Semua orang tampak menyambut baik pertemuan antara rival sengit Pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo. Di balik pertemuan tersebut, sebenarnya ada sosok mediator yang boleh jadi punya pengaruh signifikan.
Pinterpolitik.com
Pertemuan yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi. Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, dua rival sengit pada Pilpres 2019 akhirnya bertatap muka pertama kalinya setelah pertarungan panjang. Perjumpaan keduanya begitu monumental dan diharapkan bisa menurunkan tensi politik yang mendidih selama berbulan-bulan.
Ada banyak kisah dari pertemuan tersebut, mulai dari MRT hingga hidangan sate yang disantap masing-masing tokoh. Selain itu, ada pula cerita tentang para mediator yang berperan agar pertemuan paling dinanti itu terwujud. Salah satu nama menarik dari para mediator itu adalah Kepala BIN Budi Gunawan (BG).
Memang, ada sosok lain seperti Seskab Pramono Anung atau Waketum Gerindra Edhy Prabowo yang disebut-sebut terlibat dalam upaya pertemuan tersebut. Meski demikian, nama BG tergolong menarik karena kiprahnya selama ini belakangan mulai menanjak.
Nama mantan Wakapolri tersebut misalnya tak hanya disebut memediasi pertemuan di MRT tersebut, tapi jauh sebelum itu. BG sebelumnya pernah diberitakan menemui Prabowo agar rekonsiliasi bisa terjadi.
Terlihat bahwa BG tampak mulai memiliki peran khusus dalam langkah yang diambil kubu Jokowi. Padahal, meski punya jabatan struktural penting, namanya cenderung lebih jarang disorot ketimbang sosok lain. Lalu, bagaimana sebenarnya langkah BG dalam menapaki jalan politik tersebut?
Menjadi Mediator
Sosok BG memang boleh jadi tak mendapatkan sorotan sebagaimana banyak pengisi kabinet Jokowi lainnya. Posisinya sebagai pimpinan lembaga intelijen boleh jadi membuatnya tak bisa melakukan kerja-kerja yang dihiasi banyak lampu sorot kamera.
Meski demikian, selama beberapa waktu terakhir, namanya kerap disebutkan dalam berbagai perbincangan tentang rekonsiliasi antara kubu Jokowi dan Prabowo. Ia misalnya sempat dikabarkan bertemu dengan Prabowo di Bali untuk membahas hal tersebut.
Peran BG sebagai seorang pelobi atau negosiator sebenarnya boleh jadi dapat ditelusuri jauh hingga sebelum wacana rekonsiliasi Pilpres 2019 ini mengemuka. Laporan majalah Tempo misalnya menyebutkan bahwa dirinya ikut terlibat dalam negosiasi cawapres Jokowi di tahun 2014.
Kala itu, BG dilaporkan Tempo menjadi pihak yang digunakan Jusuf Kalla (JK) untuk mendekati Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri agar bisa menjadi cawapres bagi Jokowi. Meski laporan ini kemudian dibantah BG, hal tersebut sebenarnya cukup menjadi gambaran bahwa BG kerap menjadi mediator dalam beragam urusan politik tanah air.
BG juga boleh jadi punya kemampuan membangun jejaring yang cukup mumpuni di kalangan politisi. Saat dirinya dinominasikan sebagai Kapolri pada tahun 2015, ia mampu mengamankan dukungan DPR, meski kala itu ia menyandang status tersangka korupsi. Hal tersebut kemudian ia ulangi kala mampu mendapatkan persetujuan dari DPR dengan mulus saat dicalonkan sebagai Kepala BIN.
Kemampuan negosiasi atau lobi ini sendiri kerap dianggap sebagai keahlian yang perlu dimiliki dalam kepemimpinan. Dalam tulisan untuk Harvard Business Review, kemampuan seperti ini dapat membuat seseorang menggunakan pengaruhnya tanpa memiliki otoritas.
Artikel tersebut mengutip Jay A. Conger, seorang profesor dari London Business School. Kemampuan membangun jejaring dan negosiasi menjadi bagian penting bagi kepemimpinan lateral yang diungkapkan oleh Conger.
Kepemimpinan lateral tersebut boleh jadi adalah hal yang mampu membuat BG menjembatani dua kompetitor sengit dalam Pilpres 2019. Hal tersebut bisa menjadi gambaran bahwa jenderal polisi bintang empat itu memang punya cukup pengaruh di lingkaran para elite politik.
Mengambil Peran?
Munculnya sosok BG sebagai pelobi atau mediator ini sebenarnya cukup unik. Meski dikenal mampu membangun jejaring baik dengan banyak pihak, peran sebagai pelobi atau mediator di kubu Jokowi sebelumnya jarang terlihat dimainkan olehnya.
Selama ini, figur yang paling awal dikirim Jokowi untuk melakukan perbincangan dengan Prabowo adalah sosok Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Secara spesifik, sosok Luhut kerap kali menjadi utusan Jokowi untuk membuka komunikasi dengan Prabowo.
