HomeHeadlineBom Waktu Intrik Puspom TNI-KPK? 

Bom Waktu Intrik Puspom TNI-KPK? 

Meski perlahan mulai terurai, intrik yang sempat terjadi di antara KPK dan Puspom TNI mengenai penetapan status tersangka eks Kabasarnas kiranya masih meninggalkan persoalan besar yang sayangnya tampak terabaikan dan bisa menjadi bom waktu. Apakah itu? 


PinterPolitik.com 

Usai tampak terjadi ketegangan, KPK dan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI tampak bersinergi dengan baik saat menggeledah kantor Basarnas pada hari Jumat (4/8) pekan lalu. Namun, relasi keduanya yang membaik tampak belum menyelesaikan eksistensi persoalan laten kelembagaan, kepastian hukum, hingga aspek terkait lainnya. 

Sebagai informasi, penggeledahan tersebut diduga kuat terkait dengan kasus korupsi proyek pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan di Basarnas. 

Mantan Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol (Adm.) Afri Budi Cahyanto telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, baik oleh KPK (pada 26 Juli) maupun Puspom TNI (pada 31 Juli). 

Pada periode 2021 hingga 2023, Henri bersama dan melalui Afri Budi diduga menerima suap dari beberapa proyek di Basarnas. Nilainya pun cukup fantastis, yakni sekitar Rp88,3 miliar dari berbagai vendor pemenang proyek. 

Kasus ini sendiri sempat menjadi sorotan setelah Puspom TNI tampak gusar dan keberatan dengan penetapan tersangka Henri oleh KPK. Komandan Puspom TNI Marsda TNI Agung Handoko menilai langkah KPK menyalahi aturan. 

Menariknya, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak meminta maaf kepada TNI pasca melakukan audiensi dengan jajaran Puspom TNI pada 28 Juli lalu. 

kpk minta maaf tetapkan kabasarnas tersangka

“Kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI. Atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan,” begitu kata Johanis saat itu. 

Namun, permintaan maaf KPK dikritik cukup keras oleh mantan pimpinan lembaga antirasuah itu sendiri, yakni Abraham Samad. Dia menilai, permintaan maaf itu memalukan dan membuat gaduh ruang publik. 

Di titik ini, intrik dua lembaga itu agaknya menguak bahwa terdapat “kegamangan tupoksi” di antara para lembaga penegak hukum saat berhadapan dengan kasus tertentu. 

Imbasnya, impresi ketidakbecusan terhadap institusi tertentu, memori kolektif eksistensi egosektoral, hingga kesan potensi kongkalikong bisa menjadi preseden buruk bagi semua pihak. 

Sekali lagi, pemecahan masalah atas kegamangan tupoksi itu seolah kurang diperhatikan dan bisa saja memunculkan permasalahan serupa dengan dampak yang lebih besar di kemudian hari. Padahal, ihwal tersebut sangatlah penting untuk diatasi. Mengapa demikian? 

Nihil Kepastian 

Tumpang tindih maupun saling silang tupoksi menjadi persoalan klasik di Indonesia, termasuk dalam aspek upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 

Tak hanya itu, secara spesifik, tak komprehensifnya tata aturan hukum yang tegas serta potensi impunitas juga membayangi intrik penetapan tersangka eks Kabasarnas oleh KPK. 

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates

Pada 10 Maret lalu, misalnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bahkan mengakui penanganan kasus korupsi belum maksimal karena sering tumpang tindih dengan aparat penegak hukum lain, yakni kejaksaan dan kepolisian. 

pegawai kpk malah terlibat pungli

Namun, Alex yang juga merupakan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta itu mungkin tak menyangka lembaganya akan memiliki intrik garapan kasus dengan angkatan bersenjata pada case Basarnas. 

Satu hal yang jelas tampak di balik intrik di antara KPK dan Puspom TNI adalah aspek kepastian hukum yang tampak cukup samar. Padahal, kepastian adalah satu dari tiga asas penting dalam hukum yang saling terkait, termasuk dalam polemik penetapan tersangka eks Kabasarnas oleh KPK. 

Filsuf hukum asal Jerman Gustav Radbruch menjelaskan tiga asas penting dalam hukum, yakni asas kepastian (rechtmatigheid), asas keadilan (gerechtigheid), dan asas kemanfaatan (zwech matigheid atau doelmatigheid). 

Radburch menyatakan substansi kepastian hukum yang merupakan norma hukum harus ditaati bagi setiap pihak dengan ancaman hukuman sesuai dengan pelanggaran hukum yang terdapat pada perundang-undangan. 

Secara normatif, kepastian hukum berarti bahwa peraturan dibuat dan diundangkan untuk mengatur perilaku manusia baik individu, kelompok, maupun organisasi yang terikat dalam aturan hukum. 

