Site icon PinterPolitik.com

Budi Gunawan, Calon Menko Polhukam?

Budi Gunawan Calon Menko Polhukam

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan dan Presiden Joko Widodo. (Foto: Istimewa)

Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) disebut-sebut sebagai salah satu nama yang diusung oleh PDIP untuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) dalam kabinet Joko Widodo periode kedua.


PinterPolitik.com

“You ain’t Superman when that cape is off. Just Clark, n***a, sittin’ in his high-rise” – Da$H, penyanyi rap asal AS

Penggemar film-film DC Extended Universe mungkin tidak asing dengan dua tokoh pahlawan super Superman dan Shazam (atau Captain Marvel). Kedua tokoh ini telah disalurkan ke dalam beberapa film.

Superman yang menjadi tokoh favorit penggemar, mendorong DC untuk mengutamakan produksi film Man of Steel terlebih dahulu. Meskipun begitu, hasil film tersebut mendapatkan banyak kritikan dari penggemar-penggemarnya.

Selang beberapa tahun, film Shazam! turut diproduksi. Meskipun sebelumnya bukan menjadi pilihan utama bagi DC, film tersebut malah mendapatkan pujian dan lebih banyak disukai oleh penggemar.

Mungkin, situasi serupa juga terjadi dalam dinamika politik Indonesia. Di tengah-tengah situasi politik “kumpul kebo” (kumbo) antara Jokowi dan Prabowo, ada “persaingan” serupa yang terjadi antara Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dengan Kepala BIN Budi Gunawan atau yang lebih dikenal dengan nama pendek BG.

Bagaikan Superman, Luhut dianggap sebagai menteri super (super minister) yang serba bisa dan memiliki pengaruh yang luas dalam pemerintahan. Banyak urusan kementerian lainnya turut menjadi perhatiannya. Mungkin, dengan kekuatan super tersebut, Presiden Jokowi akhirnya mempercayakan sebuah tugas bagi Luhut agar dapat menjembatani dirinya dengan Prabowo Subianto.

Namun, upaya tersebut tidak berujung pada pertemuan yang diharapkan. Seperti film Man of Steel, berbagai pihak menilai Luhut telah gagal memenuhi ekspektasi yang digadang-gadang sebelumnya.

Di tengah-tengah kegagalan tersebut, muncul sosok BG yang dinilai lebih berhasil dalam mewujudkan keinginan bertemu Jokowi-Prabowo tersebut. BG malah turut berhasil mempertemukan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo.

Semakin bersinarnya karier politik BG berujung pada kemungkinan dirinya untuk menjadi Menko Polhukam – jabatan yang belakangan santer dikaitkan dengan dirinya. Pertanyaannya, mengapa BG memiliki pengaruh sekuat kini? Lalu, bagaimana dampaknya terhadap dinamika politik kabinet Jokowi 2.0.?

Jaringan Intelijen

Posisi BG yang semakin bersinar dalam panggung politik nasional bisa jadi disebabkan oleh posisinya sebagai kepala BIN. Sebagai kepala badan intelijen, BG bisa jadi memiliki kekuatan politik tertentu.

Sebagai sebuah lembaga negara setingkat kementerian, BIN – berdasarkan Perpres No. 90 Tahun 2012 – memiliki tugas dan fungsi tertentu, seperti melakukan koordinasi operasi intelijen negara dan pengkajian atas masalah strategis. Salah satu tugas yang harus dijalankannya adalah untuk memberikan informasi dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penentuan kebijakan.

Dengan tugas dan fungsi tersebut,  BIN diberikan akses kewenangan yang luas dalam menjaring informasi. Lembaga intelijen tersebut berwenang untuk meminta informasi dari berbagai kementerian dan lembaga lain. Selain itu, badan tersebut juga berhak melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi lainnya.

Dengan tugas dan wewenang serupa, intelijen dinilai rentan untuk menjadi salah lembaga yang dipolitisasi. Sebuah tesis milik Kevin C. McDermott yang berjudul Do Political Appointments Create Politicized Intelligence? menjelaskan bahwa lembaga intelijen rentan dipolitisasi melalui pengangkatan pimpinan yang cenderung politis.

Di Amerika Serikat (AS) misalnya, komunitas intelijen digunakan untuk mendukung kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah. Laporan intelijen biasanya akan mengandung bias. Hal ini terjadi ketika Presiden AS George Bush mendorong invasi ke Irak – didasarkan pada laporan akan adanya senjata nuklir di negara tersebut.

Namun, di luar kemungkinan politisasi, Marco Cepik dan Gustavo Möller dari Universidade Federal do Rio Grande do Sul, Brazil, dalam tulisan mereka yang berjudul National Intelligence Systems as Networks menjelaskan bahwa aktor intelijen juga memiliki kemampuan untuk memainkan peran dalam suatu jaringan melalui informasi dan hubungan yang dimiliki. Setidaknya, kemampuan aktor intelijen tersebut dapat dilihat dari kaca mata sosiologis asal Spanyol, Manuel Castells.

Ilmuwan yang memunculkan konsep masyarakat jaringan tersebut menjelaskan bahwa jaringan yang dimiliki oleh suatu aktor dapat menciptakan komunikasi yang efektif dan persuasif guna menciptakan proyek yang diinginkan. Dalam hal ini, jaringan dapat menjadi sumber kekuatan untuk mewujudkan sebuah kepentingan.