Pada Oktober 2016 misalnya, Luhut menjadi figur yang ikut tampil ke permukaan tatkala Jokowi dan Prabowo menunggangi kuda di Hambalang, Bogor. Tak hanya ikut dalam pertemuan, dalam kiriman di media sosialnya ia berkisah bahwa dirinya ikut andil untuk melobi agar pertemuan di Hambalang itu dapat terjadi.
Selain itu, Luhut juga sempat menemui Prabowo di sebuah restoran Jepang jelang pencalonan Pilpres 2019 lalu. Meski tak pernah terungkap penuh pertemuannya membahas apa, sulit untuk melepaskan identitas Luhut sebagai menteri di pemerintahan Jokowi, sehingga wajar jika muncul spekulasi ia mewakili kepentingan Jokowi di pertemuan tersebut.
Upaya semacam itu sempat akan kembali diulang pasca Pilpres 2019 lalu. Sayangnya, Luhut yang kala itu diutus Jokowi untuk menemui Prabowo, dikabarkan ditolak karena mantan Danjen Kopassus itu ingin fokus pada pengawalan penghitungan suara.
Munculnya sosok BG dalam pertemuan Jokowi dan Prabowo bisa saja menggantikan peran Luhut sebagai pelobi dari kubu Jokowi. Pasalnya, nama BG sudah terungkap sebagai mediator rekonsiliasi sebelum Jokowi dan Prabowo benar-benar bersua. Hasilnya, upaya lobi dan mediasi Luhut yang sempat terpental kini dapat terwujud salah satunya boleh jadi melalui BG.
Menguatkan Pengaruh
Munculnya BG sebagai sosok yang terlibat dalam upaya rekonsiliasi ini sedikit banyak meningkatkan pengaruhnya dalam politik negeri ini. Kini, setelah lama hanya dikenal sebagai kepala badan intelijen, ia memainkan peran penting untuk pertemuan yang dinanti. Dalam kadar tertentu, hal tersebut dapat menjadi modal politik penting baginya jika ingin mengejar karier politik secara individu.
Selama beberapa waktu terakhir misalnya, nama BG tiba-tiba masuk hitungan banyak lembaga survei sebagai capres dan cawapres potensial. Secara khusus, LSI Denny JA beberapa waktu lalu sempat memasukkan mantan Kalemdiklat Polri ini sebagai sosok yang potensial maju pada Pilpres 2024 nanti.
Terlepas dari hal tersebut, keberadaan BG dengan kekuatan yang terus membesar bisa saja membuat pertanyaan soal kekuatan Jokowi kembali mengemuka. Sebelum ini, banyak pertanyaan soal Luhut Pandjaitan yang dianggap terlalu berkuasa di pemerintahan Jokowi, sehingga kerap dianggap sebagai prime minister atau menteri utama pun dengan istilah perdana menteri.
Jokowi sendiri kerap dianggap tersandera oleh elite politik di sekelilingnya karena tak punya latar belakang mentereng baik dari ekonomi maupun militer. Luhut selama ini kerap dianggap sebagai elite politik berpengaruh di lingkaran politik Jokowi.
Munculnya Budi Gunawan sebagai mediator Jokowi-Prabowo, membuatnya terlihat memainkan peran milik Luhut Pandjaitan Share on XTentu, belum ada kepastian bahwa BG akan kembali bercokol di kabinet Jokowi kembali atau tidak. Tetapi dengan pengaruh yang semakin besar, bukan tidak mungkin ia menjadi sosok elite politik yang memberi pengaruh dalam kebijakan pemerintahan Jokowi. Apalagi, ia sendiri kerap dianggap memiliki relasi cukup erat dengan partai utama pendukung Jokowi, PDIP.
Dengan pengaruh BG yang terus meningkat, bukan tidak mungkin ia tidak hanya mengambil peran Luhut sebagai pelobi, tetapi juga dari sisi yang lain. Jika ia kembali masuk struktur pemerintahan, bisa saja ia akan mengambil peran serupa Luhut seiring dengan kekuatannya yang terus bertambah. BG bisa saja akan memiliki cukup porsi untuk mempengaruhi kebijakan yang akan diambil pemerintahan Jokowi.
Dugaan hubungannya dengan PDIP boleh jadi akan membuatnya sebagai sosok berpengaruh yang akan semakin tak terbendung. Bagaimanapun, PDIP masih menjadi penyokong utama Jokowi, sehingga ia bisa saja punya kekuatan khusus yang membuatnya semakin berpengaruh.
Yang menjadi tantangan adalah, apabila BG benar-benar ingin mewujudkan ramalan lembaga-lembaga survei mengenai keikutsertaannya di Pilpres 2024, maka Jokowi berpotensi tersandera kembali. Bukan tidak mungkin, langkah yang diambil pemerintah nanti akan dibuat tak bersinggungan dengan ramalan lembaga-lembaga survei tersebut.
Tentu, hal ini masih menjadi semacam misteri. Terlepas dari hal itu, saga rekonsiliasi beberapa waktu terakhir, telah menggambarkan bahwa BG pengaruhnya mulai diperhitungkan dan membuat Luhut tak lagi muncul. Kita tunggu saja, langkah apa yang akan diambil BG dengan pengaruhnya yang semakin bertambah ini. (H33)