Site icon PinterPolitik.com

BTP Ditolak TKN Jokowi-Ma’ruf?

Ahok ditolak TKN

Basuki Tjahaja Purnama dan Joko Widodo. (Foto: Antara Foto)

BTP sempat dikatakan siap bekerja untuk kampanye Jokowi-Ma’ruf, sayangnya sejauh ini respons tim pemenangan kandidat nomor urut 01 itu tampak tak antusias.


Pinterpolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]ebasnya mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang kini ingin disebut BTP, disambut dengan berbagai pemberitaan. Pria yang dulu akrab disapa Ahok ini disebut-sebut siap melakukan comeback ke panggung politik nasional melalui berbagai cara. Salah satu yang sudah ia lakukan adalah melalui vlog di kanal YouTube Panggil Saya BTP.

Di luar itu, pertanyaan lainnya dan boleh jadi yang utama, adalah langkah politik apa yang akan diambil oleh BTP setelah ia keluar dari tahanan di Mako Brimob. Secara khusus, di tengah gempita Pilpres 2019, teka-teki paling besar adalah kandidat mana yang akan didukung oleh BTP.

Menurut penyanyi Tompi, sebagaimana dikutip Tempo, BTP dikabarkan siap berkampanye untuk pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Pernyataan yang tak terlalu mengejutkan, mengingat BTP memang dikenal dekat dengan Jokowi karena pernah berpasangan dengannya saat menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Sayangnya, gayung tersebut ternyata tak bersambut. Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf menanggapi dingin bebasnya BTP dan peluang bergabungnya mantan politikus Gerindra itu ke kubu mereka. Memang, tak ada penolakan resmi, tetapi sikap yang terlewat santai ini tetap menimbulkan tanda tanya.

Di atas kertas, melalui afiliasi politiknya, BTP seharusnya bisa disambut baik oleh tim kampanye, Jokowi-Ma’ruf. Terlebih, ia tergolong sebagai tokoh yang bisa menarik sorotan masyarakat. Lantas, mengapa TKN Jokowi-Ma’ruf tampak tak begitu antusias dengan kembalinya BTP?

Tanggapan Tak Antusias

Idealnya, bagi tokoh sekaliber BTP alias Ahok, keputusan politiknya akan menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, mantan politisi Partai Indonesia Baru itu memiliki banyak penggemar, sehingga dapat digolongkan sebagai sosok berpengaruh dalam politik Indonesia.

Pentingnya dukungan sosok BTP untuk mendapat simpati pendukungnya misalnya terlihat dari kiprah Djarot Saiful Hidayat, wakilnya saat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Djarot pernah mengklaim bahwa koleganya tersebut akan bergabung dengan PDIP jika akhirnya kembali mengarungi lautan politik Indonesia.

Tak hanya itu, banyak yang menganggap bahwa Jokowi harus bisa mengamankan suara pendukung BTP jika ingin mengarungi Pilpres 2019 dengan mulus. Hal ini karena demografi pendukung BTP yang cukup luas, meliputi kaum minoritas dan kaum pluralis-toleran.

Apalagi, keputusan Jokowi menggandeng Ma’ruf Amin dianggap mengecewakan kelompok pemilih tersebut. Pasalnya Ma’ruf adalah salah satu alasan yang memperkuat BTP harus mendekam di penjara. Meyakinkan BTP untuk ikut berkampanye tentu bisa menjadi obat penawar kekecewaan dari kelompok tersebut.

Ternyata, meski masih memiliki banyak penggemar, nama BTP seperti tidak pernah terlintas dalam pikiran TKN Jokowi-Ma’ruf untuk direkrut. Hal ini tergambar dari berbagai pernyataan petinggi-petinggi tim kampanye ini di media massa.

Ketua TKN Jokowi-Ma’ruf, Erick Thohir misalnya mengungkap bahwa di internalnya tidak ada pembicaraan soal Pilpres terkait dengan BTP. Hal senada diungkap wakilnya, Arsul Sani yang menyebut nama BTP tak pernah dibicarakan. Pernyataan-pernyataan itu cukup membingungkan mengingat banyak orang yang menganggap nama BTP bisa dipolitisasi untuk kepentingan elektoral.

Menghindari Asosiasi?

Sikap tidak antusias yang ditunjukkan oleh TKN Jokowi-Ma’ruf kepada BTP tentu mengherankan. Seharusnya, sebagai sosok politisi tenar, BTP dapat dijadikan magnet bagi pemilih, apalagi PDIP melalui Djarot pernah sangat ingin agar ia bisa bergabung dengan mereka.

Jika ditelisik, sikap dingin TKN Jokowi-Ma’ruf boleh jadi memiliki maksud elektoral. Meski telah melakukan rebranding dari  Ahok menjadi BTP, publik bisa saja belum sepenuhnya melupakan kiprah pria kelahiran Belitung Timur itu. Secara spesifik, label penista agama terlanjur melekat kepada BTP meski ia tengah berusaha untuk terlihat baru.

Menurut French dan Smith, political  branding merupakan jejaring asosiatif dari informasi politik yang saling berhubungan, disimpan dalam ingatan dan dapat diakses ketika dirangsang oleh memori pemilih. Jika disarikan, suatu aktor politik memiliki asosiasi terhadap hal tertentu yang terus-menerus diingat oleh pemilih. Dalam kasus BTP, asosiasi yang dimaksud boleh jadi adalah penista agama.

