Site icon PinterPolitik.com

Brimob, Gertakan atau Amankan Jakarta?

Brimob Gertakan atau Amankan Jakarta

Foto : Tribunnews

Pengerahan pasukan Brimob dari luar daerah masuk ke Jakarta dengan jumlah yang cukup besar menuai kontroversi. Mungkinkah kondisi politik pasca Pemilu ini memang sebegitu genting?


PinterPolitik.com

[dropcap]I[/dropcap]su tentang kecurangan dalam Pemilu 2019 cukup kencang berhembus beberapa waktu terakhir pasca hari pencoblosan pada 17 April lalu.

Dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara hajatan tersebut memang cukup disorot, utamanya oleh kubu oposisi yang merasa dirugikan dengan dugaan kecurangan yang disebut terstruktur, sistematis dan masif.

Namun, isu kecurangan ini nampaknya tak hanya membuat oposisi bermanuver, tapi juga membuat pihak-pihak yang berkepentingan merasa gerah.

Ngapain ya Brimob luar daerah ke Jakarta? Share on X

Salah satunya terlihat dalam upaya pengerahan Korps Brigade Mobil alias Brimob – yang merupakan kesatuan operasi khusus paramiliter milik Kepolisian Negara Republik Indonesia – dari seluruh penjuru negeri untuk mengamankan ibu kota, Jakarta terkait pengawalan hasil Pemilu 2019 ini.

Wacana ini menyeruak ketika viralnya pesan singkat WhatsApp sejumlah personel Brimob tentang wacana ramai-ramai datang ke Jakarta dalam rangka antisipasi Kamtibnas usai Pemilu 2019 dengan total personel yang disebut-sebut mencapai 3.100 dari Polda berbagai daerah.

Berbagai pihak pun menanggapi secara berbeda wacana ini. Pemerintah melalui Menkopolhukam Wiranto, menyebut bahwa penambahan pasukan Brimob dari sejumlah daerah ini untuk memberikan rasa aman dan tenteram kepada masyarakat usai penyelenggaraan Pemilu 2019.

Hal ini didasarkan pada analisa Mabes Polri tentang keamanan dan kerawanan daerah yang perlu diperkuat.

Peryataan serupa juga disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bahwa pengerahan ini adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban ibu kota. Menurut dia, Jakarta sebagai barometer nasional harus diperkuat pengamanannya.

Namun, kritik datang dari pihak oposisi. Jubir Badan Pemenangan Nasional (BPN), Dahnil Anzar Simanjuntak  menilai langkah mendatangkan anggota Brimob dari luar Jakarta membuat situasi ibu kota terkesan tidak aman.

Menurut Dahnil, dunia internasional akan melihat situasi Indonesia sedang tidak aman berdasarkan simbol-simbol adanya orang bersenjata dan berseragam yang dikerahkan dalam jumlah besar. Apalagi pengerahan pasukan Brimob tersebut di wilayah Jakarta yang notabennya menjadi pusat pemerintahan Indonesia.

Terlepas dari pro kontra yang ada, tentu menarik untuk membedah makna di balik pengerahan personel aparat keamanan negara ini, mengingat jumlahnya yang cukup besar dan cakupannya yang luas – meskipun sesungguhnya pengiriman personel ke luar daerah tugas merupakan hal yang biasa. Mungkinkah narasi pengamanan ibu kota ini bermakna ganda?

Mengamankan Jakarta?

Berdasarkan laporan Jawa Pos, Polri telah mengirim ribuan personel Brimob dari 11 daerah ke Jakarta untuk mengamankan penetapan hasil penghitungan suara Pemilu 2019. Pasukan ini berasal dari 11 daerah di Indonesia, di antaranya Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Pangkal Pinang, Bengkulu, Banda Aceh, Nusa Tenggara Barat, Bali, Gorontalo, dan Aceh.

Sedangkan pihak Polri melalui Karopenmas Divhumas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo menyebutkan bahwa sesuai laporan Komandan Korps (Dankor) Brimob memang ada pergeseran pasukan masuk ke Jakarta. Namun, soal jumlah tidak disebutkan dengan pasti.

Namun pertanyaan yang menjadi menarik adalah, mengapa personil yang dikerahkan terkesan begitu banyak? Mungkinkah potensi chaos atau kekacauan memang begitu mengkhawatirkan?

Dalam ranah kerjanya, Brimob adalah satuan khusus yang bersifat paramiliter di bawah Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Beberapa tugas yang diemban oleh Brimob meliputi penanganan terorisme domestik, penanganan kerusuhan, penegakan hukum risiko tinggi, pencarian dan penyelamatan (SAR), penyelamatan sandera, dan penjinakan bom.

Brimob juga berperan sebagai komponen yang melaksanakan tugas-tugas anti-separatis dan anti-pemberontakan bersamaan dengan operasi militer.

