Site icon PinterPolitik.com

Budiman Sudjatmiko, Tanda Megawati Melemah?

budiman sudjatmiko tanda megawati melemah

Bakal calon presiden (bacapres), Prabowo Subianto (kiri), dan politikus PDIP, Budiman Sudjatmiko, hadir di Deklarasi Relawan Prabowo-Budiman Bersatu (Prabu) pada 18 Agustus 2023 di Semarang, Jawa Tengah (Jateng). (Foto: Dok. Tim Prabowo)

Politikus PDIP, Budiman Sudjatmiko, memutuskan untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden (bacapres) 2024. Mungkinkah ini pertanda bahwa Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri telah melemah?


PinterPolitik.com

“Who put this sh*t together? I’m the glue” – Travis Scott, “SICKO MODE” (2018)

Kejadian ini terjadi di ruang tamu rumah pada pagi hari. Saat itu, penulis yang masih berusia belia secara tidak sengaja menyenggol sebuah vas pecah-belah yang sangat disukai oleh kedua orang tuanya.

Jelas, vas itu kemudian pecah menjadi tiga bagian karena terjatuh. Mungkin, pada umumnya, anak kecil tersebut akan dimarahi. Namun, ternyata tidak demikian.

Sang ayah pun kembali masuk ke ruang tengah untuk mengambil sesuatu dari sebuah laci. Di laci itu, memang terdapat banyak barang. Meski begitu, sang ayah hanya mengambil sebuah tabung (tube) kecil berwarna putih yang bertuliskan “Alteco 110”.

Memang, lem ini adalah lem super yang berbahan cyanoacrylate (sianoakrilat). Formula kimia ini merupakan zat adesif yang digunakan untuk menempelkan barang-barang keras – seperti plastik, kayu, hingga logam.

Mungkin, lem super yang memiliki daya rekat kuat seperti ini bisa dianalogikan dalam kehidupan sosial dan politik. Bagaimanapun, sebagai sebuah bangsa, ada “lem perekat” yang mempersatukan masyarakat Indonesia dalam jalinan negara-bangsa.

Nah, mungkin, dalam politik kepartaian, hal ini juga berlaku. PDIP, misalnya, memiliki satu sosok yang berperan sebagai “lem super” – layaknya lirik lagu Travis Scott di awal tulisan. Sosok itu adalah Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.

PDIP yang dulunya terdiri dari berbagai faksi – seperti yang sempat dijelaskan oleh Marcus Mietzner dalam tulisannya yang berjudul Ideology, Money and Dynastic Leadership: the Indonesian Democratic Party of Struggle, 1998-2012 – akhirnya mengalami perubahan dinamika kekuatan pada tahun 2000-an, yakni ketika faksi pro-Megawati mendominasi.

Bisa dibilang, kehadiran Megawati menjadi “lem super” yang membuat PDIP bisa bertahan – bahkan menjadi partai penguasa – hingga saat ini. Namun, menjelang kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sejumlah politikus PDIP dinilai sudah tidak sejalan dengan keputusan Megawati.

Budiman Sudjatmiko, misalnya, kini memberikan dukungan terhadap bakal calon presiden (bacapres) non-PDIP, yakni Prabowo Subianto yang merupakan Ketum Partai Gerindra. Bahkan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto sempat hanya memberikan pilihan antara dipecat atau memundurkan diri.

Tidak hanya Budiman, sejumlah kader PDIP lain juga sempat “tersandung” isu pembelotan. Effendi Simbolon, misalnya, sempat hadir di sebuah kegiatan yang berkaitan dengan Prabowo juga.

Selain Budiman dan Effendi, ada juga Gibran Rakabuming Raka yang merupakan Wali Kota Solo. Gibran yang juga putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai masih setengah hati untuk mendukung bacapres PDIP, Ganjar Pranowo.

Tentu saja, manuver-manuver politik dari kader-kader PDIP ini mengundang tanya. Mungkinkah pengaruh Megawati telah melemah di PDIP – padahal sang Ketum selalu memegang keputusan penting di partai itu? Mengapa pengaruh Megawati bisa melemah?

Megawati sebagai “Sianoakrilat”?

Bukan rahasia lagi bahwa Megawati memegang peran dominan di hampir semua keputusan strategis PDIP. Namun, bukan berarti semua kader PDIP setuju dengan apa yang diputuskan oleh sang Ketum – setidaknya tidak secara terbuka.

Dominasi Megawati di PDIP ini sebenarnya berangkat dari awal mula berdirinya PDIP itu sendiri pada tahun 1990-an. Pada tahun 1993, Megawati terpilih sebagai Ketum PDI pada Kongres yang digelar di Surabaya, Jawa Timur (Jatim).