Di tengah politik Islam yang masih sangat kuat di tanah air, asosiasi BTP dengan label penista agama boleh jadi akan menjadi sesuatu yang merugikan bagi kandidat yang satu kubu dengannya. Bukan tidak mungkin jika Jokowi-Ma’ruf menerima BTP dengan tangan terbuka, label yang menempel pada BTP akan diasosiasikan pula pada mereka.

Hal itu tentu akan kontraproduktif dengan ikhtiar yang belakangan tengah dilakukan oleh tim pemenangan Jokowi tersebut. Jokowi selama ini dianggap sebagai sosok anti-Islam, sehingga berbagai cara dilakukan untuk mengikis anggapan itu mulai dari memasangkan dirinya dengan Ma’ruf Amin, hingga menerima tantangan salat dan mengaji. Jika BTP disambut gembira TKN Jokowi-Ma’ruf, maka upaya mereka menghapus citra anti-Islam bisa saja terkubur akibat asosiasi BTP dengan masa lalu kelamnya.

Selain itu, nama BTP juga bisa saja tak lagi seharum tahun-tahun sebelumnya akibat berita perceraiannya yang diekspos begitu rupa. Sebenarnya, bukan hanya berita perceraiannya saja yang bisa membuat BTP tak lagi punya jenama sekuat beberapa tahun yang lalu. Pengakuan adiknya, Fifi Lety Indra tentang kisah di balik perceraian itu bisa saja memberatkan nama BTP.

Fifi beberapa waktu lalu mengagetkan publik melalui kiriman di akun Instagram miliknya. Sosok yang biasanya dikenal sebagai pembela BTP ini mengungkapkan bahwa dirinya tak setuju dengan perceraian kakaknya dari Veronica Tan. Tak hanya itu, Fifi juga menyebutkan bahwa dirinya dipaksa BTP untuk mengganti alasan perceraian dengan zina.

Pernyataan-pernyataan tersebut tentu mengejutkan terlebih Fifi selama ini kerap muncul sebagai pembela utama BTP. Pernyataan itu bisa memiliki konsekuensi luas jika ternyata ada banyak pihak yang bersimpati pada Veronica dan mempertanyakan dengan keras keputusan BTP untuk menceraikannya.

Dalam kadar tertentu, perkara pribadi seperti pernikahan dan perceraian dapat berpengaruh pada citra seseorang di mata publik. Salah satu yang mengalami penurunan citra dalam konteks ini adalah dai terkemuka Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym. Pasca memutuskan berpoligami, pamor sang kiai meredup dan berdampak panjang di mana ia ditinggalkan banyak jemaahnya. Merujuk pada hal itu, BTP bisa saja bernasib serupa.

Dikarenakan political branding memiliki unsur yang saling terhubung satu sama lain dalam ingatan pemilih, bukan tidak mungkin, asosiasi terkait kisah pribadinya ini juga diingat kuat oleh pemilih. Dalam konteks tersebut, asosiasi yang dimaksud tidak hanya tentang kisah perceraiannya, tetapi juga soal pengakuan Fifi tentang pengubahan alasan cerai dari ketidakcocokan dengan zina.

Asosiasi-asosiasi tersebut boleh jadi memberatkan TKN Jokowi untuk menarik BTP ke tim pemenangan mereka. Oleh karena itu, TKN Jokowi-Ma’ruf tidak menyambut kebebasan BTP dengan antusias apalagi sampat menerima keinginannya membantu Jokowi-Ma’ruf yang diungkapkan penyanyi Tompi di atas.

Kiss of Death

Nasib BTP boleh jadi serupa dengan sosok Hillary Clinton di Amerika Serikat (AS). Sempat dianggap sebagai sosok penting dalam politik AS, mantan Menteri Luar Negeri AS tersebut ternyata dianggap tak lagi memiliki tuah bagi Partai Demokrat yang membesarkan namanya.

Pada Pemilu menengah beberapa waktu yang lalu misalnya, Demokrat memilih untuk tidak terlalu mengaitkan diri dengan Hillary. Partai Demokrat merasa bahwa identifikasi dengan Hillary bisa membuat mereka semakin tidak populer di mata kaum konservatif yang tengah bangkit. Kekalahan Hillary atas Trump tampaknya membuat Demokrat begitu takut untuk mengasosiasikan diri dengan mantan senator New York tersebut.

TKN Jokowi-Ma'ruf bisa saja tak ingin terasosiasi dengan cap buruk Ahok atau BTP sebagai penista agama. Share on X

Dalam kadar tertentu, Hillary oleh beberapa kader Demokrat dianggap bisa menjadi kiss of death atau ciuman kematian. Capres yang mereka usung di 2016 itu bahkan dikabarkan dibatasi kampanyenya menjadi kampanye tertutup dan dijauhkan dari sorotan kamera.

Merujuk pada hal tersebut, asosiasi BTP pada label penista dan pengakuan Fifi boleh jadi membuat TKN Jokowi-Ma’ruf menganggap dirinya akan menjadi ciuman kematian bagi mereka. Untuk itu, TKN akan bersikap ekstra hati-hati atau bahkan menjauhkan diri dari brand BTP, Ahok, atau apapun yang terkait dengan itu.

Tentu, terlepas dari hal-hal tersebut, sejauh ini semua itu hanya sekadar spekulasi. Belum ada penolakan resmi dari tim Jokowi kepada sosok BTP. Meski demikian, jelas akan ada konsekuensi jika TKN Jokowi-Ma’ruf menerima BTP dan segala asosiasinya. Salah langkah dalam menyikapi hal ini bisa saja berbuah petaka bagi kandidat nomor urut 01 yang mereka usung. (H33)

Exit mobile version