Site icon PinterPolitik.com

Bom Waktu Kabinet Anti-Radikalisme Jokowi?

Bom Waktu Kabinet Anti-Radikalisme Jokowi?

Jokowi mengunjungi lokasi ledakan bom di Surabaya. (Foto: Jokowi Center)

Penunjukan Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama (Menag) memberikan sinyal bahwa untuk lima tahun ke depan isu radikalisme dan terorisme jadi salah satu fokus utama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Namun, efektivitas penanggulangan terorisme justru dianggap bisa jadi berkurang dan tak mampu menyelesaikan persoalan lain macam transparansi penegakan hukumnya.


PinterPolitik.com 

Seminggu setelah Kabinet Indonesia Maju diumumkan, pemerintah sudah secara eksplisit mengakui fokusnya terhadap isu radikalisme dan terorisme.

Fachrul mengatakan bahwa dirinya dan Jokowi banyak membicarakan isu keamanan. Ia juga menyebutkan bahwa pengetahuannya seputar radikalisme dan agama menjadi alasan sang presiden mempercayai kursi Menag kepadanya.

Sementara menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, penunjukan Tito sebagai Mendagri salah satunya berkaitan dengan radikalisme di lingkungan pegawai negeri.

Pun saat ini calon tunggal Kapolri yang diajukan Jokowi memiliki latar belakang anti-terorisme yang kuat dan memiliki kedekatan dengan Tito.

Darurat Radikalisme dan Terorisme

Perhatian Jokowi terhadap masalah radikalisme dan terorisme di Indonesia bukanlah tanpa alasan.

Menurut survei Badan Intelijen Nasional (BIN), tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) dan 39 persen mahasiswa di 15 provinsi terpapar oleh paham radikal.

Sementara menurut penelitian Setara Institute, 10 PTN yakni UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta, UIN Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR terpapar oleh radikalisme Islam.

Kemudian menurut mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu tiga persen anggota TNI, 19,4 persen PNS, 9,1 persen pegawai BUMN, 18,1 persen pegawai swasta, dan 23,4 persen pelajar terpapar radikalisme seperti menyetujui jihad dan menggantikan Pancasila dengan khilafah.

Selain itu, setidaknya dalam empat tahun terakhir jumlah penangkapan terduga teroris di Indonesia terus bertambah. Pada tahun 2015, kepolisian menangkap 73 orang terduga teroris, meningkat menjadi 163 orang pada tahun 2016, naik lagi jadi 172 orang pada 2017, dan puncaknya terjadi tahun 2018 lalu dengan penangkapan 396 terduga teroris.

Tidak hanya masalah jumlah saja, kelompok teroris di Indonesia juga berevolusi dalam hal cara penyebaran paham, srategi, hingga target serangan.

Kelompok teroris kini semakin sering menggunakan internet, khususnya media sosial, untuk menyebarkan paham, berkomunikasi, hingga merekrut anggotanya. Penggunaan internet ini­ pun memiliki dampak salah satunya memperluas dan mempercepat proses radikalisme.

Target rekrutmen kelompok teroris kini juga semakin luas dengan semakin dilibatkannya perempuan dalam kelompok-kelompok teroris, termasuk untuk melakukan bom bunuh diri.

Kegagalan Pemerintah, Keuntungan Teroris

Pemerintah mengklaim bahwa Indonesia memiliki prestasi dalam menangani masalah terorisme. Prestasi ini juga menjadikan Indonesia sebagai role model penanganan terorisme di level internasional.

Hal ini juga diakui oleh pihak luar, salah satunya Jonathan Tepperman, kepala redaksi majalah Foreign Policy, yang dalam bukunya menulis bagaimana Indonesia, negara dengan jumlah muslim terbesar, berhasil mencegah berkembangnya kelompok teroris.

Namun, sayangnya prestasi di atas tidak lepas dari beberapa permasalahan seperti bagaimana pemerintah mendefinisikan radikalisme dan terorisme serta hak asasi manusia (HAM).

Hingga saat ini pemerintah belum mendefinisikan kata “radikalisme” padahal pemerintah sendiri sudah banyak memberikan label “radikal” terhadap individu atau kelompok tertentu.

Kekosongan ini juga menimbukan kritik dari berbagai akademisi ketika pemerintah mengklaim kampus tertentu terpapar radikalisme.

