Banyak pihak menyayangkan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menimpa auditor BPK pada pertengahan 2017 lalu. Apalagi yang ditangkap KPK adalah Pejabat Eselon I yang semestinya menjadi teladan para auditor.
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]omisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan suap berkaitan dengan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap laporan keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes).
Kasus ini terungkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kemendes pada Mei 2017 lalu.
Melalui serangkaian pemeriksaan dan perkembangan sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, KPK menetapkan empat orang tersangka, yaitu Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendes Sugito, Kepala Bagian Tata Usaha dan Keuangan (Kabag TU dan Keuangan) Kemendes Jarot Budi Prabowo, Auditor Utama Keuangan Negara III BPK Rochmadi Saptogiri, dan Kepala Subauditorat III BPK Ali Sadli.
Pantas Ahok berani menantang oknum OUDITOR BPK untuk pembuktian terbalik tentang asal usul kekayaan.
Sekarang terbongkar setelah di Sidang Pengadilan Tipikor. ??? https://t.co/8a54Jt1bvk
— Jayabaya (@Jayabay19479190) January 12, 2018
Sugito dan Jarot divonis 1,5 tahun penjara oleh majelis hakim. Sugito juga diwajibkan membayar denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan. Sementara Jarot diwajibkan membayar denda Rp 75 juta subsider 2 bulan kurungan. Kemudian, Rochmadi dan Ali masih menunggu keputusan majelis hakim yang menduga adanya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) selama keduanya menjabat.
Tindakan KKN yang dilakukan oleh pejabat BPK ini, dinilai kontradiktif dengan tujuan pembentukan BPK dalam melakukan pengawasan laporan keuangan lembaga-lembaga negara. Tindakan KKN yang masih menjamur di lingkungan pemerintah dan di BPK ini menjelaskan revolusi mental yang digadang-gadang, rupanya masih sekedar wacana.
Opini WTP oleh BPK selama ini mungkin saja dianggap sebagai barang jual beli di lingkungan lembaga negara demi predikat ‘bersih’. Padahal faktanya, banyak sekali predikat pemberian BPK tersebut yang tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan. Isu ini telah menjadi rahasia umum dan tentunya menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah BPK memang benar-benar bekerja sebagai auditor? Atau jangan-jangan malah menjadi ‘koruptor berkedok auditor’?
Pola KKN di BPK
Tentunya tidak apple to apple bila kita membandingkan tingkat KKN di BPK dengan lembaga lain. BPK bukanlah pemegang rekor sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Namun, eksistensinya sebagai lembaga auditor tentu kontradiktif dengan perilaku korupsi yang beberapa waktu terakhir ini terjadi.
Data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) misalnya, menyebutkan dengan jelas tindakan KKN yang dilakukan oleh oknum di BPK sejak tahun 2015-2017. Setidaknya, terdapat tiga kasus untuk pemberian WTP, satu kasus untuk predikat Wajar dengan Pengecualian (WDP), satu kasus untuk mengubah hasil temuan BPK dan satu kasus untuk membantu kelancaran proses audit BPK.
Jika ditotal, jumlahnya menjadi enam kasus yang menimpa lembaga tersebut dan semuanya berkutat pada proses audit. Hal ini menjelaskan mengenai pola yang digunakan oleh oknum-oknum di BPK dalam melakukan tindakan KKN.
Proses audit yang dilakukan terhadap lembaga lain seringkali menjadi alat tukar kepentingan yang berubah menjadi tindakan KKN. Hal ini dapat dilihat dari apa yang terjadi di Kemendes, di mana predikat WTP sengaja ‘dibeli’ sebagai langkah untuk mengelabui ‘kebobrokan’ lembaga tersebut.
Dalam kasus ini, Sugito dan Jarot menyuap Rochmadi dan Ali dengan uang sebesar Rp 240 juta agar BPK memberikan predikat WTP terhadap Kemendes. Uang tersebut didapat dari sumbangan beberapa orang di lingkungan Kemendes.
Jumlah tersebut memang rasanya tidak besar bagi kedua lembaga ini, apalagi untuk menyuap pejabat sekelas Eselon I. Namun, hal berbeda jika menilik rentetan dugaan pencucian uang yang dilakukan oleh Rochmadi dan Ali.
Rochmadi misalnya, memiliki kewenangan untuk mengaudit lembaga-lembaga di bidang kesejahteraan rakyat, kesekretariatan negara, aparatur negara, serta riset dan teknologi. Dalam kurun waktu antara Desember 2014 hingga Januari 2015, Rochmadi disebut mendapatkan gratifikasi sebesar Rp 3,5 miliar.
Sedangkan Ali Sadli yang memiliki wilayah kerja mengaudit Kementerian Pemuda dan Olahraga, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Pariwisata, Badan Ekonomi Kreatif, Kementerian Tenaga Kerja, Kemendes, BNP2TKI, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat, disebut-sebut telah menerima gratifikasi sebesar Rp10 miliar dan USD 80 ribu.
