Kendati seolah tengah jadi perhatian karena “diseret” Afrika Selatan ke International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional, Israel agaknya tak akan sedikitpun tersudut. Justru, walau mendapat dukungan banyak negara dan dipuji, motif gugatan Afrika Selatan kini menjadi pertanyaan tersendiri karena sarat kepentingan tertentu, bahkan yang mengarah pada probabilitas kerja intelijen Mossad di baliknya.
Meski mendapat dukungan dan pujian dari banyak negara, termasuk Indonesia, pertanyaan kritis mengemuka mengenai latar belakang Afrika Selatan menggugat Israel atas alasan genosida terhadap bangsa Palestina ke International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional. Terlebih, mengenai probabilitas tertentu yang tak menutup kemungkinan memang diskenariokan dinas intelijen Israel, Mossad.
Sejak melakukan so called serangan balasan atas blitzkrieg ala Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel belum berhenti menggempur Gaza hingga hari ini. Justifikasi Israel di Gaza sendiri telah merenggut nyawa 23 ribu orang, termasuk lebih dari 10 ribu anak-anak.
Itu belum termasuk data dari otoritas Gaza yang turut mencatat 1,9 juta pengungsi internal, serta merusak atau menghancurkan hampir 70 persen rumah dan 50 persen bangunan di wilayah tersebut.
Pada hari Kamis, 11 Januari 2024 lalu, sidang perdana gugatan Afrika Selatan digelar ICJ. Sidang ini dimulai 13 hari pasca tuntutan resmi negara Tanjung Harapan.
Jika dilacak ke belakang, permohonan Afrika Selatan seolah menjadi representasi konkret pernyataan Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa yang pernah menyamakan pendudukan Israel di Gaza dan Tepi Barat serupa rezim apartheid. Masa kelam Afrika Selatan saat warga kulit hitam mendapat diskriminasi ekstrem.
Itu pula terjemahan umum mengenai “motif luhur” gugatan Afrika Selatan terhadap Israel, selain memang sebagai mekanisme paling memungkinkan secara mekanisme dan ordinasi internasional di hadapan ICJ.
Akan tetapi, kejanggalan dan pertanyaan muncul mengenai latar belakang gugatan Afrika Selatan. Pertanyaan seperti mengapa Afrika Selatan yang melakukan gugatan, hingga motif sebenarnya di balik “alasan luhur” mereka turut mengemuka.
Afrika Selatan Tambal Reputasi?
Pertama, di situasi genting Gaza saat ini, manuver Afrika Selatan di ICJ kiranya patut diapresiasi. Namun, interpretasi mendalam atas latar belakang, hasil, dampak gugatan, hingga efektivitasnya patut dibawa ke atas meja analisis.
Mengacu pada beberapa literatur dan praktiknya selama ini, implementasi hukum humaniter internasional untuk membuktikan tuduhan genosida tidaklah mudah.
Bahkan, jika Afrika Selatan benar-benar membuktikan bahwa Israel benar-benar melakukan genosida, keputusan ICJ cukup rumit untuk ditegakkan.
Selain perjalanan sidang yang bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan dalam hitungan tahun, vonis ICJ yang menyudutkan Israel pun bisa saja diabaikan negeri Ben Gurion kendati muncul penarikan dukungan dari negara lain, misalnya, atas manuver mereka di Gaza.
Sebagai informasi, International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Internasional dapat mengadili genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi – misalnya invasi Rusia ke Ukraina.
ICC pun, meski keputusannya lemah secara implementasi, mempunyai kemampuan untuk menahan tertuduh di Den Haag sampai mereka dapat menjalani hukumannya di salah satu negara yang telah setuju untuk melaksanakan hukuman tersebut.
Di sisi lain, ICJ tidak bisa melakukan semua itu. Mahkamah Internasional pada dasarnya merupakan wadah penengah perselisihan antarnegara mengenai sumber daya dan perbatasan, meski terdapat preseden untuk “mendengarkan” kasus genosida.
Kasus Bosnia dengan Yugoslavia pada tahun 1993, Myanmar dengan Gambia pada tahun 2019, serta Rusia dan Ukraina akibat invasi pada tahun 2022 menjadi cerminannya. Kembali, penyelesaian dan implementasi keputusan ICJ pun begitu rumit.
Karenanya, motif di balik gugatan Afrika Selatan yang menyeret Israel ke ICJ kemungkinan besar dilatarbelakangi sejumlah aspek.
Ihwal yang tak hanya terkait solidaritas perjuangan Palestina, tetapi juga melibatkan kombinasi pertimbangan politik dalam negeri, keselarasan dengan norma-norma internasional, serta kemungkinan kalkulasi pragmatis Afrika Selatan itu sendiri.