Pendefinisian ini memang penting sebagai tolak ukur untuk membedakan apakah suatu tindakan membahayakan masyarakat atau negara, atau masih menjadi bagian dari kebebasan berekspresi.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mempertanyakan akuntabilitas penangkapan terduga teroris karena Polri hanya mempublikasikan jumlah terduga teroris yang ditangkap, namun tidak mempublikasikan di mana mereka ditahan.

Potensi pelanggaran HAM juga dilihat oleh KontraS ketika kepolisian tidak mempublikasikan hampir seluruh 350 terduga teroris yang ditangkap pada tahun 2018.

Tidak berhenti di situ, dugaan penyiksaan juga muncul pada tahun 2016 ketika Siyono, terduga teroris asal Solo, meninggal setelah diperiksa oleh Densus 88.

Ya, tidak ditegakkannya prinsip-prinsip HAM dalam kebijakan kontra-terorisme memang memiliki efek yang serius.

Menurut Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara memiliki hak dan kewajiban untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dalam kebijakan kontra-terorisme.

PBB juga menggarisbawahi bahwa efektivitas dan legitimasi kebijakan kontra-terorisme pemerintah bergantung pada apakah kebijakan tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip penegakkan HAM.

Menurut Miko Susanto Ginting, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), pemerintah akan kehilangan legitimasi jika menjalankan kebijakan kontra-terorisme tanpa memperhatikan prinsip-prinsip HAM.

Tidak hanya masalah legitimasi, penanggulangan terorisme yang tidak memperhatikan HAM bahkan justru bisa memperkuat teroris itu sendiri.

Menurut James I. Walsh dan James A. Piazza, pelanggaran HAM yang terjadi dalam kebijakan kontra-terorisme seperti extra judicial killing dan penyiksaan justru dapat mempromosikan terorisme itu sendiri.

Keduanya menjelaskan bahwa untuk memerangi terorisme, dukungan masyarakat terhadap kebijakan kontra-terorisme pemerintah sangatlah diperlukan.

Dukungan ini sendiri bergantung pada legitimasi pemerintah di mata masyarakat yang justru dapat berkurang jika masyarakat melihat atau mengalami sendiri pelanggaran HAM ketika pemerintah menjalankan kebijakan kontra-terorisme.

Tidak hanya berdampak pada pemerintah, terjadinya pelanggaran HAM juga bisa dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk meraih dukungan dan melegitimasi tindakan terornya.

Walsh dan Piazza juga melihat bahwa jika dibiarkan dan semakin parah, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah bahkan dapat membuat masyarakat lebih mendukung kelompok teroris dibanding pemerintah.

Potensi inilah yang membuat Walsh dan Piazza berpendapat bahwa suatu pemerintahan yang dalam kebijakannya memprioritaskan kontra-terorisme juga harus melindungi dan mempromosikan HAM.

Selain itu, lanjut Walsh dan Piazza, pelanggaran HAM juga menyebabkan pemerintah harus berkonflik dengan kelompok-kelompok non-teroris seperti kelompok pembela HAM.

Pandangan serupa juga diutarakan oleh Ghufron Mabruri, Wakil Direktur Imparsial.

Menurutnya, penanggulangan terorisme yang eksesif (berlebihan) justru dapat menjadi pendorong aksi terorisme itu sendiri. Oleh karena itu, ia menggarisbawahi pentingnya perlindungan HAM, termasuk terhadap pelaku teroris.

Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar juga pernah mengatakan bahwa penanggulangan terorisme oleh Densus 88 justru berpotensi melahirkan radikalisme baru karena tidak adanya pengawasan terhadap proses penangkapan hingga penyidikan.

Memang sejauh ini resistensi publik terhadap kebijakan kontra-terorisme pemerintah baru ada di level kritik, khususnya yang berasal dari aktivis-aktivis pembela HAM.

Namun, ke depannya kebutuhan pemerintah untuk menjaga dukungan masyarakat terhadap kebijakan kontra-radikalisme dan kontra-terorisme akan semakin mendesak.

Hal ini disebabkan oleh perubahan strategi teroris yang kini juga berusaha merebut dukungan masyarakat dengan lebih memilih menyerang unsur pemerintahan, khususnya kepolisian, dibanding tempat-tempat publik.

Pun dengan adanya Menag, Mendagri, serta Kapolri yang berfokus pada permasalahan radikalisme dan terorisme, bisa diprediksi untuk lima tahun ke depan kebijakan kontra-terorisme pemerintah akan semakin besar.

Dengan demikian selain tetap menghalau radikalisme dan terorisme, kabinet anti-radikalisme Jokowi juga harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang selama ini melekat dalam kebijakan kontra-terorisme pemerintah. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version