Pertemuan Megawati dan Prabowo beberapa hari lalu menampilkan sisi lain terkait pucuk kekuatan politik PDIP. Puan Maharani dan Prananda Prabowo memang menjadi dua sosok sentral di balik isu regenerasi partai banteng tersebut yang hadir kala itu, seiring keinginan Mega yang menyebut akan pensiun. Namun, sosok yang mencuri perhatian adalah Kepala BIN Budi Gunawan (BG) yang juga hadir pada saat itu. Tak sedikit pertanyaan yang muncul di sekitar isu regenerasi PDIP yang kemudian melibatkan ketiga sosok tersebut.
PinterPolitik.com
“I love power. But it is as an artist that I love it. I love it as a musician loves his violin, to draw out its sounds and chords and harmonies”.
:: Napoleon Bonaparte (1769-1821) ::
Pada tahun 1942, Albert Camus (1913-1960) menerbitkan salah satu karya besarnya berjudul L’Étranger dan membuat populer istilah the outsider – orang asing atau orang luar – sebagai terjemahan bahasa Inggris dari judul tersebut.
Novel yang banyak menggambarkan pandangan filosofis filsuf Prancis tersebut tentang aliran eksistensialisme – bagian dari studi filsafat yang berfokus pada subyek manusia – memang menjadi salah satu tulisan yang menarik bagi orang-orang yang ingin memahami salah satu studi filsafat kontemporer ini.
Namun, bukan eksistensialismenya, melainkan istilah outsider yang dipakai Camus itulah yang kini justru menarik untuk diperbincangkan dalam konteks politik Indonesia saat ini.
Setidaknya hal inilah yang disematkan pada sosok Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) kala hadir dalam pertemuan bertajuk rekonsiliasi nasional antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Pertemuan Megawati dengan Prabowo beberapa waktu lalu itu memang meninggalkan banyak cerita. Selain karena sentralnya momen tersebut terhadap konteks koalisi pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi), hal lain yang menjadi perhatian publik adalah sosok-sosok yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Jika melihat tayangan yang disiarkan di televisi, Megawati memang didampingi beberapa tokoh dalam pertemuan tersebut. Ada Puan Maharani dan Prananda Prabowo yang merupakan dua anaknya.
Lalu ada Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang merupakan kader PDIP, sementara Prabowo didampingi oleh dua elite Gerindra, yaitu Ahmad Muzani dan Edhy Prabowo. Tentu saja sosok lain yang hadir adalah BG.
Keberadaan Puan dan Prananda memang ditengarai menjadi showcase konteks regenerasi politik yang tengah diupayakan oleh Megawati Soekarnoputri di pucuk PDIP. Keduanya memang digadang-gadang menjadi calon pengganti Mega di pucuk kekuasaan tertinggi karena hubungan kekeluargaan dan warisan darah Soekarno.
Baik Puan maupun Prananda telah memiliki posisi yang penting di PDIP. Bahkan, keduanya dianggap sebagai sosok terkuat untuk memperebutkan posisi ini.
Sementara, kehadiran Pramono memang bisa dimaklumi berbekal statusnya sebagai kader PDIP. Namun, nama BG-lah yang sempat menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Pasalnya, kapasitas politiknya sebagai Kepala BIN menjadi tidak relevan dengan isu yang tengah menjadi perbincangan saat itu.
Hal inilah yang kemudian melahirkan spekulasi terkait konteks hubungan mantan wakapolri itu dengan internal PDIP. Bahkan, sebagain pihak juga mengait-ngaitkannya dengan konteks regenerasi di partai banteng tersebut.
Dengan sosok Puan dan Prananda yang berpotensi menjadi pucuk pemegang kekuasaan menggantikan Mega, memang kehadiran BG tak bisa terhindarkan dari spekulasi tersebut. Apalagi banyak pihak yang mengakui besarnya peran BG dalam terwujudnya pertemuan itu.
Pertanyaannya adalah apakah BG akan menjadi seperti apa yang disebut oleh Camus – the outsider – yang pada akhirnya bisa menjadi penguasa di PDIP?
Budi Gunawan, The Outsider?
Ketika Kapolri Tito Karnavian menyebut dirinya “merasa kehilangan” saat BG pensiun dari kepolisian, kata-kata tersebut memang bukanlah isapan jempol. BG adalah salah satu sosok sentral dalam reformasi kepolisian, terutama pasca melepaskan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Tito bahkan secara blak-blakan menyebut bahwa BG adalah “orang dalam” di lingkaran pusat kekuasaan saat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia diterbitkan.
Yang dimaksud Tito tentu saja adalah kala BG menjabat sebagai ajudan Megawati Soekarnoputri sejak Ketum PDIP itu menjabat sebagai wakil presiden, dan kemudian presiden setelah Abdurrahman Wahid lengser.
Tak heran, jaringan dan political capital alias modal politik BG menjadi sangat kuat – hal yang lagi-lagi diakui sendiri oleh Tito. Dari sini pulalah hubungannya dengan Mega dan PDIP mendapatkan pertaliannya.
Dalam konteks PDIP, BG memang tak seperti Puan dan Prananda yang merupakan sosok internal partai. Namun, belakangan BG muncul sebagai salah satu sentral pemberitaan dalam konteks hubungan politik Mega dan PDIP dengan faksi-faksi lain.
Pertemuan Prabowo dan Megawati disebut-sebut terjadi karena andil BG. Tak heran jika Puan Maharani sampai melemparkan pujian terbuka terhadap pria yang tak lagi berkumis itu.
