Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendapat sorotan tajam setelah meleburkan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman pada akhir 2021 lalu. Sejumlah peneliti honorer terancam kehilangan pekerjaannya, sementara BRIN masih yakin ini adalah untuk tujuan baik. Ada apa sebenarnya di balik polemik ini?
Lembaga Biologi Molekuler (LBM) telah berkontribusi banyak dalam penelitian kesehatan di Indonesia. Lembaga yang sering digadang-gadangkan bertaraf internasional ini juga ikut serta dalam berbagai riset penting, seperti HIV-AIDS, flu burung, SARS-1, dan SARS COV-2 yang menjadi penyebab Covid-19. Termasuk penelitian mengenai plasma konvalesen dan pengembangan vaksin Covid-19 buatan anak bangsa, yakni vaksin Merah Putih.
Namun, beberapa waktu terakhir ini LBM Eijkman mendapat sorotan publik, lantaran sejak akhir tahun 2021, lembaga tersebut telah resmi dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Yang menjadi polemik adalah, dalam proses integrasinya dikabarkan ada ratusan staf dan peneliti honorer Eijkman yang terpaksa kehilangan pekerjaan karena tidak dapat melalui proses pengalihan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sementara, di bawah BRIN, seluruh peneliti harus menjadi PNS.
Tentu, banyak pihak yang mengkritisi, salah satunya adalah mantan Kepala LBM Eijkman, Amin Soebandrio. Ia mengatakan dengan banyaknya peneliti yang dipangkas, ini berpotensi mengganggu jalannya riset yang sedang dilakukan LBM Eijkman.
Lebih lanjut, ia menilai perubahan sistem ini membuat pihak swasta kurang tertarik untuk melakukan kerja sama dalam mendukung vaksin Merah Putih. Pihak swasta, menurut dia, kemungkinan akan khawatir dengan bergabungnya Eijkman di bawah BRIN akan memunculkan kendala birokrasi, termasuk pembagian royalti.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko membantah integrasi ini akan merusak keadaan riset. Ia mengklaim justru dengan bergabungnya LBM Eijkman ke BRIN, pihaknya telah satu langkah lebih maju dalam menyelesaikan salah satu masalah besar riset di Indonesia, karena sebelumnya status LBM Eijkman sebagai lembaga negara itu tidak jelas, ia hanya berstatus unit proyek di Kemenristek. Dampaknya, para peneliti honorer tidak memiliki kepastian hukum dan susah mendapatkan hak finansial yang sesuai.
Perlu diketahui bahwa LBM Eijkman hanyalah salah satu dari 39 lembaga riset yang dilebur ke dalam BRIN sampai saat ini.
Lantas, mengapa peleburan besar-besaran ini perlu terjadi?
Baca juga: Melihat Sudhamek, Konglomerat Dewan BRIN
Hal Yang Perlu Terjadi?
Handoko berulang kali mengatakan di media bahwa salah satu tujuan utama BRIN adalah berkeinginan untuk menjadi jembatan antara dunia riset dengan dunia industri Indonesia, agar inovasi dan invensi yang ada di negeri ini mampu berkompetisi secara global, dengan harapan dapat membawa transformasi ekonomi yang berdaya saing dan juga berkelanjutan.
Tentu tujuan ini diambil berdasarkan masalah yang perlu dipecahkan dalam dunia riset Indonesia. Ahmad Najib Burhani, dkk, dalam tulisannya The National Research and Innovation Agency (BRIN): A New Arrangement for Research in Indonesia, merumuskan BRIN diharapkan dapat menjawab tiga masalah utama riset Indonesia.
Pertama adalah ekosistem riset. Selama ini riset di Indonesia dinilai tidak efektif, terjadi pendanaan yang tidak sesuai dengan masing-masing tujuan lembaga penelitian, kurangnya award-system bagi peneliti, dan juga “kurang lakunya” hasil penelitian lembaga riset Indonesia dalam kebutuhan industri.
Kedua, perlunya dukungan politik. Riset yang efektif dan menguntungkan harus disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing kementerian, oleh karena itu, peran serta politikus di sini menjadi penting.
Di sisi lain, Najib juga menegaskan bahwa selama ini muncul pandangan keliru, yakni dianggapnya politisi yang lebih dahulu masuk ke ranah riset, seperti dengan penunjukan Ketua Umum (Ketum) Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN. Padahal justru kalangan peneliti yang mengajak politisi untuk terlibat, karena mereka pun ingin hasil penelitiannya bisa lebih mencapai publik dan diapresiasi.
Ketiga, perlu ada penyesuaian teknokrasi, yaitu untuk mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang berbasis riset. Dalam jangka panjangnya, perombakan teknokrasi ini juga diarahkan dapat membawa hasil inovasi BRIN yang dapat membangun perekonomian Indonesia, dengan menyesuaikan kebutuhan dari sektor industri.
Lebih lanjut, Antoni Putra, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dalam artikelnya Urgensi Mewujudkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa BRIN harus cepat-cepat difungsikan karena lembaga ini dapat menyelesaikan masalah pembuangan anggaran dan sulit berkembangnya riset di Indonesia.
Antoni mengambil data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membuktikan bahwa hanya 43,74% dari total anggaran riset yang benar-benar digunakan untuk kegiatan penelitian. Sisanya digunakan untuk hal lain seperti belanja operasional (30,68%), belanja jasa (13,17%), belanja modal (6,65%), serta belanja pendidikan dan pelatihan (5,77%).
