Site icon PinterPolitik.com

Bongkar Pasang di Pilgub Jabar

Bongkar Pasang di Pilgub Jabar

Pinter Politik

Sejumlah partai politik mengocok ulang calon kandidat yang akan mereka usung di Pemilihan Gubernur Jawa Barat (Pilgub Jabar). Ada apa ini?


PinterPolitik.com

“Politik adalah siapa yang akan mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana.” ~ Harold Laswell

[dropcap size=big]A[/dropcap]da yang aneh di bursa calon gubernur Jawa Barat, sejumlah partai politik (Parpol) sepertinya kompak mengocok ulang kandidat mereka. Situasi ini menjadikan para calon, baik Deddy Mizwar (Demiz), Dedi Mulyadi (Dedi), dan Ridwan Kamil (Emil), menjadi terkatung-katung nasibnya. Padahal, awalnya ketiga nama inilah yang akan menjadi calon kuat untuk bertarung memperebutkan kursi Jabar Satu.

Berbeda dengan Emil yang memang sejak awal masih belum mendapatkan kepastian, akibat belum mendapatkan jumlah kursi yang cukup dari partai-partai pengusungnya. Posisi Demiz dan Dedi sebenarnya nyaris aman, karena keduanya telah memiliki cukup kursi dari partai-partai yang sebelumnya mengusung mereka. Namun sepertinya ada ‘sesuatu’ di Pilgub Jabar, sehingga dukungan itu kembali goyah. (Baca juga: Ahok Effect di Pilgub Jabar)

Sikap plin-plan koalisi Gerindra dan PKS, membuat posisi Demiz ikut tak menentu. Padahal Wakil Gubernur Jabar ini sudah bersedia menjadi kader, mengikuti syarat yang diminta Gerindra. Hanya saja, strategi Demiz memotong struktur kaderisasi dengan hanya mengandalkan restu dari Prabowo Subianto – sang ketua umum, mendapat tentangan sengit dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jabar, Mulyadi.

Keengganan Demiz untuk minta restu ke DPD ini, juga diperburuk dengan etika politik partai koalisinya, PKS, yang menurut DPD Gerindra ‘seenaknya’ saja dalam mengeluarkan pernyataan. Sejak awal, PKS melalui ketua umumnya, Sohibul Imam, memang sudah gembar gembor kalau bersama partai garuda merah itu akan mengusung Demiz sebagai cagub dan kadernya, Ahmad Syaikhu sebagai calon wakil gubernur (cawagub). (Baca juga: PKS-Gerindra Dukung Demiz?)

Begitu juga dengan yang terjadi di Golkar. Dedi sebelumnya hanya membutuhkan cawagub dari partai lain, untuk menggenapkan jumlah kursi yang diperlukan. Posisinya sudah hampir seratus persen aman, ketika Puti Guntur Soekarno mendatanginya dan disebut-sebut bersedia menjadi cawagub. Bergabungnya PDI Perjuangan tentu menguntungkan Golkar, karena sebenarnya partai banteng itu memiliki cukup suara untuk mengusung kader sendiri.

Tapi pesona Emil sepertinya merasuki sebagian kader Golkar, karena tiba-tiba muncul berita kalau Golkar mengirimkan surat dukungan pada Walikota Bandung itu sebagai cagub dari partai beringin. Keadaan sontak menjadi ramai, kebingungan pun meliputi semuanya. Walau surat itu dinyatakan bodong, namun tetap saja Dedi jadi sakit hati. Ia bahkan mengaku rela melepaskan jabatannya sebagai ketua DPD Jabar agar tetap diusung sebagai cagub. Mengapa kondisinya jadi riweh begini? (Baca juga: Manuver Emil Kacaukan Golkar?)

Jabar, Sang Mutiara Besar

“Politik adalah cara merampok dunia. Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa.” ~ WS Rendra

Bagi parpol, Jabar merupakan wilayah yang sangat memesona. Bisa dikatakan, posisi Jabar hampir sama pentingnya dengan DKI Jakarta. Sebagai provinsi berpenduduk terbesar di Indonesia, Jabar menawarkan suara terbanyak bagi setiap pemilihan presiden (Pilpres). Sehingga tak berlebihan bila parpol pemenang Pilkada Jabar, ada kemungkinan juga akan menjadi pemenang di Pilpres selanjutnya. Siapa yang tidak tergiur dengan kemungkinan yang ditawarkan ini?

