HomeNalar PolitikBranding Mandalika, Pertamina Siap Mengglobal?

Branding Mandalika, Pertamina Siap Mengglobal?

Pergelaran MotoGP di Sirkuit Mandalika sudah di depan mata. Selain untuk menaikkan citra Indonesia, eksposur internasional juga diharapkan dapat mendorong PT Pertamina ke arah perusahaan migas kelas dunia. Mungkinkah mimpi ini diwujudkan? 


PinterPolitik.com 

Sirkuit Mandalika secara resmi telah ditentukan menjadi salah satu arena balap yang akan digunakan untuk pergelaran balapan sepeda motor terbesar di dunia, yakni MotoGP. Sirkuit yang terletak di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini ditargetkan siap menjadi tuan rumah balapan yang ditonton ratusan juta penduduk dunia tersebut pada tanggal 20 Maret 2022 nanti. 

Selain untuk MotoGP, Sirkuit Mandalika juga disebutkan akan digunakan untuk sejumlah balapan internasional lainnya, seperti Moto2, Asia Talent Cup, dan GT World Challenge Asia. Penetapan Mandalika sebagai tempat bermain para pebalap internasional ini berhasil menarik atensi dan harapan sejumlah masyarakat Indonesia, karena pada akhirnya Indonesia mendapat kesempatan untuk lebih disorot oleh dunia. 

Sebagai upaya untuk dapat memanfaatkan eksposur global secara seutuhnya, PT Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas (migas) terbesar di Indonesia ditetapkan sebagai sponsor utama Sirkuit Mandalika. Bahkan, beberapa waktu yang lalu nama Pertamina disematkan dalam nama judul untuk event MotoGP nanti, dengan nama Pertamina Grand Prix of Indonesia. 

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir menyebut penyematan nama Pertamina merupakan hal yang positif dalam membangun brand maupun citra Indonesia di mata dunia. Erick percaya, branding yang positif ini akan memikat investor lokal maupun asing untuk menanamkan investasi di Indonesia.  

Erick berharap, upaya ini juga jadi testimoni Indonesia yang ingin memosisikan diri sebagai negara yang maju dan mampu menggelar ajang internasional, sekaligus langkah dalam menjadikan Pertamina sebagai perusahaan yang mendunia. 

Melihat angan-angan yang disampaikan Erick, yaitu untuk menjadikan Pertamina sebagai merek global dengan memanfaatkan ajang internasional, penulis otomatis teringat dengan perusahaan migas negara tetangga kita, Malaysia, yang puluhan tahun telah lebih dahulu menoreh kesuksesan di panggung internasional melalui ajang balapan. Tidak lain, tentu itu adalah Petronas. 

Lantas, mampukah mimpi besar Pertamina untuk go global dan memajukan Indonesia diwujudkan? Dan apa saja yang perlu dipelajari Pertamina melalui pencapaian Petronas di ajang balapan internasional? 

Baca juga: Di Balik Euforia Sirkuit Mandalika

Belajar Dari Petronas? 

Petronas sekarang telah menjadi salah satu perusahaan migas paling terkenal di dunia. Perusahaan asal negeri jiran itu bahkan dinobatkan sebagai merek paling berharga di Asia Tenggara dan juga mendapat predikat sebagai merek migas terkuat di dunia.  

Menurut laporan tahun 2021 oleh sebuah konsultan penilaian merek global, Brand Finance, Petronas disebut memiliki nilai merek sebesar US$ 12 miliar. Sponsornya terhadap tim F1 Mercedes juga dinilai menjadi salah satu faktor yang membuat Petronas menyandang gelar sebagai merek paling bernilai di Asia Tenggara.  

Ya, F1 tampaknya adalah komponen yang sangat penting bagi kesuksesan Petronas. Bahkan, setelah perusahaan migas tersebut terpaksa tidak lagi mensponsori Sepang International Circuit di Malaysia sejak 2017, Petronas masih tetap bersikukuh memperpanjang kontrak dengan Mercedes, dan menancapkan dirinya di kancah F1. 

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Paul Temporal dalam bukunya Islamic Branding and Marketing: Creating A Global Islamic Business, mengungkapkan bahwa F1 tidak hanya meroketkan nama Petronas secara global, tetapi juga mempercepat pengalamannya di bidang teknologi tinggi, dan telah memajukan dirinya bersama Malaysia ke ambang batas teknologi baru. 

Menggunakan konsep kerja sama untuk pertumbuhan, dengan ikatan bisnis bersama kontraktor besar seperti Mercedes, Temporal menilai, yang menjadi kunci kesuksesan Petronas di kancah manca negara sesungguhnya bukan di pencitraan internasionalnya, tetapi pada komitmennya untuk mengembangkan human capital melalui kerja sama dengan kontraktor otomotif.  

Melalui sejumlah program lanjutan seperti program pendidikan, Petronas dan Malaysia berhasil menanamkan benih-benih antusiasme terhadap teknologi tinggi dunia otomotif di negaranya. Bahkan Temporal menyebut, sampai ada sebuah stigma di Malaysia di mana jika Anda bekerja untuk tim F1 Petronas, maka Anda akan dilihat sebagai pahlawan. 

Faktor inilah kemudian yang melengkapi pencitraan yang didapat Petronas melalui branding-nya di pergelaran besar seperti F1, karena kampanye mereka pada akhirnya tidak hanya sekadar gembor-gembor nama perusahaan dan negara saja, tetapi juga diiringi oleh kualitas yang terjaga akibat antusiasme dan kapabilitas teknisi-teknisinya. Tentunya, kekonsistenan ini menjadi gerbang pembuka bagi Petronas untuk kemudian mendapatkan kepercayaan dari investor-investor internasional. 

