Presiden Jokowi mendorong partai koalisinya untuk menolak revisi UU Pilkada. Dua isu utama mencuat, yakni untuk memutus momentum politik Anies Baswedan, atau untuk menyiapkan Gibran di Pilgub DKI 2024. Namun, apakah mungkin dua isu itu yang menjadi alasan Jokowi mendorong Pilkada Serentak 2024?
Isu revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sebenarnya bukan kali pertama bergulir di awal tahun 2021. Pada 28 November 2019, anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera telah menegaskan bahwa Komisi II DPR sepakat untuk mengajukan tujuh RUU masuk prolegnas 2020, yang salah satunya adalah revisi UU Pilkada.
Namun, karena mungkin terhambat masalah pandemi Covid-19, pembahasannya baru dilanjutkan di awal tahun ini.
Yang menarik dari perkembangan revisi UU Pilkada adalah sikap yang ditunjukkan oleh dua partai koalisi pemerintah, yakni Golkar dan Nasdem. Pasalnya, berbeda dengan pemerintah dan partai koalisi lainnya yang menolak revisi, pada awalnya Golkar dan Nasdem memilih untuk mendukung revisi.
Hal ini bahkan berbuah pemanggilan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo terhadap eks Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf pada 28 Januari lalu. Di sana turut hadir PDIP, PPP, Golkar, Nasdem, PKB, dan Hanura.
Nah, berbeda dengan Golkar yang langsung mengubah sikap selepas pemanggilan, Nasdem justru baru mengubah sikap setelah ada isu tiga menteri Nasdem akan terkena reshuffle pada 3 Februari lalu. Tidak tanggung-tanggung, Surya Paloh sendiri yang turun gunung untuk menegaskan bahwa partainya memiliki cita-cita dan tugas yang sama dengan Presiden.
Baca Juga: Skak, Jokowi Kalahkan Surya Paloh?
Polemik revisi UU Pilkada ini tentu sangat menarik dan menyimpan intrik politik tertentu. Pasalnya, ini bukan langkah yang lumrah bagi Presiden Jokowi secara terang-terangan memanggil partai koalisinya untuk membahas ranah legislasi.
Lantas, apakah dorongan Presiden Jokowi untuk menolak revisi UU Pilkada berkaitan dengan dugaan-dugaan politik yang dikemukakan berbagai pengamat? Misalnya untuk memutus momentum politik Anies Baswedan di 2022, atau untuk menyiapkan panggung bagi Gibran Rakabuming Raka di 2024 nanti?
Bukan Anies atau Gibran?
Pertama, dugaan didorongnya Pilkada Serentak 2024 sebagai upaya menjegal Anies terbilang cukup masuk akal. Dengan masa jabatan yang habis di 2022, momentum politik Anies dapat dikatakan terputus jika ingin menatap Pilpres 2024.
Tidak heran pula, disemakatkan istilah “gelandangan politik” karena Anies tidak memiliki status selepas turun sebagai DKI-1. Lalu, ada pula yang memaknainya sebagai strategi PDIP untuk menjegal Anies. Kita dapat membuat berbagai spekulasi terkait hal ini.
Kedua, ada yang menyebutkan Pilkada Serentak 2024 untuk mempersiapkan Gibran di Pilgub DKI 2024. Ini bertolak dari persoalan pengalaman, popularitas, ataupun elektabilitas yang tampaknya belum cukup apabila Wali Kota Solo terpilih tersebut harus maju menjadi DKI-1 pada 2022 mendatang.
Terkait spekulasi ini, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang turun tangan langsung untuk memberikan bantahan. Tegasnya, sikap pemerintah terkait revisi UU tidak memiliki kaitan dengan Gibran. Lagipula, putra sulung Presiden Jokowi ini sendiri masih sibuk berjualan martabak ketika UU Pilkada disahkan pada 2016 silam.
Mengacu pada penekanan berulang pemerintah bahwa didorongnya pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 karena alasan pandemi Covid-19, pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi tampaknya sangat menarik untuk dipertimbangkan.
Menurut penulis buku Kuasa Uang ini, pemerintah mendorong Pilkada Serentak 2024 karena mengincar pelaksana tugas (Plt) kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum 2024. Dengan Plt yang ditunjuk oleh eksekutif, yakni Presiden untuk Gubernur dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk Bupati/Wali Kota, itu akan memudahkan kontrol dalam pelaksanaan, pencegahan atau manajemen penanganan Covid-19.
Baca Juga: Ketika Pratikno Klarifikasi Gibran
Singkatnya, ini demi menciptakan kondisi koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah agar tidak terjadi gesekan-gesekan kebijakan seperti yang beberapa kali kita perhatikan. Dugaan itu semakin masuk akal karena daerah-daerah vital, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur mengalami pergantian Gubernur pada 2022 dan 2023.
Lantas, jika dugaan Burhanuddin Muhtadi tepat, apa rasionalisasi di balik keputusan Presiden Jokowi ini?
Nepotisme Itu Alamiah?
Mengacu pada pernyataan Burhanuddin Muhtadi, mungkin banyak yang akan menghardik jika benar pemerintah sedang mengincar Plt kepala daerah. Singkatnya, itu adalah praktik nepotisme. Akan tetapi, apakah itu respons yang tepat?
Dalam membahas politik, terdapat dua kategorisasi yang perlu diketahui. Pertama, kategori normatif, yakni bagaimana seharusnya realitas politik terjadi. Kategori ini berisi harapan-harapan, yang umumnya sulit terjadi.
Kedua, kategori realis, yakni bagaimana realitas politik menampakkan dirinya. Ini adalah kategori yang menggambarkan secara jujur fenomena-fenomena politik.
