Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) menyebut Covid-19 di masa depan akan menjadi flu musiman. Di tengah kenaikan kasus Covid-19 akibat varian Delta, mengapa BG mengeluarkan pernyataan tersebut?
“Nothing is so permanent as a temporary government program.” – Milton Friedman, ekonom Amerika Serikat
Sejak awal, Badan Intelijen Negara (BIN) terlihat begitu tanggap dalam penanganan pandemi Covid-19. Terbaru, Kepala BIN Budi Gunawan (BG) bahkan memaparkan analisisnya terkait pandemi.
“Kita harus tahu dari prediksi medical intelligence, pemetaan lapangan secara medis oleh ahli yang kita dan WHO gunakan, pandemi ini masih panjang dan ujungnya nanti akan jadi penyakit musiman,” begitu ujar BG pada 18 Juli.
Terkhusus poin Covid-19 akan menjadi flu musiman, berbagai pihak menaruh curiga, mungkinkah terdapat motif tertentu di baliknya. Apalagi, BG dinilai tidak memiliki kompetensi perihal epidemiologi.
Terlepas dari sentimen-sentimen semacam itu, pernyataan BG pada dasarnya sesuai dengan pandangan berbagai epidemiolog.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad, misalnya, menyebut Covid-19 akan menjadi flu musiman di masa depan. Ini sama seperti Flu Spanyol yang sebenarnya masih bersikulasi sampai saat ini.
Baca Juga: Pandemi, Kegagalan Budi Gunawan?
Pada 13 Juli 2020, epidemiolog Oxford University Sunetra Gupta juga telah menyebutkan Covid-19 akan menjadi flu biasa ke depannya. Kasusnya akan sama seperti kita menanggapi influenza saat ini. Gupta juga menambahkan Covid-19 tidak berbahaya bagi mereka yang tidak memiliki komorbiditas.
Lantas, apakah pernyataan Budi Gunawan hanya perlu diafirmasi, atau perlu ada interpretasi lebih atasnya?
Population Bottleneck
Sebelum membahas hal tersebut, seperti yang dilakukan epidemiolog UGM Riris Andono Ahmad, sekiranya menarik untuk membandingkan pandemi Covid-19 dengan pandemi Flu Spanyol yang terjadi pada 1918.
Dalam berbagai diskursus mengenai pandemi, Flu Spanyol memang sulit tidak dilibatkan karena besarnya korban jiwa yang diakibatkan olehnya. Namun, terkait jumlahnya memang tidak diketahui pasti. Ada yang menyebut 50 juta jiwa. Ada pula yang menyebut menyentuh 100 juta jiwa. Yang jelas ada puluhan juta jiwa yang menjadi korban.
Namun yang perlu dicatat, besarnya jumlah korban akibat pandemi Flu Spanyol tidak hanya diakibatkan oleh virus itu sendiri, melainkan juga karena ilmu kesehatan yang belum semaju sekarang, dan yang terpenting, saat itu tengah terjadi Perang Dunia I. Penyebaran prajurit secara besar-besaran jelas telah mendorong percepatan penyebaran virus. Ada pula persoalan minimnya respons dan transparansi pemerintah.
Menariknya, dengan berbagai kekurangan yang ada, pandemi Flu Spanyol diketahui berakhir pada April 1920. Kendati terdapat perdebatan karena kurangnya informasi terkait penyebaran virus di berbagai negara, berbagai akademisi sepakat untuk menyebutkan pandemi berakhir karena terbentuk kekebalan kolektif atau herd immunity.
Persoalan herd immunity ini dapat lebih jauh kita jelaskan melalui teori evolusi yang disebut dengan population bottleneck. Ini adalah peristiwa yang secara drastis mengurangi ukuran populasi.
Population bottleneck dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa, seperti bencana alam, perburuan spesies hingga titik kepunahan, perusakan habitat yang mengakibatkan kematian organisme, hingga wabah penyakit.
Setelah population bottleneck terjadi, populasi yang tersisa menghadapi tingkat penyimpangan genetik yang lebih tinggi sehingga menghilangkan variasi genetik. Karena hilangnya variasi genetik ini lah, populasi baru dapat menjadi berbeda secara genetik dari populasi sebelumnya. Ini kemudian mengarah pada hipotesis bahwa population bottleneck dapat menyebabkan evolusi spesies baru.
John Hawks dan rekan-rekannya dalam penelitian mereka yang berjudul Population Bottlenecks and Pleistocene Human Evolution telah menemukan bukti bahwa population bottleneck telah berkonsekuensi pada evolusi manusia.