Selain itu, sebagai buffer zone Jakarta, Jabar memiliki potensi bisnis yang tak kalah banyak. Wilayah-wilayah penunjang Jakarta di Jabar, seperti Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang, masih memiliki potensi pembangunan yang melimpah. Artinya, berbagai proyek masih sangat terbuka luas di sana. Seiring padatnya Jakarta, para pengembang dan pengusaha tentu akan melebarkan sayapnya di wilayah seluas 37.174 km persegi ini. Apalagi ke depannya, pemerintah daerah Jabar sudah mencanangkan sejumlah pembangunan masif.

Proyek-proyek ini, tentu juga membutuhkan kerjasama pemerintah daerah. Sehingga siapa pun yang menjadi pemimpin di Jabar nanti, pasti akan ikut diuntungkan. Sebagai Pertahana, Demiz tentu yang paling berkepentingan karena menyangkut keberlangsungan kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Karena itu, penting bagi Demiz untuk memastikan dukungannya langsung dari sang ketua umum. Hanya saja, dalam politik juga ada etika dan kompromi, bukan hanya negosiasi bisnis.

Peluang yang dijanjikan tanah Parahyangan ini, juga menjadi salah satu pertimbangan bagi parpol dalam menentukan siapa yang akan diusung. Saratnya kepentingan membuat parpol lebih suka mencari kader sendiri untuk diusung, karena mampu menjamin loyalitas bila sudah menjabat nanti. Posisi mengambang Emil, diperkirakan terjadi atas alasan ini. Sebagai kandidat non partisan, ia dikenal sebagai orang yang punya misi. Sikap ini, kemungkinan besar menyulitkannya dalam berkompromi dengan kepentingan parpol. (Baca juga: Jabar Kunci Pilpres 2019)

Tarik Menarik di Jabar Satu

“Elektabilitas merujuk pada kekuatan atomik calon (valence) dalam menarik dukungan, entah itu karisma, popularitas, atau reputasi bersih dari korupsi.” ~ Donald Stokes

Pada awalnya, fenomena di Pilgub Jabar diperkirakan akan menjadi pertarungan para bintang. Bagaimana tidak, nama-nama kandidat yang kemungkinan besar maju sudah memiliki popularitas dan elektabilitasnya masing-masing. Baik Demiz, Dedi, dan Emil, sudah bersinar dan membuktikan kemampuan kinerjanya. Sehingga peran parpol menjadi lebih ringan saat berkampanye nanti, karena masing-masing calon sudah memiliki pengagum dan pendukungnya sendiri.

Namun ternyata perhitungan di parpol tidak sesederhana itu. Popularitas dan elektabilitas tidak menjamin parpol langsung tertarik untuk mengusung. Kasus Emil yang ditolak mentah-mentah PDI Perjuangan dapat dijadikan contoh. Partai banteng itu beralasan, sikap Emil yang hanya ingin diusung sebagai cagub tidak dapat diterima. Herannya, partai ini malah bersedia menjadi cawagub bagi Golkar, bila mengusung Dedi. Di sini keputusan PDI Perjuangan untuk mengusung calon yang sama-sama dari kader, sangat terlihat jelas.

Sebaliknya, Golkar yang awalnya sudah satu suara mengusung Dedi, ternyata langsung terbelah ketika Emil mendekati beberapa Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Golkar di Jabar. Padahal dari popularitas dan elektabilitas, Dedi tidak kalah dari Emil. Tersangkutnya sang Ketua Umum Setya Novanto dalam kasus mega korupsi KTP Elektronik, ternyata menjadi pertimbangan para kader di wilayah. Mereka cenderung mencari tokoh di luar partai, untuk memperbaiki citranya yang tercoreng tersebut.

Tarik menarik juga terjadi di Gerindra, adanya dua keputusan yang saling bertolak belakang dan sama-sama berasal dari ketua umum, membuat persoalan menjadi pelik bagi Demiz. Di sisi lain, sikap Mulyadi yang mengharuskan Demiz berkoordinasi dengan DPD Jabar juga tidak salah. Sebab meski sudah direstui Prabowo dan menyatakan diri kader Gerindra, Demiz seharusnya tetap berkoordinasi dengan pihak DPD yang memiliki tanggung jawab dalam pemenangannya nanti.

Dari drama yang terjadi dalam persiapan Pilgub Jabar ini, dapat menjadi gambaran bagi masyarakat, bahwa kemenangan bukanlah satu-satunya tujuan bagi parpol dalam meraih kekuasaan. Di atas semua itu, ada begitu banyak pertimbangan dan kepentingan yang melingkup semuanya. Seberapapun tingginya popularitas dan elektabilitas sang kandidat, betapapun hebat kinerja dan reputasinya yang bersih dari korupsi, belum menjamin parpol mau mengusung mereka bila tidak mampu berkompromi dan bernegosiasi. Jadi siapa yang mampu mengatasinya nanti? Kita tunggu. (R24)

 

 

 

Exit mobile version