Kekuatan politik yang dimaksud oleh Castells ini tersalurkan melalui kemampuan untuk mengkontrol dan mengkoneksikan titik-titik yang ada dalam suatu jaringan strategis. Beberapa contoh jaringan strategis menurut Castells adalah jaringan elite politik, jaringan militer dan keamanan, jaringan media, serta jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lalu, bagaimana dengan posisi BG sebagai kepala BIN?

Aktor intelijen memiliki kemampuan untuk memainkan peran dalam suatu jaringan melalui informasi dan hubungan yang dimiliki. Share on X

Jika teori jaringan tersebut ditarik pada kasus BG, mungkin kepala BIN tersebut memiliki kekuatan tertentu. Sebagai bagian dari komunitas intelijen Indonesia, BG bisa jadi memiliki hubungan dan informasi yang dapat berguna bagi manuver politiknya.

Hubungan dan informasi yang dimilikinya tersebut mungkin telah membantu BG dalam mewujudkan politik “kumpul kebo” antara Jokowi, Prabowo, dan Megawati. Sandiaga Uno sendiri menjelaskan bahwa BG merupakan sosok yang berhasil menggolkan pertemuan-pertemuan tersebut.

Selain itu, pengalaman BG sebagai bagian dari komunitas intelijen bisa jadi merupakan salah satu modal baginya untuk menjadi calon Menko Polhukam dalam kabinet Jokowi 2.0. Seperti yang terjadi di Rusia, sosok-sosok mantan Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) juga diangkat oleh Presiden Vladimir Putin dalam pemerintahannya guna memberinya nasihat mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah. Putin sendiri juga mantan anggota KGB.

Lalu, bila BG berhasil menggunakan posisinya sebagai kepala intelijen, apakah dampak ke depannya apabila jenderal polisi tersebut benar-benar menjadi Menko Polhukam?

Menteri Super Baru?

Sosok BG yang semakin menarik perhatian publik dan media ini disebut-sebut dapat menjadi gerhana bagi pengaruh Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dalam kabinet Jokowi. Pasalnya, BG dinilai lebih berhasil dibandingkan Luhut yang sebelumnya juga ditugaskan untuk mempertemukan sang presiden dengan Prabowo.

Menariknya, posisi Menko Polhukam yang disebut-sebut akan diisi oleh BG dalam kabinet 2.0 memang memiliki pengaruh luas dengan kewenangannya dalam bidang politik, hukum, dan keamanan, serta banyaknya lembaga dan kementerian strategis yang dikoordinasikannya, seperti Kemhan, Polri, TNI, BIN, Kemendagri, Kemlu, Kejaksaan Agung, Kementerian PAN-RB, Kemenkumham, dan instansi-instansi terkait lainnya.

Dengan pengaruh seluas itu, BG bisa saja akan menyandang status menteri super (super minister) baru bagi Jokowi. Selain itu, pengetahuan dan pengalamannya sebagai bagian dari komunitas intelijen boleh jadi dapat membantu Jokowi dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya – seperti yang terjadi di Rusia.

Adanya kemungkinan akan kehadiran BG tersebut tentunya dapat memengaruhi dinamika politik dalam kabinet Jokowi 2.0 nantinya. Pasalnya, kehadiran Luhut dalam kabinet Jokowi saat ini merupakan salah satu komponen penting bagi permainan politik sang presiden.

Sejak terpilih dalam Pilpres 2014, Jokowi berusaha melepaskan pengaruh partai-partai politik terhadap dirinya, termasuk dari pengaruh PDIP dan Megawati. Mantan Wali Kota Solo tersebut dinilai bergantung terhadap kekuatan Luhut guna menghalau pengaruh tersebut.

Kehadiran Luhut tersebut tentu membuat PDIP tak puas dan mendorong Jokowi untuk mencopot politisi Golkar tersebut. Sang presiden memutuskan untuk menggeser Luhut dari posisi Menko Polhukam ke Menko Kemaritiman – digantikan oleh Wiranto.

Oleh sebab itu, kehadiran BG boleh jadi merupakan tanda bagi membesarnya pengaruh politik Megawati terhadap Jokowi. Gambaran tersebut juga tampak pada bagaimana sang presiden menyambut permintaan jatah menteri oleh Ketum PDIP tersebut dalam Kongres partai tersebut beberapa waktu lalu.

Akibatnya, pengaruh Luhut pun bisa jadi melemah dalam kabinet Jokowi 2.0. Meski begitu, kemampuan dan koneksinya di dunia bisnis dan politik internasional yang dimiliki oleh Luhut bisa saja membuat dirinya tetap dipertahankan oleh Jokowi.

Apabila keduanya tetap mengisi posisi kabinet, bukan tidak mungkin persaingan tetap akan terjadi. Diangkatnya mantan-mantan KGB di Rusia misalnya, berujung pada kompetisi di antara menteri-menteri tersebut guna mendorong pengaruhnya pada Putin.

Tentunya, kemungkinan tersebut memang belum pasti terjadi. Wacana BG menjadi Menko Polhukam pun baru sebatas desas-desus yang tersebar, katakanlah misalnya yang ditulis oleh Tempo melalui sumber-sumber tertutup.

Namun, bila benar begitu, lirik rapper Da$H di awal tulisan mungkin dapat menggambarkan situasi tersebut. Mungkin, Luhut nantinya hanya menjadi seorang Clark Kent bagi Jokowi. Menarik untuk dinanti kelanjutannya. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Mari lawan polusi udara Jakarta melalui tulisanmu. Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version