Site icon PinterPolitik.com

Bukan AUKUS, Tiongkok Ancaman Sebenarnya?

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama dengan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi (Foto: Kabar24 – Bisnis.com)

Menlu Retno Marsudi memberi respons yang tegas setelah traktat Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AUKUS) didirikan. Bahkan, Indonesia sampai membuat pernyataan bersama dengan Tiongkok dan Malaysia untuk mengecam aliansi militer tersebut, dengan alasan dapat mengganggu perdamaian kawasan. Benarkah AUKUS adalah ancaman yang sebenarnya?


PinterPolitik.com

What we need to ensure is that the rise of China is conducted in a manner that does not disturb the security and the relative harmony of the region.” – Malcolm Turnbull, mantan Perdana Menteri Australia

Belum lama ini kawasan Indo-Pasifik dihebohkan dengan pendirian traktat pertahanan Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) yang disebut AUKUS. Banyak pihak menganggap traktat ini dapat mengancam kestabilan perdamaian wilayah, karena terkesan menjadi perwujudan nyata tantangan kubu Barat terhadap kepentingan politik Tiongkok di wilayah dengan populasi terbesar di dunia tersebut.

Sebagai pihak yang berada di tengah-tengah persaingan, negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menjadi yang pertama terpengaruh kontestasi kekuatan. Filipina barangkali menjadi contoh yang menarik. Satu minggu setelah AUKUS diresmikan, negara yang dipimpin Presiden Duterte itu dengan lantang mendukung perjanjian yang menjamin kepemilikan kapal selam nuklir Australia tersebut.

Alasannya cukup sederhana, Menteri Luar Negeri (Menlu) Filipina, Teodoro Locsin menilai perlu adanya upaya penyeimbangan kekuatan di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Ini tentu ditujukan kepada Tiongkok, yang memang sejak beberapa waktu ke belakang ini semakin menjadi masalah bagi Filipina, karena beberapa kapal Tiongkok dikabarkan lalu lintas di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina.

Baca Juga: Jokowi di Hadapan Ancaman Nuklir?

Namun, berbeda dengan Filipina, Indonesia malah mengecam adanya AUKUS karena dianggap dapat melanjutkan perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan di wilayah Indo-Pasifik. Bahkan, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sampai membuat pernyataan khusus, dengan menggunakan kata ‘sangat prihatin’, yang lebih sering digunakan Indonesia untuk permasalahan yang benar-benar merupakan ancaman kemanusiaan seperti kekerasan di Afghanistan.

Tidak berhenti di situ, pada awal Oktober lalu, Indonesia menggaet Malaysia untuk bersama-sama membuat pernyataan kecaman terhadap AUKUS. Menlu Malaysia, Saifuddin Abdullah mengatakan pihaknya memiliki pandangan yang sama dengan Indonesia terkait perjanjian trilateral tersebut. Kemudian, yang menarik juga untuk dilihat adalah, Menlu Retno Marsudi kembali melempar pernyataan politik bersama Menlu Tiongkok, Wang Yi, ketika sama-sama menghadiri acara Konferensi Tingkat Tinggi (G20) di Italia.

Banyak pihak kemudian mencurigai sikap Indonesia ini mengindikasikan kecondongan kepada Negeri Tirai Bambu. Benarkah anggapan tersebut?

Standar Ganda Indonesia?

Analis senior Australian Strategic Policy Institute (ASPI), David Engel dalam tulisannya Explaining Indonesia’s Lopsided Treatment of Its Two ‘Strategic Partners’ menilai retorika-retorika politik yang dikeluarkan Retno membuktikan arah politik luar negeri Indonesia saat ini berbentuk ‘standar ganda’. Yang dimaksud Engel adalah, kecaman Indonesia terhadap AUKUS tidak didasarkan pada proyeksi ancaman yang benar-benar terjadi saat ini.