Menurut Puan, BG telah menjadi sosok pemersatu yang melakukan “kerja senyap”. Pernyataan tersebut tentu menarik karena menjadi pengakuan terhadap sentralnya posisi BG. Akibatnya, tak sedikit pihak yang menilai konteks kemunculan BG berpotensi menjadi faksi politik baru di PDIP sendiri seiring dengan narasi “pensiun” yang terus disuarakan oleh Megawati.
Jauh sebelumnya pun pertemuan antara Jokowi dan Prabowo yang terjadi di MRT juga merupakan kerja BG. Artinya, sebagai sosok penghubung, BG bahkan telah melampaui peran Puan Maharani. Pasalnya, sebelum Pilpres 2019, Puan disebut pernah gagal melobi Prabowo.
Tak heran sosok seperti Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan – yang sebelumnya juga merupakan sosok penghubung Jokowi dengan Prabowo – bahkan mengacungkan jempol untuk kemampuan BG tersebut.
Konteks ini memang membuat entitas PDIP pada titik tertentu akan melekat dengan kemampuan penghubung dan lobbying ini. Publik tentu ingat bagaimana Setya Novanto bisa menjadi tokoh pucuk di Partai Golkar berbekal kemampuannya menjadi penghubung di internal elite partai beringin itu, pun dengan elite-elite di luar partai.
Nama BG sendiri memang bukan sosok baru dalam perbincangan politik tanah air. Bahkan, sebelum Pilpres 2019, ia sempat digadang-gadang akan menjadi salah satu cawapres yang bisa mendampingi Jokowi.
Bahkan, nama BG justru muncul di sekitaran kandidat yang diusulkan oleh PDIP sendiri.
Konteks tersebut semakin menarik mengingat untuk partai kader sebesar PDIP yang berkutat pada ideologi dan garis darah Soekarno, kemunculan sosok yang berasal dari luar partai adalah hal yang tidak biasa. Bahkan sosok seperti Jokowi pun harus menjadi kader dahulu baru mendapatkan dukungan politik sebagai calon presiden.
BG dan PDIP juga punya hubungan yang cukup dekat. Pada Maret 2018 lalu misalnya, kritikan muncul dari berbagai pihak terkait kehadiran Kepala BIN itu dalam Rakernas PDIP di Bali.
Konteks tersebut makin kompleks jika melihat kritik yang datang dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai lawan politik Mega, yang pernah menyinggung institusi yang dipimpin BG – BIN – sebagai pihak yang tak netral dalam Pilkada 2018 lalu.
Dengan demikian, BG memang tidak bisa disebut sebagai outsider murni dalam konteks PDIP. Ia juga punya modal politik yang tidak kecil, bahkan jika ingin mengambil pucuk kekuasaan di partai banteng tersebut. Persoalannya tinggal apakah hal tersebut bisa terjadi untuk orang yang bukan berasal dari trah Soekarno.
Menebak Regenerasi PDIP
Isu regenerasi PDIP memang jadi topik musiman. Megawati beberapa kali pernah menyatakan keinginannya untuk pensiun dari panggung politik, terutama karena kini menjadi ketua umum tertua yang masih memimpin partai terbesar di Indonesia.
Dengan demikian, menampilkan Puan dan Prananda – serta BG – dalam sebuah pertemuan besar dengan Prabowo memang menjadi salah satu cara menguji konteks regenerasi tersebut. Untuk sebuah partai sebesar PDIP, regenerasi memang menjadi hal yang cukup sulit, mengingat lekatnya sosok Megawati dengan kebesaran partai banteng tersebut selama hampir 3 dekade.
Ari Nurcahyo dari PARA Syndicate pernah menyebutkan bahwa di tubuh PDIP setidaknya ada 3 kubu yang mempengaruhi kebijakan partai, termasuk dalam konteks regenerasi.
Kubu-kubu itu adalah Puan Maharani yang kemungkinan besar didukung oleh faksi almarhum Taufiq Kiemas, lalu ada kubu Prananda Prabowo yang didukung faksi loyalis Megawati, serta kubu Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang berisi sosok-sosok seperti Maruarar Sirait dan kawan-kawan.
Kubu terakhir diprediksi akan cenderung mengarah pada pergantian kekuasaan yang berasal dari sosok yang bukan keturunan Soekarno – setidaknya jika melihat hubungan tokoh seperti Maruarar dengan elite PDIP lain, termasuk dengan Megawati, yang cenderung renggang.
Tiga kubu ini memang besar kemungkinan akan menentukan ujung dari regenerasi politik PDIP, bahkan juga termasuk nasib partai tersebut di Pemilu-Pemilu yang akan datang. Bagaimanapun juga regenerasi politik akan selalu menjadi masalah bagi kekuatan politik yang telah mapan seperti PDIP.
Dalam konteks BG, dengan political capital yang besar, berbekal statusnya sebagai salah satu jenderal paling berjasa untuk reformasi kepolisian pasca berpisah dari ABRI, bukan tidak mungkin dukungan dari faksi politik tertentu di internal PDIP bisa menjadi jalan baginya untuk berkuasa.
Kalaupun tidak menjadi ketua umum, besar kemungkinan BG juga akan mengincar kursi yang lebih tinggi, misalnya menjadi capres dari PDIP pada Pilpres 2024 mendatang. Who knows, menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di http://bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.