Sementara menurut sejarah, pengerahan pasukan Brimob dalam skala besar memang berfokus pada kasus-kasus yang cukup genting. Misalnya saja ketika Korps Brimob Polri menerjunkan Resimen Tim Pertempuran (RTP) di pulau-pulau di Provinsi Maluku yang berdekatan dengan Irian Barat atas perintah Presiden Soekarno untuk merebut wilayah tersebut dari tangan Belanda.

Selain itu, dalam Operasi Seroja pembebasan Timor Timur pada tahun 1975, Brimob juga membantu pasukan ABRI. Juga pada saat kerusuhan 1998, salah satunya dalam Tragedi Trisakti, peran Brimob juga cukup krusial dalam mengamankan demonstrasi yang tengah berlangsung. Bisa dibilang, kerusuhan 1998 adalah peristiwa terakhir di mana pengerahan pasukan yang awalnya disebut dengan nama Tokubetsu Keisatsutai atau Pasukan Polisi Istimewa dilakukan secara besar-besaran.

Jika dilihat dalam sejarahnya, pengerahan Brimob dalam jumlah besar hanya dilakukan ketika situasi keamanan negara memang tengah terancam.

Akibatnya, pengerahan Brimob dalam jumlah besar ke Jakarta ini menimbulkan pertanyaan besar bagi banyak pihak. Akankah Pemilu kali ini memang akan diwarnai oleh kerusuhan berdarah layaknya yang terjadi di tahun 1998, sehingga dibutuhkan pengamanan yang cukup ekstra?

Menggertak Lawan?

Pengerahan aparat keamanan untuk mengawal pesta demokrasi kali ini tidak hanya melibatkan satuan Brimob. Di kesempatan berbeda, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto beberapa waktu sebelum hari pencoblosan, pernah menyampaikan bahwa pihak-pihak yang mengganggu stabilitas politik dan jalannya demokrasi, serta mengganggu NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, akan berhadapan dengan TNI.

Ketegasan sang Panglima dalam berpidato bahkan terkesan agak “garang” dan lebih terlihat sebagai pidato “gertakan” bagi siapa-siapa yang melihat secara langsung rekaman video yang sempat viral tersebut.

Tak heran jika pengerahan Brimob ini pada akhirnya membuat beberapa pihak menyebutnya menyimpan agenda untuk menggertak pihak-pihak yang dianggap mengancam ketenenangan politik nasional pasca Pemilu.

Beberapa waktu terakhir ini, ancaman people power memang cukup keras didengungkan dan membuat banyak pihak bergidik, tak terkecuali para elite pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan isu kecurangan dalam Pemilu yang berpotensi melahirkan gerakan massa protes yang besar.

Jika berkaca pada gerakan politik oposisi, selama ini memang sering kali mengandalkan pengerahan masa sebagai gertakan politik dan upaya memperoleh dukungan populer. Hal tersebut cukup berhasil pada tahun 2016 lalu ketika gerakan Aksi Bela Islam berubah menjadi gerakan pengadilan massa untuk menghakimi mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan penistaan agama.

Mungkin saja ancaman people power yang kini kembali digulirkan juga ditakutkan akan menjadi layaknya Aksi 212 seperti sebelum-sebelumnya. Sehingga, antisipasi terhadap berbagai bentuk pengerahan massa ini dirasa perlu untuk dilakukan.

Secara teoritis, aktivitas ini disebut sebagai deterrence atau deterensi. Teori ini sebenarnya dikenal dalam politik internasional di mana negara yang saling berinteraksi kerap kali menggunakannya untuk menjaga keseimbangan politik dan mengamankan posisinya.

Secara harfiah, pengertian deterensi adalah strategi untuk mencegah musuh mengambil tindakan yang belum dimulai, atau mencegah musuh melakukan sesuatu yang diharapkan negara lain.

Sehingga, deterrence bisa disebut sebagai sebuah upaya penangkisan, penolakan atau pencegahan. Dalam konteks ini, tujuan strategi deterrence adalah untuk mencegah terjadinya perang dengan cara “mengecilkan hati” lawan yang mencoba menyerang.

Konsep ini cukup umum terjadi dalam kontestasi militer antarnegara, di mana kekuatan militer suatu negara akan menentukan credibility of deterrence atau kredibilitas dalam melakukan gertakan. Misalnya, sebuah negara bisa menggertak negara lain dengan menggunakan kekuatan nuklir yang dimilikinya. Hal ini yang sempat diungkapkan oleh Robert Jervis dalam bukunya yang berjudul Psychology and Deterrence.

Dalam hal ini, Jervis menekankan pentingnya untuk menyerang psikologi lawan dengan jalan menakut-nakuti dengan kekuatan yang terlihat.

Lalu, mungkinkah pengerahan Brimob ke ibu kota ini memang bagian dari upaya untuk menakut-nakuti pihak oposisi dan sekaligus menjadi sinyal bahwa chaos Pemilu begitu menguat? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (M39)

Exit mobile version