Baca Juga: Apa Sebenarnya Masalah Jokowi?
Population bottleneck merupakan bagian dari seleksi alam (natural selection) dalam teori evolusi. Penjelasan population bottleneck ini dapat kita gunakan untuk menjelaskan mengapa herd immunity dapat mengakhiri pandemi Flu Spanyol. Ini karena populasi yang tersisa atau tepatnya tersaring dari pandemi, telah mengalami perubahan genetika yang membuatnya kebal terhadap virus Flu Spanyol – atau setidaknya tidak menjadi mematikan.
Elinor K. Karlsson dan rekan-rekannya dalam penelitian mereka yang berjudul Natural Selection and Infectious Disease in Human Populations juga memberikan kesimpulan yang senada. Menurut mereka, sejarah evolusi kuno adalah salah satu referensi yang paling kuat untuk memahami perkembangan biologis yang menunjukkan peningkatan kesehatan manusia.
Dorong Evolusi Pemerintah?
Seperti yang ditegaskan sebelumnya, kita tentu tidak boleh berhenti di afirmasi atas pernyataan Budi Gunawan. Terlepas dari persoalan herd immunity ataupun population bottleneck, yang lebih penting adalah, jangan sampai evolusi hanya terjadi di level individu, melainkan juga harus di level pemerintah.
Evolusi semacam itu dapat kita lihat pada kasus Singapura. Ray Junhao Lin, Tau Hong Lee, dan David CB Lye dalam tulisannya From SARS to COVID‐19: the Singapore journey menjelaskan, bertolak dari pengalaman menangani pandemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada 2003, Singapura kemudian memperbaiki dan meningkatkan sistem perawatan kesehatannya untuk bersiap menghadapi pandemi selanjutnya di masa depan.
Hebatnya, langkah preventif tersebut dilakukan meskipun SARS hanya menginfeksi 238 penduduk dan mengakibatkan 33 kematian.
Nah, poin ini adalah bagian paling menarik. Berbeda dengan evolusi individu yang membutuhkan waktu yang lama, seperti yang terjadi di Singapura, evolusi pemerintah dapat berlangsung begitu cepat.
Selain itu, apabila kita membandingkan pandemi Flu Spanyol dengan pandemi Covid-19, setidaknya terdapat tiga faktor yang membuat situasi saat ini jauh lebih baik.
Pertama, saat ini tidak terjadi Perang Dunia. Tidak terjadi penyebaran prajurit, konflik hebat, dan keterbatasan informasi. Transparansi pemerintah dunia juga telah terjadi.
Kedua, ilmu kesehatan dan teknologi telah jauh berkembang. Ini juga disebutkan Yuval Noah Harari dalam tulisannya The Biggest Danger is not the Virus Itself. Tegas Harari, umat manusia memiliki semua pengetahuan ilmiah dan teknologi untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Ketiga, tidak seperti pandemi Flu Spanyol, respons dunia terhadap pandemi Covid-19 jauh lebih tanggap. Kerja sama internasional, khususnya bantuan alat-alat kesehatan, seperti tabung oksigen, alat tes, dan vaksin juga masif dilakukan.
Baca Juga: Siapa yang Didengar Luhut?
Mengacu pada tiga faktor tersebut, evolusi pemerintah diharapkan terjadi secara cepat dan seefektif mungkin dalam menanggapi pandemi Covid-19.
Dalam ilmu hukum, evolusi pemerintah tersebut disebut sebagai hukum responsif. Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku Hukum Responsif, dengan mengutip Jerome Frank, menyebutkan bahwa dalam pandangan kaum realisme hukum, tujuan utama hukum adalah untuk membuatnya lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.
Pada konteks saat ini, kebutuhan sosial adalah penanganan pandemi Covid-19 yang lebih baik. Oleh karenanya, sudah seharusnya hukum – tepatnya para pembuat hukum – memiliki respons yang tanggap untuk mewujudkan kebutuhan tersebut.
Caranya? Tentu seperti yang dilakukan Singapura sebelumnya. Pemerintah harus memiliki kesadaran untuk memperbaiki sistem dan fasilitas kesehatan untuk menanggulangi pandemi Covid-19 ataupun untuk mengantisipasi pandemi baru di masa depan.
Penekanan ini adalah apa yang disebut Roscoe Pound sebagai law as a tool of sosial engineering. Hukum adalah alat pembaharuan dalam masyarakat yang diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial.
Kita lihat saja, apakah pandemi Covid-19 akan mendorong pemerintah Indonesia untuk berevolusi, atau justru tenggelam pada prediksi Covid-19 akan menjadi flu musiman. (R53)