Nah, pada konteks kritik terhadap praktik nepotisme, tentu akan dilihat dari sudut pandang normatif atau ideal, bahwa seharusnya merit-based system yang didahulukan. Namun, apakah fenomena atau ikatan sosial berjalan demikian dalam politik?
Dalam berbagai literatur, seperti yang ditulis oleh Asmiati Malik dalam Nepotism is bad for the economy but most people underestimate it, nepotisme disebut berkonsekuensi buruk bagi perekonomian. Iya, itu tepat karena nepotisme kerap berkonsekuensi pada praktik korupsi.
Namun, Ed Grabianowski dalam tulisannya How Nepotism Works justru menyebutkan bahwa nepotisme pada dasarnya hampir tidak bisa dihindari karena seluruh sistem pemerintahan telah dibangun di atasnya.
Menariknya, Grabianowski menemukan praktik nepotisme juga dilakukan secara alamiah oleh binatang. Mengutip Paul Sherman dalam The Meaning of Nepotism, nepotisme misalnya ditemukan pada perilaku tupai ketika memberi peringatan terhadap ancaman.
Uniknya, tupai lebih sering memberikan panggilan peringatan ketika lebih banyak kerabat mereka berada di dekatnya, dan tidak memberikan peringatan ketika hanya ada tupai yang tidak memiliki hubungan dekat dengannya.
Selain melihat bau-bau praktik nepotisme di makhluk hidup lainnya, Grabianowski juga memberi penekanan pada asal-usul peradaban yang memang bermula dari keluarga. Dari keluarga, terbentuklah suku, kemudian berlanjut membentuk komunitas yang lebih besar, hingga mencapai negara.
Dengan kata lain, praktik penunjukan berbasis kedekatan keluarga ataupun kepercayaan personal pada dasarnya adalah praktik alamiah. Mungkin dapat disebut sebagai naluri atau insting jika menggunakan pendekatan teori evolusi.
Tidak hanya dari kacamata asal-usul peradaban, jika mengacu pada teks-teks politik, praktik nepotisme untuk menjaga pengaruh atau kekuasaan dapat dengan gamblang kita lihat dalam buku Il Prince karya Niccolo Machiavelli yang ditulis pada tahun 1532.
Dalam pembahasan mengenai “Kerajaan-kerajaan Turunan” misalnya, Machiavelli menjelaskan bahwa penguasa yang berasal dari penguasa-penguasa baru, akan lebih sulit mempertahankan kekuasaannya daripada penguasa yang berasal dari satu keluarga.
Baca Juga: Di Balik Tim Mawar Masuk Kemenhan
Dalam teks politik kontemporer, misalnya tulisan George C. Edwards yang berjudul Neustadt’s Power Approach to the Presidency yang ditulis pada tahun 2000, disebutkan bahwa perluasan pengaruh Presiden dapat dilakukan dengan cara menempatkan relasi-relasinya (orang-orangnya) di tempat-tempat kekuatan lain.
Membandingkan teks Machiavelli dan Edwards yang terpaut hampir 500 tahun, agaknya menjadi afirmasi tersendiri pada simpulan Grabianowski, bahwa praktik nepotisme sulit dilepaskan dalam sistem pemerintahan.
Masalah Otonomi Daerah
Selain persoalan nepotisme yang tampaknya merupakan perilaku alamiah, Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 juga memberikan penjelasan penting dari sudut pandang tata pemerintahan.
Menurut Fukuyama, ada persoalan mendasar yang terjadi dalam sistem negara bagian atau otonomi daerah karena sulitnya menjaga koordinasi antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Dampak praktisnya jelas, tidak jarang terjadi benturan kebijakan seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS).
Di Indonesia, penekanan Fukuyama tersebut terlihat jelas dari tulisan Imelda Simanjuntak, dan kawan-kawan yang berjudul Evaluating Jakarta’s Flood Defence Governance: The Impact of Political and Institutional Reforms. Penelitian tersebut menemukan telah terjadi diskoneksi master plan pengontrol banjir dan saluran air di Jakarta sejak tahun 1999. Tepat setelah kejatuhan Soeharto.
Baca Juga: Banjir Jakarta, Antara Anies dan Soeharto
Pada era Soeharto, ketika pemerintahan dijalankan secara sentralistis, terjadi keselarasan antara pemerintah pusat dengan daerah dalam membangun infrastruktur pengontrol banjir di Jakarta, seperti East Flood Canal (EFC) atau Kanal Banjir Timur.
Namun, kejatuhan Soeharto yang kemudian melahirkan sistem otonomi daerah (desentralisasi), membuat pemerintah daerah memiliki kewenangan tersendiri dalam menentukan arah pembangunan. Imbasnya, ini membuat sulit terjadi keselarasan pembangunan infrastruktur antara pemerintah pusat dengan daerah.
Pada akhirnya, mengacu pada nepotisme yang merupakan alami, serta pentingnya koordinasi antara pusat dengan daerah, tampaknya terdapat rasionalisasi yang kuat apabila Presiden Jokowi memang benar mengincar Plt kepala daerah di balik dorongannya untuk menolak revisi UU Pilkada.
Akan tetapi, segala bentuk analisis ini hanya dapat valid apabila pernyataan Burhanuddin Muhtadi adalah benar adanya. Lalu, tulisan ini juga tidak memasukkan untuk membenarkan praktik nepotisme, melainkan hanya untuk menjelaskan bahwa itu adalah praktik alamiah.
Bagaimanapun, penunjukan berbasis kedekatan personal atau kepercayaan pada dasarnya tidak menjadi masalah asalkan pihak yang ditunjuk memang memiliki kualitas dan kapasitas yang mumpuni. (R53)