Memang, AUKUS menjamin adanya transfer teknologi kapal selam nuklir, akan tetapi, itu adalah proyek jangka panjang, yang mungkin baru bisa terealisasi dalam jangka waktu beberapa tahun. Sementara itu, pemerintah Indonesia dinilai Engel relatif diam dalam menanggapi ancaman yang nyata terjadi saat ini, yaitu rudal hipersonik milik Tiongkok. Memang, sejak Agustus lalu Tiongkok dikabarkan tengah menguji kemampuan misil yang dikabarkan memiliki jarak tempuh sekeliling dunia tersebut.

Engel lanjut menilai pernyataan resmi Kemlu ironisnya malah menunjukkan bahwa Indonesia melihat ancaman kapal selam bertenaga nuklir Australia yang dimaksudkan untuk membawa senjata konvensional, lebih berbahaya pada kestabilan perdamaian kawasan dan politik internasional dibandingkan rudal hipersonik yang justru dirancang untuk membawa hulu ledak nuklir dari Tiongkok.

Memang, diamnya Indonesia terhadap agresi-agresi militer Tiongkok juga bisa kita lihat dari beberapa isu lain. Contohnya, infiltrasi kapal penelitian Tiongkok ke wilayah Natuna Utara dari September hingga Oktober lalu, Indonesia sampai saat ini bertindak acuh. Bahkan, sejak tahun 2020 pun, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan selalu menekankan untuk tidak membesar-besarkan masalah dengan Tiongkok terkait Laut Natuna.

Baca Juga: Ada Luhut di Balik Bisunya Prabowo?

Indonesianis, John Mcbeth, dalam tulisannya Indonesia Mysteriously Mum on China Sea Incursion, juga menilai Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ‘terlalu diam’ menanggapi lalu lintas kapal Tiongkok.

Padahal, ketika menjadi calon presiden pada tahun 2019, Prabowo cukup vokal menggagasi penguatan pertahanan di Laut Natuna. Hal yang diangkat media kemudian hanya pembelian frigat Arrowhead 140 oleh Prabowo dari Inggris, yang dicap sebagai respons nyata Prabowo terhadap polemik Laut Natuna oleh Ketua Harian Partai Gerinda, Sufmi Dasco Ahmad.

Secara logika, korelasi antara pembelian frigat dan urgensi di Laut Natuna saat ini cukup jauh. PT PAL sendiri, sebagai kontraktor resmi dalam negeri, menargetkan pembuatan dua kapal frigat Arrowhead-140 baru akan rampung pada 2026 mendatang. Oleh karena itu, pembelian Arrowhead 140 tidak bisa kita anggap sebagai solusi aktual.

Tidak hanya dari aspek militer, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang tidak termasuk dalam 43 negara yang mengecam Tiongkok terkait isu Xinjiang yang turut menyangkut warga Muslim etnis Uighur pada Sidang Komite III Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-76 pada Oktober lalu. Padahal, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Pengamat Tiongkok dari Universitas Nasional Australia, Michael Clarke pernah memberikan pandangannya terkait fenomena ini. Ia menilai, pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri jadi faktor kuat. Banyak negara saat ini menjalin hubungan ekonomi yang kuat dengan Tiongkok, oleh karena itu, konsekuensi politis apapun dengan Tiongkok harus diredam semampu mungkin.

Lantas, apakah argumen yang disampaikan Clarke bisa kita jadikan jawaban yang tepat untuk menjawab sikap diam Indonesia terhadap Tiongkok?

Tiongkok Lebih Mengancam?

Kembali mengutip Engel, alasan paling rasional dari tindakan Indonesia yang terlihat seakan-akan lebih memihak Tiongkok adalah karena Indonesia menilai hubungan baik dengan Tiongkok sangat krusial untuk keamanan kawasan, dan Indonesia sendiri. Engel kemudian mengartikan manuver diplomasi Indonesia ini sebagai bentuk dari realpolitik.

