan Erick Thohir. Kenapa nama Sandi meredup dan akhirnya membuat nama Erick lebih bersinar menjadi pasangan Ganjar?


PinterPolitik.com

“Political power without economic power is sterile.” – Louis O. Kelso

Dalam pidatonya di Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang diadakan PAN di Semarang, Jawa Tengah (Jateng) pada 26 Februari 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku heran kenapa PAN memilih Jateng sebagai lokasi Rakornas pemenangan meskipun tidak memiliki kursi di Jateng.

“Jawabannya saya sudah punya sekarang, jawabannya sudah punya. Oh, ini strategi mendekati Pak Ganjar. Ini sudah betul,” ungkap Presiden Jokowi.

Dalam acaranya yang sama, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) juga memberikan pidato bahwa duet Ganjar Pranowo dengan Erick Thohir baik bagi Indonesia. “Kalau Pak Ganjar dan Pak Erick sudah bersama. InsyaAllah, Indonesia tambah jaya,” ungkap Zulhas.

Di acara Rakornas PAN memang hadir Ganjar, Erick, dan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Pernyataan Zulhas sekiranya menegaskan asumsi berbagai pihak akhir-akhir ini bahwa ada wacana untuk mengusung Ganjar-Erick di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Nah, di titik ini ada satu pertanyaan menarik. Jika mengikuti arus isu setidaknya setengah tahun terakhir, sempat beredar wacana untuk menduetkan Ganjar dengan Sandiaga Uno. Lantas, kenapa duet itu kini berubah menjadi Ganjar-Erick?

Meneropong Sandi

Di atas kertas, sosok Sandiaga Uno sangatlah potensial. Mengutip Kimberly L. Casey dalam tulisannya Defining Political Capital, Sandi memiliki modal politik (political capital) yang sangat cukup untuk menjadi kandidat potensial.

Pertama, modal ekonomi. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2021, kekayaan Sandi menyentuh angka Rp10,62 triliun. Ini belum termasuk jejaring bisnisnya yang dapat pula menyokong pendanaan.

Kedua, modal institusional. Sandi merupakan salah satu menteri kabinet Jokowi. Apalagi, posisinya sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) membuatnya dapat keliling Indonesia bertemu masyarakat.

Ketiga, modal sosial atau popularitas. Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, Pilpres 2019, dan penunjukannya sebagai Menparekraf telah melambungkan nama Sandi dan membuatnya begitu dikenal masyarakat. Popularitas Sandi di media sosial juga sangat besar.

Akun Instagram @sandiuno sudah memiliki 9 juta pengikut. Dari berbagai kandidat potensial 2024, hanya Ridwan Kamil (@ridwankamil) yang mengalahkan Sandi dengan 19,9 juta pengikut.

Keempat, modal elektabilitas. Mengacu pada survei Litbang Kompas pada 25 Januari sampai 4 Februari 2023, elektabilitas Sandi sebagai capres memang menempati posisi kelima dengan 1,6 persen. Namun, Sandi merupakan nomor satu di bursa cawapres dengan 12,4 persen.

Kelima, modal SDM atau human capital. Modal ini dapat dibagi dua, yakni kapasitas intelektual dan pesona. Secara kapasitas intelektual, Sandi tentu tidak perlu diragukan. Sandi menempuh pendidikan di Wichita State University pada 1990, George Washington University pada 1992, dan pendidikan doktoral di Universitas Pelita Harapan pada 2020.

Secara pesona, berbagai pihak tentu setuju Sandi adalah sosok good-looking. Pembawaannya ketika berbicara juga lembut, tidak terkesan arogan, dan mudah berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat.

Nah, melihat lima political capital itu, tentu menjadi pertanyaan tersendiri kenapa nama Sandi justru meredup? Wacana duet Ganjar-Sandi yang sempat berdengung juga berubah menjadi duet Ganjar-Erick. Kenapa itu terjadi?

Sandi Tidak Menjual?

Untuk menjawabnya, tulisan Maria Konnikova yang berjudul Don’t Just See, Observe: What Sherlock Holmes Can Teach Us About Mindful Decisions dapat menjadi tolakan yang menarik. Terinspirasi dari detektif fiktif Sherlock Holmes, Konnikova menyebutkan banyak dari kita hanya melihat hal-hal permukaan.  

Seperti yang pernah disebutkan Sherlock, sebagian besar dari kita tidak memperhatikan dan gagal menyadari untuk mencatat sesuatu yang akan membuat perbedaan penting dalam kalkulus keputusan kita.

Pada konteks Sandi, titik fokusnya bukan pada potensi political capital di atas kertas, melainkan apakah partai politik menangkap itu sebagai political capital.

