HomeHeadlineBom Waktu Kasus Jampidsus-Densus? 

Bom Waktu Kasus Jampidsus-Densus? 

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Kendati telah ada klarifikasi serta rangkulan simbolik Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo, sorotan terhadap intrik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) yang “dikuntit” oleh anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri kiranya tak akan lantas surut namun bisa saja berlalu begitu saja. Mengapa demikian? 


PinterPolitik.com 

Sorotan terhadap kasus diintainya Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah oleh anggota Densus 88 Antiteror Mabes Polri seolah masih meninggalkan “seribu” kesan janggal.

Apa yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto dengan merangkul Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo tak serta merta dapat dikatakan sebagai sebuah resolusi konflik.

Bahkan, tak berlebihan jika dikatakan kasus ini dapat menjadi bara dalam sekam jika tak diselesaikan dengan tuntas.

Selain Menko Polhukam Hadi yang menyebut permasalahan ini masih dalam tahap pendalaman dan investigasi, Kapolri dan Jaksa Agung pun telah menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) meski hasil yang disampaikan cenderung normatif dan disebut “tak ada masalah”.

Setelah beberapa hari nihil pernyataan resmi, kemarin (29/5/2024), Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana membenarkan bahwa Jampidsus dibuntuti oleh anggota Densus 88.

Ruang tafsir menjadi begitu luas saat hal ini dikaitkan dengan kasus kelas kakap yang sedang ditangani Jampidsus, terutama terkait korupsi PT. Timah yang sempat dikatakan memiliki keterkaitan dengan salah satu purnawirawan bintang empat Polri.

Ditambah lagi, pengamanan dari Polisi Militer (PM) TNI hingga Korps Marinir TNI-AL terhadap gedung Kejagung, membuat variabel interpretasi kian bertambah atas kejanggalan tentang apa yang terjadi sesungguhnya. 

Dengan melihat begitu sensitifnya intrik dan skala perkara di antara kedua institusi penegak hukum ini, penanganan kasus agaknya akan dilakukan dengan sangat hati-hati.

Tak menutup kemungkinan, apa yang disampaikan ke publik sebagai hasil resmi penyelidikan dan investigasi akan pula bertendensi antiklimaks. Benarkah demikian? 

Disparitas Persepsi Kejagung-Polri? 

Terdapat jajak pendapat menarik yang dirilis Indikator Politik Indonesia pada awal tahun ini. Di antara lembaga penegak hukum, Kejagung menjadi yang paling dipercaya oleh publik. 

Baca juga :  “Parcok” Kemunafikan PDIP, What's Next?

Berdasarkan Indikator, kepercayaan terhadap Kejagung mencapai 76,2 persen, Polri 75,3 persen, Pengadilan 75,2 persen, serta KPK 70,3 persen. 

Torehan Kejagung di bawah komando ST Burhanuddin meningkat dibandingkan Desember 2023 yang masih sebesar 73,6 persen. 

Sentimen sorotan terhadap persoalan yang tengah melanda Kejagung dan Polri pun kiranya dapat diamati secara kasat mata.  

Sayangnya, posisi keberpihakan publik seolah memang tak berimbang dan tak berada di sisi Polri karena beberapa variabel dan interpretasi seperti yang telah disebutkan di atas. 

Di titik ini, apa yang disebut sebagai “disparitas persepsi” seakan muncul di masyarakat. Dalam hal ini, untuk mendukung Kejagung dan Jampidsus agar tetap teguh menyelesaikan perkara yang diduga terkait dengan insiden pengintaian oleh Densus 88 yang terbongkar. 

Saat menganalisisnya lebih dalam, dua lembaga penegak hukum ini seyogianya adalah mitra sejati. Baik secara formal, maupun informal. 

Sebagai komparasi dan pijakan analisis, dalam publikasinya yang berjudul A sibling rivalry, Jacqui Baker menjelaskan head-to-head di antara TNI dan Polri pasca reformasi. 