Kembali mengutip KPK, Antoni juga menyebut ada berbagai masalah lain yang perlu segera diselesaikan, seperti penelitian fiktif, tumpang tindih penelitian, pemotongan dana penelitian sebesar 10%-50%, pemberian dan penggunaan dana penelitian yang tidak sesuai aturan, hingga pengendapan dana penelitian.
Berbagai permasalahan tersebut, dinilai Antoni, disebabkan oleh tidak jelasnya pengaturan lembaga penelitian di lingkup pemerintah. Dengan adanya BRIN, diharapkan dapat menjadi lembaga besar yang dapat mengkoordinasikan pelaksanaan riset dari berbagai kementerian dan lembaga (K/L) di Indonesia.
Namun, walau memiliki urgensi yang penting dan baik untuk jangka panjangnya, berdasarkan tindakan yang terjadi di lapangan, tidak dipungkiri bahwa BRIN telah melakukan gerakan politik yang patut dikritisi. Pakar hukum dari Jentera mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 (UU Sisnas Iptek), di dalam Pasal 48 disebutkan bahwa “integrasi” atau peleburan yang dimaksud dengan BRIN adalah sebagai upaya mengarahkan dan menyinergikan perencanaan, program, anggaran, sumber daya iptek guna hasilkan invensi dan inovasi.
Akan tetapi, BRIN melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 dan Perpres Nomor 78 Tahun 2021 justru mengartikan “integrasi” ini sebagai peleburan lembaga-lembaga riset, sehingga BRIN seakan-akan bukan lagi menjadi lembaga pengarah atau koordinator, tetapi juga menjadi pelaksana riset dan instansi tunggal yang mengatur kebijakan riset di Indonesia. Karena ini, sebagian pengamat kemudian memberi julukan BRIN sebagai superbody.
Lantas, apakah BRIN telah melakukan salah langkah?
Baca juga: Kerancuan Jabatan Megawati di BRIN
Terlalu Tergesa-gesa?
Melihat fenomena yang terjadi, kita bisa mengatakan bahwa ada suatu pergeseran dari tujuan collaborative leadership atau kepemimpinan kolaboratif menjadi traditional leadership atau kepemimpinan traditional, ala Max Weber, di mana hierarki dan kekuatan menjadi faktor utama kelembagaan. Padahal, lembaga-lembaga yang dileburkan ke dalam BRIN sejatinya memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda secara spesifik.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) contohnya, memang mengkaji teknologi antariksa, tetapi itu bukan berarti teknologi yang mereka kembangkan bisa disamakan dengan proyek pengembangan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Baca juga: Indonesia Perlu Bangun Bandar Antariksa
Walau keunggulan masing-masing lembaga dalam mengembangkan teknologi bisa disatukan melalui irisan yang sama, ada keunikan dari antar lembaga yang perlu dikembangkan secara otonom jika ingin membangun ekosistem riset yang disesuaikan dengan fungsi masing-masing lembaga.
Oleh karena itu, yang perlu dikritisi adalah, sebetulnya dari bentuk awalnya, BRIN sudah benar untuk diposisikan sebagai lembaga yang perannya murni untuk mengkoordinasikan dan mensinergikan lembaga riset yang ada di Indonesia. Tetapi, karena ada motivasi tertentu, BRIN secara tergesa-gesa malah didorong untuk menjadi superbody yang seakan-akan berperan sebagai diktator lembaga riset.
Jika memang benar ingin mewujudkan ekosistem riset yang harmonis dan efektif, maka sesungguhnya pemerintah harus mengaplikasikan konsep kepemimpinan kolaboratif dari profesor bisnis Universitas Harvard, Rosabeth Moss Kanter. Konsep ini memiliki tiga fondasi utama.
Pertama, relasi. Dalam hubungan kelembagaan, penting adanya pembinaan hubungan yang terbuka, hubungan ini tidak perlu dilakukan secara keras dalam satu rumah, masing-masing lembaga penelitian bisa menjalin relasi yang kuat satu sama lain dengan menjadikan BRIN murni sebagai koordinator riset.
Kedua, manajemen konflik. Dalam kerja sama antar lembaga, pasti akan bertemu dengan konflik yang bisa membawa lembaga-lembaga tersebut pada titik temu optimal, bukan dengan menghindarinya. Jika tidak ada titik temu, permasalahan atau konflik tentu akan meluas, karena memang masalah kolaborasi tidak bisa didekati dengan cara menghilangkan perbedaan.
Ketiga, pembagian kontrol. Masing-masing lembaga riset seharusnya tetap diberikan otonomi dalam memutuskan segala hal yang mereka hadapi, yang tentunya ditetapkan pada satu koridor, yang dipantau oleh BRIN, bukan dengan memutuskan segalanya dengan sepihak dan satu arah.
Pada akhirnya, Kanter menyebut bahwa untuk mengeksekusi sistem seperti ini, membutuhkan pemimpin yang tidak ingin segalanya bisa dieksekusi secara instan. Sayangnya, ini yang terjadi sekarang pada BRIN.
Apa motivasi besar dari pergeseran peran BRIN dari yang seharusnya kolaboratif, menjadi tradisional? Well, itu kembali ke penalaran kita masing-masing. Yang jelas, ke depannya kita harapkan inovasi Indonesia bisa semakin diarahkan ke kebutuhan industri, tanpa perlu semakin dalam mencederai ekosistem riset Indonesia. (D74)
Baca juga: Jokowi dan Ancaman Perang Teknologi