Well, itu adalah cara Petronas mengkapitalisasi eksposur ajang balapan internasional, yang bisa ditiru Pertamina. Tetapi, bagaimana caranya agar Pertamina bisa mendunia sepertiPetronas? 

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, menilai bahwa perbedaan yang membuat Petronas jauh lebih unggul di luar negeri dibanding Pertamina adalah pada perbedaan penugasan. Menurutnya, Petronas adalah sebuah perusahaan yang sangat diberi privilege atau keistimewaan yang besar oleh Malaysia untuk dapat melakukan ekspansi bisnis ke luar negeri. 

Sejak 1990, melalui anak usaha Petronas Carigali, Petronas sudah ekspansi dengan melakukan eksplorasi dan produksi di manca negara dan membuahkan hasil yang mengesankan. Dari benua Afrika seperti Sudan dan Chad, Petronas bersama mitra-mitranya bahkan telah membukukan produksi minyak mentah yang signifikan. 

Sementara, Pertamina tidak seperti itu. Perusahaan migas Tanah Air ini justru dibebani sejumlah penugasan yang luar biasa rumitnya. Mamit mencontohkannya dengan fungsi Public Service Obligation (PSO) yang dibebankan pada Pertamina. Sederhananya, PSO adalah penugasan dari pemerintah kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap mempertahankan maksud dan tujuan kegiatan BUMN itu sendiri, yaitu untuk membuka akses layanan ke rakyat seluas-luasnya.   

Karena hal ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2018 mencatat bahwa Pertamina tergerus kerugian pendapatan sebesar Rp 26 triliun. Kemudian dari data Pertamina sendiri, pada tahun 2020 mereka mencatat penurunan pendapatan besar-besaran, dengan hanya mencapai angka Rp 15 triliun, turun 60 persen dari Rp 36 triliun pada tahun 2019.  

Mamit menilai, akibat penugasan yang rumit seperti PSO ini, Pertamina tidak pernah memiliki modal dan tenaga yang cukup untuk ekspansi ke luar negeri. Oleh karena itu, jika dibandingkan, wajar bila Petronas sangat moncer menoreh kesuksesan di berbagai ajang internasional. 

Baca juga :  Siasat Rahasia Prabowo-Sri Mulyani?

Lantas, bagaimana Pertamina membenahi diri agar bisa go international

Baca juga: Ahok dan “Mata-mata” Pertamina

Tidak Cukup Hanya Branding 

Perlu diakui bahwa antusiasme untuk menjadikan Pertamina sebagai sponsor utama balapan MotoGP di Sirkuit Mandalika memang pantas diapresiasi. Namun, kita tidak boleh terjebak pada branding saja. Jika pemerintah memang ingin membuat Pertamina sebagai perusahaan migas kelas dunia, maka mereka pun harus berani merombak apa yang selama ini dijalankan. 

Direktur Utama Lembaga Management Fakultas Ekonomi Bisnis (LM-FEB) Universitas Indonesia, Toto Pranoto menilai bahwa jika Pertamina ingin sukses di luar negeri layaknya Petronas, maka Pertamina terlebih dahulu harus menyelesaikan permasalahan rantai nilai (value chain) dari hulu ke hilir.  

Di hulu, Petronas banyak melakukan kegiatan eksplorasi di luar negeri seperti di Timur Tengah serta Meksiko. Namun kegiatan hulu tersebut diintegrasikan bersama kegiatan hilir dengan membangun pabrik petrokimia. 

Sedangkan, Pertamina wilayah operasionalnya lebih fokus ke domestik. Blok-blok luar negeri yang dikuasai Pertamina masih amat terbatas seperti di Aljazair serta Libia. Oleh karenanya, perlu perombakan drastis di Pertamina terutama dari sisi kemampuan investasi yang harus ditingkatkan tidak hanya untuk kegiatan hulu, namun juga di hilir agar menghasilkan nilai yang lebih tinggi. 

Dari sisi hambatan domestik, Toto menilai, aturan yang berlaku di Tanah Air juga membuat Pertamina kalah jauh dari Petronas. Dia menyebut, hadirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Gas dan Bumi (UU Migas) membuat fungsi Pertamina sebagai regulator dan eksekutor yang dahulu dimiliki, berubah. Sekarang, Pertamina hanya bertindak sebagai eksekutor atau pemain, sementara regulator diambil alih oleh Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). 

Sementara, Toto menilai, Petronas masih melakukan fungsinya sebagai regulator, sekaligus pemain utama di Malaysia. 

Sebagai penutup, satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah, semua ini bisa dilakukan hanya bila Pertamina memang dikehendaki untuk berkembang. Beberapa waktu terakhir, tubuh Pertamina justru dilanda cobaan yang cukup besar, mulai dari desakan dari karyawan untuk menurunkan Direktur Utama, Nicke Widyawati dari jabatan, sampai blak-blakan Basuki Tjahaja Purnama tentang sejumlah proyek Pertamina yang merugikan. 

Karena itu, kembali lagi perlu disadari bahwa branding nation melalui acara seperti MotoGP memang cukup penting, ini bisa dianggap sebagai batu awalan bagi Pertamina untuk bisa meniru kesuksesan Petronas. Tetapi, pencitraan saja tidak cukup untuk dapat membawa perubahan. 

Ke depannya, jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan Pertamina sebagai merek global, maka mereka terlebih dahulu perlu berkaca ke kancah domestik dan akui masalah-masalah akut yang selama ini membatasi pergerakan Pertamina sebagai perusahaan migas nasional. (D74) 

Baca juga: Ada Apa dengan Pertamina?

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?