Kegamangan Partai Golkar pasca rekan koalisinya PPP menentukan untuk mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres dalam pemilihan presiden (pilpres) mulai terjawab setelah elite Partai Golkar memberi sinyal akan merapat ke Prabowo Subianto. Lalu, sebagai partai legendaris, mengapa Partai Golkar meninggalkan kesan kegamangan itu? Dan apakah kegamangan itu benar-benar terjadi?
Dinamika koalisi antar partai politik (parpol) menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 semakin cair setelah para kandidat yang akan maju dalam pilpres semakin mulai didekalrasikan.
Salah satunya, dinamika itu terjadi di dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) ketika PPP secara resmi menentukan pilihan mandiri untuk mendukung Ganjar Pranowo dalam pilpres nanti.
Partai Golkar sebagai rekan koalisi PPP kemudian terkesan mengalami kebimbangan setelah partai berlambang kakbah tersebut seakan meninggalkan Koalisi Indonesia Bersatu KIB yang mereka bangun bersama PAN.
Namun, Tantowi Yahya sebagai juru bicara (Jubir) Partai Golkar memberi sinyal bahwa partainya akan merapat ke Partai Gerindra untuk mendukung Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 nanti.
“Golkar dan Gerindra itu chemistry-nya sama karena berasal dari satu rahim, begitu pernyataan Tantowi setelah pertemuan antara Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartanto dan Aburizal Bakrie dengan Prabowo.
Jelas seperti yang dikatakan Tantowi itu perlu dicermati dengan seksama sebagai sinyal jika Golkar akan merapat ke Prabowo.
Meskipun tampaknya akan ada perbedaan pilihan capres yang didukung, menariknya KIB dinyatakan tidak akan bubar. Hal itu pun dipertegas oleh ketiga ketum parpol KIB itu setelah pertemuan mereka dirumah Airlangga.
Airlangga juga menegaskan KIB masih terlihat solid, guyub, dan rukun meski PPP telah memberikan dukungan kepada Ganjar.
Dia mengklaim keputusan Rapimnas PPP yang mendukung Ganjar adalah mekanisme internal partai. Oleh karenanya, KIB akan menampung aspirasi masing-masing partai.
Dengan kemungkinan perbedaan pilihan capres pada Pilpres 2024 nanti, boleh jadi ini menunjukkan strategi KIB untuk tetap akan ada di pemerintahan siapa pun kandidat yang kan menang nantinya dalam Pilpres 2024.
Terutama Partai Golkar yang jika dilihat kebelakang sejak orde baru selalu berada di pemerintahan meskipun presiden silih berganti.
Terlebih, setelah Airlangga turut membuka opsi menarik saat menyambangi Partai Demokrat untuk berdiskusi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Atas dasar itu muncul pertanyaan menarik jika menarik perspektif surut ke belakang, yakni mengapa Golkar selalu tergabung dalam pemerintahan meskipun pada saat pilpres tidak mendukung presiden terpilih?
Golkar “Si Oportunis”?
Koichi Kawamura dalam tulisannya yang berjudul Presidentialism and Political Parties in Indonesia: Why Are All Parties Not Presidentialized? menjelaskan bahwa sebagai partai besar dan legendaris, Partai Golkar akan selalu mengincar kemenangan dalam pilpres.
Kawamura juga menjelaskan kemenangan yang dimaksud bukan hanya menjadikan kadernya memenangkan pilpres dan menjadi presiden, tapi juga termasuk dalam mendukung siapapun kandidat yang menang.
Hal itu yang kemudian membuat Golkar bisa di kategorikan termasuk partai yang terpresidensialisasi (presidentialized party).
Para elite Golkar sendiri pun kerap mengakui bahwa mereka tidak mempunyai bakat untuk menjadi oposisi. Atas dasar itu, kemudian sering kali terlihat bahwa dukungan yang diberikan Golkar tidak tunggal.
Jika dilihat kebelakang, beberapa kali terjadi intrik politik yang memperlihatkan secara resmi sikap DPP Partai Golkar akan mendukung salah satu calon, tetapi di sisi lain berbagai elemen-elemen di dalam partai akan mendukung kandidat lainnya.
Dengan begitu, kemungkinan ini menjaga peluang Golkar sebagai presidentialized party tetap terjaga.
Langgengnya Golkar berada dalam pemerintahan bukan karena peran satu sosok sentral. Mantan Ketum Golkar Akbar Tandjung dalam bukunya The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik menjelaskan bahwa Golkar adalah partai yang fleksibel dan merangkul semua latar belakang, karakteristik, dan ideologi untuk bersinergi atau catch-all party.
Sikap terbuka tersebut dan kepemimpinan yang tidak tersentralisasi dengan banyaknya tokoh yang kuat dan faksi yang berada di dalam partai berlambang pohon beringin itu membuat mereka dapat dengan mudah melakukan lobi untuk tetap bergabung dengan pemerintah, meskipun pada saat pemilu mereka berbeda pilihan.