Namun, gejolak politik terjadi di PDI. Hasil Kongres yang memenangkan Megawati tidak disetujui oleh pemerintahan Soeharto – menghasilkan dualisme di PDI.

Inilah mengapa akhirnya Megawati tampil makin kuat dengan momentum politiknya di akhir era Orde Baru. Dengan PDIP, putri dari Presiden Soekarno tersebut mendapatkan semacam karisma dari ideologi, sikap, dan darahnya sebagai keturunan Soekarno.

Meski begitu, tidak semua serta merta setuju sepenuhnya dengan Megawati. Sejumlah politisi PDIP muda pada tahun 2000-an akhirnya keluar dari partai itu. Inipun membuat Megawati semakin dominan di PDIP.

Sementara, beberapa politisi muda – yang mana percaya bahwa tidak harus trah Soekarno yang memimpin – tetap bertahan di PDIP dan berharap suatu hari nanti dapat memegang peran dan posisi penting di struktur kepengurusan.

Bukan tidak mungkin, para politisi yang tidak selalu sepakat dengan Megawati ini kembali mempertanyakan keputusan-keputusan yang Megawati buat. Pasalnya, bisa dibilang, kini perpecahan internal PDIP makin meluas – menjelang tahun politik 2024.

Mengacu ke tulisan Mietzner di atas, bisa dibilang politisi-politisi PDIP sebenarnya sadar bahwa Megawati sudah melewati masa keemasannya (prime). Apalagi, di tahun usianya yang ke-76 ini, Megawati kerap bercerita bahwa dirinya sebenarnya sudah ingin berhenti untuk menjadi Ketum.

Namun, bila benar, para politisi PDIP yang tidak selalu sejalan ini kini akhirnya bisa lebih bermanuver, muncul pertanyaan lanjutan. Mengapa akhirnya mereka memiliki kebebasan lebih saat ini? Mungkinkah terdapat faktor lain di balik faksionalisme PDIP kini? 

Megawati Sudah Jadi “Lem Biasa”?

Salah satu faktor yang menbuat Megawati bisa menjadi paling dominan di PDIP adalah bagaimana sang Ketum tersebut bisa memusatkan kekuatan pada dirinya. Namun, dengan adanya pusat-pusat baru, bukan tidak mungkin, pemusatan kekuatan tidak lagi berjalan sama lagi.

Seperti yang dijelaskan Mietzner dalam tulisannya di atas, tersingkirnya sejumlah politikus yang tidak pro-Megawati membuat Megawati menjadi semakin dominan di PDIP. Dominansi Megawati ini membuat dirinya memiliki otoritas lebih dalam mengumpulkan dan memilih siapa-siapa saja yang bisa duduk bersamanya di DPP PDIP.

Otoritas untuk memilih inilah yang sejalan dengan upaya pemusatan kekuatan ala budaya politik Jawa. Mengacu ke buku Benedict R. O’G. Anderson yang berjudul Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, budaya politik Jawa biasanya memiliki pola pemusatan kekuatan politik terhadap satu titik – yang mana merupakan raja atau kraton.

Orang-orang yang ada di sekitar Megawati, misalnya, bisa jadi adalah kunci bagaimana sang “ratu” memusatkan kekuatannya. Hasto sebagai Sekjen, misalnya, bisa saja menjadi “pusaka” yang dibutuhkan Megawati untuk menguatkan dirinya.

Selain itu, para politisi PDIP di luar DPP dan posisi tinggi PDIP bisa jadi adalah mancanegara – yang mana tugasnya adalah bermanuver mengikuti kemauan sang “ratu”. Para kader inilah yang akhirnya memobilisasi diri guna menjalankan keputusan-keputusan strategis Megawati.

Lantas, mengapa baru saat ini para kader ini bisa menolak pengaruh ala sang “ratu”?

Biasanya, pada era kerajaan di Indonesia, wilayah-wilayah mancanegara ini akan beralih ketika terdapat pengaruh besar dari kraton baru lainnya. Perebutan pengaruh akhirnya terjadi di antara kraton sebelumnya dan kraton baru.

Bukan tidak mungkin, hal yang mirip kini juga terjadi di PDIP – di mana bisa saja muncul “kraton” baru yang siap menyaingi “kraton” lama. Boleh jadi, pusat kekuatan baru itu adalah Jokowi – yang mana kini banyak diisukan berseberangan dalam pilihan strategis 2024 dengan Megawati.

Alhasil, dengan adanya “kraton” baru ini, bukan tidak mungkin Megawati akan kehilangan para “mancanegara-nya” dan semakin kehilangan kekuatannya untuk menjadi “lem super” bagi PDIP. Mungkinkah Megawati yang sebelumnya adalah “sianoakrilat” kini hanya bisa menjadi “lem biasa” di PDIP? (A43)


Exit mobile version