Jika dirangkum dengan kalimat sederhana, terdapat konstruksi variabel-variabel yang mungkin saling berkaitan atas motif dan kepentingan Afrika Selatan menggugat Israel ke ICJ.
Dari sisi perspektif internasional, Afrika Selatan memiliki reputasi yang negatif saat mengabaikan perintah penahanan yang dikeluarkan ICC sejak tahun 2010 terhadap diktator Sudan, Omar al-Bashir. Pada tahun 2015, al-Bashir hadir di Afrika Selatan dalam rangka pertemuan Uni Afrika dan dibiarkan melenggang begitu saja kendati mereka memiliki kewajiban karena ratifikasi aturan terkait genosida dan kejahatan perang.
Oleh karenanya, gugatan Afrika Selatan ke ICJ agaknya menjadi upaya penawar untuk mengembalikan citra mereka di panggung internasional.
Dari sisi domestik, Afrika Selatan akan menyelenggarakan Pemilihan Umum pada tahun ini. Partai penguasa petahana African National Congress (ANC) yang digawangi sang Kepala Negara, Cyril Ramaphosa tentu ingin mengamankan jatah dua periode yang sah menurut konstitusi, kendati telah telah menjabat sejak 2018 pasca pengunduran diri Jacob Zuma.
Di sisi berbeda, Afrika Selatan tercatat merupakan salah satu negara dengan tingkat pengangguran usia muda tertinggi di dunia. Tentu ini berdampak pada stabilitas ekonomi, sosial, dan politik negara tersebut.
Dua hal itu kiranya membuat Ramaphosa berada dalam posisi yang begitu membutuhkan dukungan politik “relevan” dan logistik yang mumpuni.
Dengan kata lain, Afrika Selatan tentu memahami bahwa kendati keputusan ICJ berpihak pada mereka dan implementasinya begitu rumit, terdapat kebutuhan pragmatis yang membuatnya begitu sibuk di ICJ saat ini.
Selain itu, tak hanya di dalam negeri, logistik juga dibutuhkan Afrika Selatan untuk “melakukan perjalanan” ke ICJ. Satu variabel ini bisa saja berkaitan dengan persidangan ICJ yang justru bisa membuka ruang bagi “fakta” dan algoritma alternatif yang menguntungkan Israel.
Di titik ini, apa yang terjadi di backstage atau belakang panggung persidangan ICJ tak menutup kemungkinan merupakan orkestrasi tingkat tinggi instrumen negara yang berkemampuan untuk itu yang tak lain adalah kerja intelijen, seperti Mossad.
Lalu, mungkinkah Mossad memang dalang dari gugatan Afrika Selatan terhadap Israel?
Dramaturgi Kreasi Mossad?
Jika memang memiliki kalkulasi positif yang menguntungkan Israel secara strategis, tangan tak terlihat Mossad bisa saja mengambil peran.
Konsep yang mungkin relevan dengan skenario ini adalah covert influence atau pengaruh terselubung. Strategi intelijen tersebut mengacu pada pengerahan badan intelijen untuk menentukan tindakan atau keputusan pemerintah asing tanpa mengungkapkan keterlibatan badan yang mempengaruhi tersebut. Bahkan, yang terlihat menyudutkan mereka sendiri namun memiliki surplus kepentingan di baliknya.
Walaupun operasi covert influence dilakukan dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi dan eksistensi interpretasi ini membuatnya kurang valid karena terbaca sejak awal, logika siklus probabilitas infinit tampak membuatnya tetap relevan.
Seperti yang jamak terungkap, aktivitas dan reputasi Mossad begitu melegenda, termasuk menjadi fondasi terhadap kejayaan Israel saat ini.
Selain itu, variabel pendukung atas interpretasi ini adalah simbiosis kedua negara yang eksis dalam berbagai bidang kerja sama. Yang mana menariknya, terus terpelihara kendati terdapat pasang-surut hubungan selayaknya satu negara dengan negara lain saat terjadi eskalasi isu tertentu.
Namun, penting untuk dicatat bahwa hubungan internasional antarnegara sangatlah kompleks. Terdapat banyak faktor yang berkontribusi terhadap upaya dan manuver diplomasi, sehingga sulit untuk secara pasti menghubungkan tindakan apa pun dengan probabilitas covert operation Mossad di balik gugatan Afrika Selatan ke ICJ.
Kini, tinggal waktu yang mungkin bisa sedikit menguak interpretasi di atas. Apakah persidangan ICJ akan menguntungkan Afrika Selatan dan Israel sekaligus? (J61)