Bila menganalisis pola dalam kasus-kasus tersebut, tentunya dapat dengan jelas terlihat bahwa uang adalah tujuan utamanya. Setiap birokrat yang bekerja di BPK memiliki ruang lingkupnya sendiri dalam mengaudit sebuah lembaga. Maka, ruang lingkup tersebutlah yang menjadi akses pundi-pundi uang yang akan didapatkan. Beberapa pihak juga menyebut bahwa semakin tinggi jabatannya, maka semakin tinggi pula uang yang akan didapat.
Selentingan juga bermunculan dan menyebut pola yang terbentuk tergantung dari lembaga yang diaudit. Semakin bobrok lembaganya, maka akan semakin besar juga ‘uang perasannya’. Bagi lembaga-lembaga bermasalah, mengeluarkan sedikit uang lagi bagi auditor bukanlah masalah, misalnya demi mendapatkan WTP. Citra baik yang palsu ini dirasa perlu demi pujian-pujian sebagai lembaga yang bersih.
Pertalian BPK dan Partai Politik
Nyatanya, sebagai lembaga yang pimpinannya dipilih oleh parlemen, BPK – terutama komisioner-komisionernya – memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu. DPR memegang peranan yang besar untuk menentukan siapa yang akan menjadi pimpinan di BPK.
Akibatnya, seringkali proses politik di DPR mempengaruhi siapa yang menjadi komisioner di lembaga ini. Tidak jarang kepentingan partai politik pun akhirnya tumpang tindih dengan tugas dan fungsi BPK, sebagai lembaga yang mengaudit keuangan negara.
Campur tangan DPR yang dipenuhi oleh kepentingan partai, membuat BPK menjadi tidak independen. Besarnya tugas dan signifikansi eksistensi BPK membuatnya menjadi sasaran partai-partai, apalagi jika komsioner-komisionernya berasal dari partai politik tertentu.
Jika menilik latar belakang beberapa komisioner BPK, setidaknya terdapat beberapa partai yang berhasil memasukkan kadernya di BPK. Misalnya, Achsanul Qosasi dari Demokrat, Rizal Djalil dari PAN, Isma Yatun dari PDIP, dan Harry Azhar Azis dari Golkar, merupakan beberapa nama komisioner BPK yang punya latar belakang partai politik.
Artinya, setidaknya, terdapat empat orang yang memiliki latar belakang partai politik dari sembilan orang jumlah struktural pimpinan BPK saat ini. Selain 4 orang tersebut, beberapa pihak juga menyebut 2 komisioner lainnya punya kedekatan dengan partai tertentu, misalnya ada yang berkerabat dengan petinggi partai, sementara yang lain begitu ngotot diusung oleh partai tertentu.
Campur tangan parpol ini tentu memprihatinkan. Yang jelas, jika sudah berbicara tentang politik, maka akan ada banyak pertautan kepentingan yang terjadi di sana.
Selain itu, penentuan pimpinan BPK memang dibahas melalui rapat tertutup oleh Komisi XI DPR RI yang kemudian disahkan pada rapat paripurna DPR. Sangat mungkin melalui rapat tertutup ini, upaya tawar-menawar antara calon dengan panitia terjadi. Jika BPK memang sudah dipenuhi oleh kepentingan politik, maka sulit untuk melihat lembaga ini dapat melakukan audit secara independen.
BPK ‘Punya’ Siapa?
Citra BPK yang dekat dengan tindakan KKN mungkin sudah seharusnya diubah. Slogan reformasi birokrasi dan lain sebagainya, jangan sampai hanya menjadi bualan untuk mendapatkan hati masyarakat. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius semua pemangku kebijakan, dalam upaya memperbaiki internal BPK. Tentu tidak mudah memperbaiki lembaga ini.
Selain itu, jika dipengaruhi oleh persoalan politik, maka sangat mungkin ada ‘tangan-tangan’ tertentu yang ikut andil dalam lembaga ini. Setidaknya demikianlah gosip yang beredar, yang pada titik tertentu masih sulit untuk dibuktikan kebenarannya.
BPK memang bukan lembaga super power, tetapi fungsinya sangat signifikan dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara. Tentu akan sangat berbahaya apabila lembaga ini menjadi perpanjangan tangan kepentingan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Maka dari itu, BPK seharusnya tidak menjadi lembaga ‘orang-orang’ tertentu saja. Marwah lembaga ini adalah untuk memastikan bahwa uang rakyat tidak dihabiskan untuk tujuan yang tidak tepat. Dengan demikian, rakyatlah yang seharusnya memiliki lembaga ini, bukan partai tertentu atau orang tertentu saja.
Selanjutnya, perlu untuk ‘meredefinisikan’ bahwa kepentingan negara adalah kepentingan rakyat dengan cita-cita utama menjadikan Indonesia bebas dari tindakan KKN. Bagaimanapun juga, BPK memiliki peran dan fungsi yang dibutuhkan untuk memerangi ancaman nyata bagi Indonesia saat ini, yaitu korupsi! (LD14)