Fenomena yang terjadi seperti Partai Golkar, bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Robert Pekkanen dan Ellis S. Krauss dalam tulisannya yang berjudul The Partial Presidentialization Of Parties In Japan mengungkapkan fenomena tersebut juga terjadi di negara maju seperti Jepang.
Mereka menyebutkan dalam pemerintahan di Jepang ada satu partai besar dan legendaris di Jepang yang bernama Liberal Democratic Party (LDP) yang selalu melakukan berbagai cara untuk berada dalam pemerintahan termasuk lobi-lobi politik.
Serupa tapi tak sama dengan Golkar, dalam kurun waktu yang cukup lama, LDP juga pernah mendominasi pemilihan umum (Pemilu) di Jepang dalam kurun waktu 1955 sampai 1993.
Meski sempat terpecah dan kemudian kekuasaan diambil alih oleh koalisi partai oposisi, LDP kemudian kembali mengambil alih kekuasaan dan tetap menjadi salah satu partai kuat yang selalu berada dalam pemerintahan Jepang.
Jika ditelaah dalam aspek konsistensi dan keberlanjutan apa yang dilakukan LDP dan Parati Golkar kiranya merupakan sebuah kecermatan tersendiri meski secara kasat mata ada kesan kegamangan dalam proses politik.
Lantas, apakah Golkar akan terus mempertahankan strategi oportunis seperti itu dalam Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang? Atau sebaliknya, Golkar akan bersikap idealis dan konsisten dalam mendukung salah satu kandidat untuk bertarung dalam pilpres apapun hasilnya kelak?
Golkar “Partai Negara”?
Rasanya akan sulit melihat Partai Golkar berada di luar pemerintahan atau opsisi. Golkar tampaknya memang bukan dilahirkan untuk menjadi partai oposisi.
Partai Golkar seperti ditakdirkan sebagai parpol yang berpolitik melalui kebijakan, entah itu sebagai penguasa ataupun menempatkan kadernya di dalam kabinet pemerintahan.
Hal itu seolah dipertegas oleh salah satu poitikus kawakan partai Ade Komarudin yang pernah mengatakan bahwa mereka adalah partai yang didirikan untuk berkarya bukan untuk mengkritik. Kembali, seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, ideologi Partai Golkar yang ingin menyasar semua kalangan pemilih tidak mencerminkan sebagai partai oposisi.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan rasanya jika Golkar disebut sebagai partai yang pragmatis. Sumartono dalam publikasinya yang berjudul Budaya Politik Dalam Masyarakat Pragmatis menjelaskan pragmatisme tidak mengenal adanya kebenaran mutlak. Kebenaran ditentukan oleh kemanfaatan.
Implikasi dari partai-partai yang sangat pragmatis adalah koalisi yang terbangun sangat rapuh dan berpotensi adanya “politik dua kaki”. Jadi, politik dua kaki yang dijalankan partai politik muncul akibat dari lemahnya ikatan koalisi yang terbangun.
Fenomena politik dua kaki ini terjadi karena koalisi dibangun di atas fondasi kepentingan-kepentingan pragmatisme politik kekuasaan, bukan berdasarkan kedekatan ideologi atau persamaan platform.
Menjelang Pilpres 2024, sikap pragmatis Golkar kembali tercermin ketika yang memberi sinyal akan merapat ke Prabowo dengan mengatakan Partai Gerindra dan Partai Golkar berasal dari “rahim” yang sama.
Namun, mereka seakan tetap mempertahankan KIB, dengan atau tanpa PPP di dalamnya yang sudah secara resmi mendukung Ganjar.
Boleh jadi, Golkar mendekati Prabowo demi posisi calon wakil presiden (cawapres) karena memang terdapat probabilitas yang besar dan di dukung dengan faktor kedekatan kedua parpol.
Mereka pun diperkirakan akan menyodorkan nama sang Ketum Airlangga Hartanto untuk mendampingi Prabowo sebagai cawapres dalam pilpres mendatang.
Kalaupun skenario tersebut tidak terlaksana, Golkar tampaknya akan mengalami de javu Pilpres 2014 yang tidak menempatkan kadernya dalam posisi capres atau cawapres.
Meski pada akhirnya Partai Golkar tetap diterima dengan baik di politik kekuasaan walapun dalam pilpres mereka berada dalam posisi yang berseberangan.
Skenario lain, Partai Golkar akan bersikap idealis dan konsisten dengan tetap bersama Prabowo Subianto apapun hasil yang akan didapatkan pada pilpres mendatang.
Berbagai skenario diatas kiranya terjadi karena Golkar tidak mempunyai kandidat prominen yang berasal dari kadernya untuk dapat bersaing dalam pilpres mendatang.
Sebagai partai yang besar dan legendaris, menarik untuk menanti sikap yang akan diambil Golkar dalam menghadapi pilpres mendatang. (S83)