Di dalam buku Realpolitik karya Adam Humphreys, ini adalah sebuah konsep dalam ilmu hubungan internasional yang pada dasarnya merupakan praktik politik atau diplomasi yang didasarkan pada pertimbangan keadaan dan faktor terkini, dibandingkan signifikansi gagasan ideologis atau premis moral dan etika. Dalam hal ini, realpolitik berbagi aspek pendekatan filosofisnya dengan teori realisme dan pragmatisme politik.

Tetapi kemudian yang perlu digaris bawahi adalah, berdasarkan keprihatinan utama Retno tentang keamanan kawasan pasca AUKUS, dan juga keterkaitannya dengan agresi-agresi militer Tiongkok di LTS yang semakin hari semakin galak, implementasi realpolitik Indonesia di sini bukan didorong oleh kekhawatiran kehilangan Tiongkok sebagai mitra ekonomi, tetapi lebih kepada kekhawatiran proyeksi ancaman yang sudah nyata.

Seperti yang kita tahu, kekuatan militer Tiongkok yang dapat mengancam banyak negara tidak hanya rudal hipersonik saja, tetapi juga markas-markas militer yang zona operasinya tidak hanya mencakup LTS, tetapi juga wilayah sekitarannya, termasuk Indonesia.

Ini kemudian jadi poin penting selanjutnya dari konsep realpolitik. Menurut Humphreys, kekuatan negara besar tidak lagi diwujudkan dalam politik langsung yang sifatnya koersif, tetapi lebih ke pengaruh asertif. Tiongkok tidak perlu mendorong Indonesia untuk ikut mengecam AUKUS, tetapi Indonesia merasa kepentingan nasionalnya dapat terganggu apabila membiarkan ancaman militer yang sudah ada dari Tiongkok, berkontestasi dengan AUKUS.

Oleh karena itu, kegentingan mempertahankan diri di antara ancaman negara-negara besar dapat mendorong suatu negara untuk lebih mengedepankan pragmatisme dibanding idealisme.

Baca Juga: Jokowi di Tengah “Boneka Perang” LTS?

Pada akhirnya, dalam konteks besarnya, kontestasi di Indo-Pasifik masih mengarah ke prediksi Thucydides’s  Trap dari Graham T. Allison. Dalam tulisannya Year in  a Word: Thucydides’s Trap, Allison melihat bahwa kebangkitan suatu negara sebagai penantang negara hegemon memiliki kesempatan perang yang sangat tinggi. Berdasarkan tesisnya, Allison menyimpulkan, dari 16 kasus persaingan kekuatan dalam sejarah, 12 di antaranya berujung perang.

Allison menganalogikan argumennya ini dengan Perang Peloponnesia antara Athena dan Sparta pada zaman Yunani kuno. Athena yang pada saat itu sedang ‘naik daun’ dianggap sebagai ancaman oleh Sparta sebagai kekuatan yang dominan di Yunani. Oleh karena itu, Sparta menjustifikasi perang dengan alasan Athena sedang berusaha membangun kekaisaran yang dapat merenggut kebebasan negara-kota Yunani lainnya.

Yang menarik dari analogi Perang Peloponnesia adalah, persaingan antara Athena dan Sparta mengakibatkan negara-kota Yunani lain terlibat dalam perang. Ini yang perlu kita takuti dari prediksi Thucydides’s Trap.

Untungnya, Indonesia selama ini selalu berusaha melontarkan retorika politik yang bertujuan untuk meredam agresi balasan dari AUKUS. Meskipun sekilas tampak melanggar prinsip bebas-aktif, dalam keadaan yang kritis ini, diplomasi ala realpolitik bisa menjadi solusi yang sekiranya cukup tepat untuk mempertahankan eksistensi negara dan meredam adanya kelanjutan perlombaan senjata di Indo-Pasifik. (D74)

Exit mobile version