Site icon PinterPolitik.com

BPJS Kesehatan dan Sense of Crisis Jokowi

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. (Foto: Antara)

Hari ini menandai tambahan beban masyarakat di tengah kesulitan dampak pandemi Covid-19 berupa kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  (BPJS) Kesehatan. Sempat menyinggung soal sense of crisis dalam amarahnya kepada para Menteri, kepekaan serupa seolah tak tercermin pada “kengototan” kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya. Lantas, apakah dampak dari kontradiksi tersebut?


PinterPolitik.com

Tak hanya dipertanyakan soal timing dan kesan terskenario, substansi kemarahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di hadapan anak buahnya dalam sebuah dokumentasi yang ramai diperbincangkan beberapa hari terakhir juga dianggap menjadi bumerang tersendiri ketika direfleksikan berbagai kebijakan sebelumnya dari mantan Gubernur DKI Jakarta itu sendiri.

Sialnya, singgungan soal sense of crisis atau kepekaan dalam situasi krisis oleh Presiden Jokowi dalam pidato tersebut tak berselang lama dengan momentum kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang ia teken sendiri melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Ya, hari ini, 1 Juli 2020 bertepatan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang seolah menandai tambahan baru beban masyarakat akibat pandemi Covid-19. Pentingnya sense of crisis yang disinggung Presiden Jokowi sebelumnya seakan menjadi tak relevan dan bahkan terkesan bualan belaka.

Stephanie Howarth dalam publikasinya yang berjudul The Logic-Bias Effect: The Role of Effortful Processing in the Resolution of Belief-Logic Conflict menyebutkan konsep belief bias atau bias kepercayaan yang merupakan kecenderungan untuk menghasilkan kesimpulan maupun keputusan berdasarkan kepercayaan mereka sendiri dibandingkan mengacu pada struktur penilaian yang lebih komprehensif.

Belief bias yang disebutkan Howarth itulah yang dinilai terjadi pada pola penentuan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh Presiden Jokowi. Dalam hal ini paradigma orang kepercayaannya dalam bidang finansial, yakni Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani diduga hanya digunakan sebagai satu-satunya basis penentu kengototan menaikkan iuran jaminan sosial kesehatan rakyat yang diandalkan itu.

Ide pokok yang menjadi paradigma landasan kenaikan iuran dari Menkeu ialah bahwa kenaikan iuran sebagai upaya menjaga kesinambungan BPJS Kesehatan itu sendiri.

Paradigma berujung belief bias inilah yang disinyalir membuat Presiden Jokowi seolah mengakali putusan pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan oleh Mahkamah Agung (MA) dengan menerbitkan Pepres kenaikan iuran BPJS Kesehatan “jilid kedua”.

Faktanya, dalil tersebut telah dibantah oleh MA dengan sangat jelas, bahwasanya beban keuangan BPJS Kesehatan tidak bisa dibebankan kepada peserta lewat iuran. Hakim Pengadilan Negara Tertinggi itu bahkan berpandangan bahwa BPJS Kesehatan-lah yang justru harus memperbaiki masalah manajemen dan fraud internal.

Padahal, berdasarkan temuan Tempo, problematika masalah manajemen dan fraud internal tersebut jika berkenan dibenahi dengan serius dapat menghemat nominal BPJS sekitar Rp 47,59 triliun dalam setahun.

Pada spektrum berbeda, kengototan Presiden Jokowi dalam kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi ini dinilai akan kontraproduktif terhadap gaung sense of crisis yang ditujukan kepada para menteri yang ia kemukakan sendiri belum lama ini. Mengapa demikian?

Impresi Standar Ganda

Bradley Dowden dalam tulisannya yang berjudul Fallacies menyebutkan salah satu bentuk dari kekeliruan fundamental dalam penilaian terhadap konteks tertentu yaitu double standard fallacy. Ini merupakan situasi ketika seseorang memberikan penilaian terhadap satu konteks yang sama atau saling terkait namun dengan tolok ukur, panduan atau standar yang berbeda.

Presiden Jokowi dalam hal ini terlihat, bahkan secara kasat mata, melakukan double standard fallacy ketika menilai krisis pandemi Covid-19 dengan standar sense of crisis yang berbeda. Dalam hal ini, postulat yang disampaikan oleh Dowden tersebut menggambakan kontradiksi situasi wejangan Presiden Jokowi itu dengan kengototan realisasi kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19 sebelumnya.

Bagaimana tidak, pada rekaman video yang seolah menjadi mahakarya Istana itu, tampak Presiden Jokowi dengan berapi-api menekankan kepada para menteri agar bekerja dengan berlandaskan sense of crisis atau kepekaan merespon krisis pandemi Covid-19 beserta dampak turunannya. Ini karena mantan Walikota Solo tersebut menganggap tak ada langkah luar biasa yang dilakukan anak buahnya itu saat krisis membuat rakyat semakin kesulitan.

