Site icon PinterPolitik.com

Borok Pelajar Karena Tawuran

Menakar tawuran sama sekali tak mudah, sebab selalu berulang hingga menjadi budaya. Bagaimana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melihat hal ini?


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]ekerasan yang terjadi pada pelajar berupa tawuran dan duel, memang sulit bahkan seakan pantang surut. Beberapa hari lalu, pelajar yang duduk di bangku SMP Islam Asy Syuhada Rumpin, Bogor berduel ala gladiator hingga menelan korban yang masih berusia 16 tahun.

Korban yang berinisial ARS, tewas dalam perkelahian tiga lawan tiga di lapangan Kampung Leuwi Halang, Desa Gobang, Kecamatan Rumpin. Mengetahui tersangka pembunuhan masih memiliki ikatan keluarga, keluarga menolak melakukan otopsi jenazah dan mengganggap kematian tersebut merupakan musibah. Dengan kata lain, kasus berakhir secara kekeluargaan.

Susanto dan Retno Listyarti, dari KPAI dan Kemendikbud (sumber: Istimewa)

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan (Kemendikbud), yang masing-masing diwakili oleh Susanto dan Retno Listyarti telah menyambangi keluarga dan menyatakan keprihatinan mereka. Sinergi dalam melakukan investigasi yang dibentuk dua lembaga tersebut diklaim sebagai bentuk kepedulian KPAI dan Kemendikbud terhadap kasus duel Rumpin.

Namun, adakah usaha Mendikbud memutus rantai kekerasan dan melindungi pelajar dari pusaran tawuran?

Rumitnya Pusaran Tawuran

Memutus rantai tawuran memang bukan perkara mudah. Selama ini, seperti yang disampaikan oleh seorang guru bernama Syaiful Pandu melalui Kompas, mengatakan bahwa aparat keamanan dan pihak pemerintah hanya melakukan penyuluhan ketika tawuran selesai berlangsung. Menilik dan mencari akar permasalahan tawuran dan budaya kekerasan belum pernah benar-benar digali oleh Mendikbud.

Di sisi lain, tak sedikit pula beberapa masyarakat menuding bahwa lestarinya tawuran dari masa ke masa, disebabkan oleh sistem pendidikan yang salah. Seorang pelajar bernama Anggraini menyatakan, kegagalan sekolah membentuk karakter dari segi moral dan spiritual dinilainya menjadi salah satu sebab keberlangsungan tawuran di kalangan pelajar.

Menanggapi sistem pendidikan yang buruk, Mendikbud juga telah mengeluarkan ‘sabda’. Saat masih dipimpin M. Nuh, Kemendikbud mengatakan bahwa tawuran yang marak terjadi di Jakarta tidak disebabkan karena sistem pendidikan yang salah. “Kalau sistem itu artinya di daerah yang lain seperti ini juga, padahal khusus terjadi di Jakarta. Buktinya sistem yang sama di daerah yang lain tidak terjadi,” jelas M. Nuh.

Namun saat itu, baik M. Nuh maupun Mendikbud saat ini, tak mengungkap apa penyebab tawuran yang seakan sudah membudaya dan menelan banyak korban remaja mati sia-sia. Jika kembali pada argumen guru dan murid yang sudah ditampilkan, menelisik penyebab tawuran memang memerlukan pisau yang jauh lebih tajam untuk membedahnya.

Sosiolog asal Universitas Indonesia, Daisy Indra Yasmine, tak ketinggalan melakukan analisisnya. Ia mencoba mengurai permasalahan tawuran secara sosiokultural dengan menelaah titik terjadinya tawuran, yang biasanya berlokasi di lingkungan kota besar.

Salah satu yang menjadi lokasi rawan tawuran selama ini adalah Manggarai, Jakarta Selatan. Daisy menyatakan bahwa Manggarai adalah wilayah terpadat di Jakarta Selatan dengan tingkat ekonomi rendah. Secara sosial, wilayah ini malah tereksklusi di Jakarta.