Dalam artikel PinterPolitik.com yang berjudul Sandi Sedang Gelisah?, telah dijabarkan bahwa jika Sandi memang dinilai sangat potensial, bukankah namanya sudah digaungkan oleh partai lain?

Kita bisa melihat komparasinya pada gerak cepat Partai NasDem dalam mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden. Sandi juga tidak termasuk ke dalam tiga nama yang sempat diusulkan NasDem. Tiga nama waktu itu adalah Anies, Ganjar Pranowo, dan Andika Perkasa.

Kemudian, ini poin yang sangat penting. Jika Sandi memang begitu potensial, kenapa Partai Gerindra, partai Sandi sendiri, justru terlihat menutup peluang untuk sang Menparekraf maju di Pilpres 2024?

Pada konteks dukungan PPP kepada Sandi sebagai capres atau cawapres, itu sekiranya sebagai trade-off atau rayuan politik agar Sandi mau berlabuh ke partai Ka’bah. Seperti diketahui, dengan status terancam lolos parlemen pada Pemilu 2024, PPP sangat membutuhkan sosok prominen untuk mendongkrak perolehan suaranya.

Lalu, jika Sandi memang tidak menjual alias tidak dilirik oleh partai politik, apa yang membuat Erick Thohir menjadi pilihan pengganti?

Sandi vs Erick

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik dari tim pemenangan Sandi di Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019, tidak seperti sangkaan banyak orang, Sandi ternyata sangat sulit dimintai logistik untuk kepentingan pemenangan.

Pengalaman itu disebut membuat tim pemenangan dan partai politik memiliki trauma tersendiri. Ekspektasi mereka akan lancarnya dana logistik ternyata terpatahkan.

Trauma itu dapat dipahami melalui teori yang disebut dengan deprivasi relatif. Robert Longley dalam tulisannya All About Relative Deprivation and Deprivation Theory menyebut deprivasi relatif sebagai kondisi ketika seseorang merasa dirampas dari sesuatu yang dianggapnya penting.

Deprivasi relatif adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Terdapat harapan atas sesuatu yang kemudian tidak dilihat, tidak ditemukan, dan tidak dirasakan. Hal ini akan menimbulkan emosi marah, kecewa, dan sulit untuk percaya kembali.

Temuan itu mengingatkan kita pada konsep dramaturgi yang dipopulerkan oleh Erving Goffman bahwa realitas sosial, termasuk politik, terbagi ke dalam panggung depan dan panggung belakang. Panggung depan adalah persepsi atau citra yang dilihat oleh publik. Sementara, panggung belakang adalah realitas politik atau personalitas politisi yang sebenarnya.

Konteks itu yang disebut menjadi pembeda besar Sandi dengan Erick Thohir. Menteri BUMN itu dikenal jauh lebih royal soal bantuan kapital. Apalagi, itu juga disokong oleh jejaring bisnis Erick yang menggurita sampai ke luar negeri.

Dukungan kapital juga datang dari relasi personal Erick. Garibaldi “Boy” Thohir, saudara Erick, merupakan salah satu orang terkaya di Indonesia. Menurut laporan Forbes pada tahun 2022, Boy Thohir merupakan orang terkaya ke-15 di Indonesia dengan kekayaan mencapai USD3,45 miliar atau sekitar Rp52,8 triliun.

Dengan besarnya kebutuhan logistik untuk pemenangan, sifat Erick yang dikenal lebih royal tentu sangat menarik perhatian berbagai partai politik. Ihwal itu yang sekiranya membuat PAN berulang kali memberikan dukungan terbuka kepada Erick sebagai calon wakil presiden.

Saking dekatnya dengan PAN, Erick sampai sudah dianggap sebagai bagian dari PAN. “Kenapa dipanggil saudaraku? Karena kader-kader PAN menganggap saudaraku Erick Thohir ini sudah menjadi kader Partai Amanat Nasional,” ungkap Zulhas pada 27 Februari 2023.

Selain itu, beberapa tahun terakhir ini Erick juga melakukan berbagai manuver politik penting dalam mendekati simpul suara potensial, khususnya ke Nahdlatul Ulama (NU). Tidak hanya telah menjadi anggota kehormatan Barisan Ansor Serbaguna (Banser), Erick juga mendapat dukungan terbuka dari tokoh NU.

“InsyaAllah, Pak Erick, sabar sedikit. Minimal wakil presiden, Pak,” ungkap Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas sekaligus Ketua Gerakan Pemuda Anshor (GP Ansor) pada 22 Oktober 2022.

Well, sebagai penutup, tentu perlu digarisbawahi bahwa sekelumit analisis dalam artikel ini adalah interpretasi. Jika meminjam istilah Sherlock Holmes, ini adalah deduksi yang dikonstruksi berdasarkan variabel-variabel politik yang tertangkap dan ditemukan. (R53)

Exit mobile version