Tiga aspek utama yang disoroti Presiden Jokowi agar mengedepankan sense of crisis lebih dalam pidato tersebut ialah yang terkait langsung dengan problematika masyarakat saat ini yakni aspek perekonomian, kesehatan, dan sosial.

Entah Jokowi sadari atau tidak, tiga aspek esensial yang ditekankan harus berlandaskan sense of crisis itu akan menjadi bumerang baginya berselang tiga hari setelah diunggah. Datangnya hari di mana kenaikan iuran BPJS Kesehatan menjadi kenyataan, seketika menegaskan bahwa Presiden Jokowi seperti memiliki double standard atau standar ganda dalam merespon krisis serta kesulitan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

Bahkan standar ganda ini tak hanya relevan untuk dikaitkan dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan semata, melainkan juga merembet pada kebijakan “personal” Presiden Jokowi lainnya yang kontradiktif dengan eksistensi sense of crisis.

Sebut saja kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang oleh ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yusdhistira dianggap janggal karena penerapannya justru disaat krisis ekonomi dan pandemi sehingga memberatkan pengusaha maupun pekerja yang sedang kalang kabut akibat pandemi Covid-19. Terlebih ada pasal sanksi berupa denda yang semakin memberatkan.

Belum lagi polemik disisipkannya Kartu Pra Kerja ke dalam bantuan sosial (bansos) yang isunya entah mengapa belakangan ini meredup. Padahal terdapat anggaran negara yang sangat besar dan dinilai tak efektif bahkan cenderung tak relevan dibandingkan urgensi bansos lainnya.

Double standard fallacy yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tersebut agaknya akan menimbulkan konsekuensi tersendiri, baik bagi reputasinya secara personal maupun bagi para menteri, yang bukan tidak mungkin menyadari kesan standar ganda sang pimpinan. Lalu, bagaimanakah konsekuensi atas hal tersebut?

Perkeruh Situasi?

Tak bisa dipungkiri bahwa ungkapan amarah Presiden Jokowi beberapa waktu lalu memiliki signifikansinya tersendiri. Tak sedikit kalangan yang mengapresiasi dan mengharapkan ada perubahan berarti yang konkret untuk diimplementasikan pada berbagai aspek yang saat ini membutuhkan penanganan dengan langkah luar biasa.

Namun di sisi lain, impresi standar ganda Presiden Jokowi yang telah dijelaskan sebelumnya dinilai memiliki konsekuensi tersendiri. Kimmo Eriksson dalam Political Double Standards in Reliance on Moral Foundations menyatakan bahwa ketika orang-orang bergantung pada fairness atau keadilan sebagai prinsip umum dalam penilaian objektif dua arah, keberadaan standar ganda yang mereka rasakan akan membuat hal tersebut kontradiktif dan membuat feedback penilaian maupun reaksi konkret cenderung negatif.

Mengacu pada intisari tulisan Eriksson tersebut, standar ganda yang tersirat dari instruksi penggunaan sense of crisis Presiden Jokowi justru dikhawatirkan akan berimplikasi kontraproduktif terhadap kualitas kinerja anak buahnya sendiri.

Hal yang tentunya tak diinginkan tersebut memang harus diakui cukup masuk akal untuk terjadi, mengingat instruksi tersebut keluar dari sosok yang bahkan tidak mengimlementasikan sense of crisis dengan paripurna selama pandemi Covid-19.

Apalagi ketika Presiden Jokowi mengiringi instruksi tersebut dengan “ancaman” reshuffle saat legitimasi politiknya sendiri sedang dipertanyakan ketika jamak kebijakannya yang tak terartikulasi dengan baik hingga bermuara pada munculnya diskursus pemberhentian presiden yang sempat ramai beberapa waktu lalu.

Kemudian jika mengamati respon publik, tendensi skeptis masyarakat terpampang pada berbagai reaksi di linimasa. Mulai dari mempertanyakan momentum publikasi video kepada khalayak, anggapan hanya membuat heboh sehingga fokus lain teralihkan, hingga tak sedikit yang mati rasa atas berbagai pernyataan presiden, termasuk konteks sense of crisis yang terkesan berstandar ganda.

Tak bisa dipungkiri, pernyataan sekecil apapun dari sosok pemimpin kala krisis akibat dampak pandemi Covid-19 saat ini akan menjadi sorotan tersendiri. Dan jika diresapi, jutaan orang menaruh harapan dari untaian berbagai pernyataan tersebut.

Bagaimanapun, segala kalimat telah terucap dan Presiden Jokowi harus mempertangungjawabkan dan merealisasikan setiap i’tikad baik serta instruksi konstruktif tersebut, termasuk kepada dirinya sendiri. Bukankah dalam kesempatan yang sama Presiden Jokowi menegaskan akan mempertaruhkan reputasi politiknya demi hal tersebut? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version