Mayoritas warganya, terutama kaum muda, memiliki keterbatasan akses pendidikan yang kemudian berpengaruh pada pekerjaan dan juga masa depan mereka. “Dari sosiologisnya memang mereka pekerjaannya rentan, enggak aman buat hidupnya, kalau ada pekerjaan yang bisa mendapatkan uang, apapun diambil untuk bertahan hidup, di sektor formal atau bahkan underground. Itu logis saja,” ujarnya.

Lebih jauh ia menyebut bahwa kekecewaan sebuah kelompok masyarakat terhadap pemerintah, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan, pada akhirnya disalurkan melalui budaya kekerasan. Tawuran menjadi salah satu katalisator dari amarah yang sudah lama mengendap. Apalagi tawuran dan kekerasan ini, sudah menjadi memori kolektif yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Tawuran bisa berawal dari sebuah provokasi, bisa pula dari kenangan insiden lama yang pernah terjadi, “Ada reproduksi kultural. Reproduksi nilai yang membuatnya terlihat tidak ada masalah, tapi sejarah tawuran itu diulang dan itu jadi budaya,” ujarnya.

Dengan demikian, pelajar yang terlibat tawuran bisa saja telah menganggap tawuran adalah sebuah bentuk dari memori kolektif yang diturunkan dari generasi ke generasi. Hal tersebut terus terulang, hingga disadari menjadi sebuah budaya.

Bertanggung Jawab Bersama

Seperti yang sudah dipaparkan oleh Kemendikbud, pihaknya menolak teori kalau penyebab tawuran adalah kacaunya sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini bisa menjadi pertanda rendahnya tingkat kecemasan Kemendikbud sebagai pihak penyelenggara pendidikan dan pengola kebudayaan.

Kemendikbud pernah menyatakan bahwa menggerus budaya tawuran harus didukung oleh guru dan juga sekolah tempat para pelajar bernaung. Walau pihak Kemendikbud belum benar-benar tepat mengartikulasikan penyebab tawuran, namun lembaga pemerintah ini sudah mengeluarkan lima peraturan terkait tawuran guna melindungi pelajar.

Tawuran antar pelajar (sumber: istimewa)

Kelima peraturan tersebut antara lain, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) yang mengatur penanganan dan sanksi atas kekerasan di lingkungan pendidikan. Aturan pertama adalah Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 mengenai penumbuhan Budi Pekerti. Dalam peraturan ini, orangtua siswa harus melaksanakan kegiatan yang bertujuan menumbuhkan pendidikan yang positif.

Yang kedua adalah Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 mengenai kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah. Aturan ini dibuat atas dasar bahwa hal tersebut menjadi awal mula munculnya tindak kekerasan yang bisa terjadi di lingkungan sekolah.

Lalu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur tata cara pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah, salah satunya terkait dengan tindakan kekerasan seksual.

Selanjutnya Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015, sekolah harus berperan aktif membentuk gugus guna mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan di atuan pendidikan. Yang terakhir adalah Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 mengenai buku yang digunakan dalam satuan pendidikan.

Permendikbud yang dikeluarkan pemerintah ini memang belum sepenuhnya mampu melindungi pelajar dari ‘godaan’ tawuran. Hal tersebut mungkin saja bisa sedikit diatasi jika Kemendikbud mampu melihat dengan jernih penyebab tawuran dan melakukan tindakan preventif yang efektif melalui undang-undang yang disusun.

Menilik dari peraturan-peraturan yang digodok oleh Kemendikbud dalam merespon kekerasan dan tawuran yang acap terjadi di dunia pelajar, memang penting untuk sama-sama melakukan pencegahan bersama-sama. Melakukan perlindungan dan pencegahan tawuran memang bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata, namun juga semua lapisan masyarakat, terutama orangtua.

Dengan demikian, tak ada salahnya jika Kemendikbud sedikit menengok kembali sistem pendidikan yang sudah digodoknya demi membendung kelestarian tawuran dan juga budaya kekerasan di dunia pendidikan. Sebab, wajar bila masih ditemukan adanya kekurangan-kekurangan, bukan? Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/A27)

Exit mobile version