Dalam konteks tersebut, TNI dan Polri memang memiliki simbiosis tertentu di aspek pertahanan dan keamanan gabungan. Namun di sisi lain, kedua institusi dikatakan Baker memiliki persaingan tak kasat mata mengenai konsesi keamanan untuk menguasai perekonomian lokal yang “semi-legal” dan “ilegal”.

Konteks tersebut juga kiranya dapat dijadikan acuan untuk melihat relasi di antara Kejagung dan Polri serta disparitas persepsi yang muncul di antara keduanya saat ini. 

Jika TNI dan Polri disebut bersaing memperebutkan konsesi keamanan dan ekonomi di level kewilayahan, lain halnya dengan Kejagung dan Polri yang justru acapkali dikatakan bersinergi dalam konteks “semi-legal” penegakan hukum. 

Hal itu terbukti dari personel Kejagung maupun turunannya di wilayah yang tak seratus persen bebas dari kesan “korup”, tak jauh berbeda dengan sentimen yang seolah masih pula melekat kepada Polri. 

Namun, Korps Adhyaksa sedikit diuntungkan dengan keleluasaan manuver mereka saat belakangan ini berhasil membongkar dan mempublikasikan kasus korupsi kelas kakap di tengah menurunnya kinerja lembaga penegak hukum lain akibat berbagai hal. 

Baca juga :  Betulkah Jokowi Melemah? 

Ihwal yang membuat penilaian seperti yang dirilis oleh Indikator Politik Indonesia mengenai tingkat kepercayaan menemui relevansinya. 

Lalu, dengan kecenderungan tersebut, apakah persoalan yang tengah menerpa Kejagung dan Polri akan dapat diatasi secara tuntas dan berdampak lebih lanjut? 

kejagung salip kpk dan polri ed.

Jaga Marwah Paling Utama 

Para pengamat dan analis sejak awal menuntut agar Kejagung dan Polri segera memberikan penjelasan setelah penyamaran anggota Densus 88 yang membuntuti Jampidsus agar isu tak melebar ke mana-mana. 

Akan tetapi, dalam kerangka komunikasi publik-politik yang strategis dan komprehensif, mitigasi secara cepat pun belum tentu dapat mengurai permasalahan secara positif bagi semua pihak. 

Terlebih, jika belum ada koordinasi yang mendalam dan disepakati oleh kedua belah pihak. Utamanya, untuk menjaga marwah dua lembaga penegak hukum tersebut. 

Terlepas dari motif besar yang kemungkinan eksis di baliknya, para elite pemerintah agaknya benar-benar menjaga agar tidak ada informasi yang keliru dan justru dapat memantik kegaduhankegaduhan lain yang berpotensi berakibat fatal. 

Salah satu hal mengapa ini bisa saja berakibat fatal karena saat permasalahan mengemuka, terdapat institusi lain yang turut “terseret”, yakni TNI, di mana saat kejadian penguntitan oleh anggota Densus 88 memang sedang melakukan pengamanan kepada Jampidsus atas permintaan Kejagung. 

Variabel lain kemudian mengemuka di atas meja analisis yang mana seolah dapat diibaratkan sebagai permainan catur dengan langkah saling kunci dan strategi tertentu di tiap pergerakannya. 

Oleh karena itu, dengan investigasi yang disebut masih berjalan, hasil normatif kiranya akan dikedepankan oleh kedua belah pihak. Baik Kejagung maupun Polri demi menjaga citra masing-masing. 

Kalau pun terdapat kebuntuan dalam penyelesaiannya, boleh jadi dan mau tidak mau akan ada yang sedikit dikorbankan, namun tetap dengan tujuan utama, menjaga marwah kedua institusi. 

Bagaimanapun, penjelasan di atas hanya sebatas interpretasi semata. Yang jelas, diharapkan permasalahan ini dapat diurai dengan baik, utamanya tak hanya demi nama baik semata, melainkan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

More Stories

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?