Substansi keadilan hukum dimaksudkan bagi terwujudnya kebaikan bersama dengan distribusi hak dan kewajiban bagi setiap pihak secara merata. 

Sementara itu, substansi kemanfaatan hukum berkaitan dengan adanya suatu fenomena baru masyarakat/negara agar mendapatkan keadaan yang dapat berubah dengan lebih baik dari das sein (yang telah ada) dan das sollen (yang seharusnya) diharapkan. 

Ketiga asas tersebut tak hanya bertujuan menjadi pedoman bagi putusan hakim yang ideal, tetapi juga dapat diterapkan dalam pembuatan, pengaturan, dan pemutakhiran peraturan perundang-undangan. 

Dalam intrik KPK dan Puspom TNI atas penetapan tersangka eks Kabasarnas, tiga asas hukum yang saling terkait itu agaknya juga menguak diperlukannya respons dari setiap persoalan yang muncul terkait hukum dan implementasinya. 

Untuk melihatnya, terdapat dua teori yang dapat menjadi kata kunci. Pertama, yakni hukum responsif yang dijelaskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku berjudul Law and Society in Transition towards Responsive Law

Nonet dan Selznick melihat hukum sebagai unsur yang sangat penting untuk memadamkan “kekacauan” dan menciptakan tertib sosial. 

Dalam perspektif hukum responsif, hukum bertindak sebagai sarana reaksi plus respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik sesuai dengan sifatnya yang terbuka. 

Tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. 

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor
saat kpk dikritik kpk

Lalu, dibutuhkan juga kata kunci kedua yang dapat melengkapi sekaligus menjawab substansi permasalahan di balik intrik KPK dan TNI. Apakah itu? 

Butuh Aturan Tegas-Komprehensif 

Selain hukum yang dapat merespons (hukum responsif), dibutuhkan satu persepsi yang sama untuk dapat dipahami semua pihak dalam upaya menyelesaikan persoalan tersebut hingga ke akarnya. 

Persepsi yang berangkat dari teori law as tool of social engineering atau hukum sebagai alat rekayasa sosial yang dipopulerkan Roscoe Pound agaknya dapat menjadi pivot pemikiran atas pentingnya satu persepsi bersama itu. Utamanya, seputar kontrol dan rekayasa sosial demi tercapainya kepentingan bersama. 

Pound menganalisis hukum melalui metodologi ilmu-ilmu sosial. Dia menyebut kontrol sosial digunakan sebagai mengendalikan sifat manusia. Kontrol sosial dianggap sangat diperlukan untuk menaklukkan lingkungan fisikal dengan batasan tertentu akibat setiap kepentingan yang saling berbenturan. 

Kontrol sosial ini selanjutnya akan berhubungan dengan hukum yang mana merupakan suatu bentuk khusus dari kontrol sosial. 

Selain itu, Pound juga melihat hukum sebagai alat untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering) agar setiap entitas dapat patuh sesuai dengan konteksnya masing-masing. 

Secara garis besar, inti dari teori yang dijelaskan Pound terletak pada kepentingan di mana sistem hukum telah mencapai tujuannya. Hal itu ketika kepentingan tersebut sudah diakui, namun dengan batasan pengakuan dan aturan yang terus berkembang. 

Jika dielaborasikan, terdapat satu benang merah yang kiranya dapat mengurai persoalan tersembunyi di balik intrik penetapan tersangka eks Kabasarnas oleh KPK, yakni dibutuhkannya respons berupa payung hukum yang jelas dan dapat mengatur siapa “menangani” siapa secara tegas. 

Dalam hal ini, tak terkecuali regulasi lain yang terkait dengan detail peran perwira aktif di jabatan sipil serta cakupan plus batasannya. 

Secara spesifik, KPK sebenarnya dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dalam kasus penetapan tersangka eks Kabasarnas. Ihwal yang juga sesuai dengan beberapa analisis dari para pakar hukum tanah air dan dapat ditemukan dalam sejumlah pemberitaan belakangan ini. 

Dengan dasar pemahaman bersama atas kebaikan asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum), KPK semestinya bisa leluasa mengekseskusi berjalannya proses hukum tersebut karena yang dirugikan adalah ranah sipil, bukan militer. 

Di titik ini, peran aktif dan political will pemerintah dan legislator kiranya sangat dibutuhkan agar menghindari kemudaratan proses penegakan hukum yang berpotensi terjadi kembali di kemudian hari. 

Impresi potensi memungkinkannya intervensi serta kongkalikong penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi wajib dinetralisir demi harkat dan martabat keadilan di negeri ini. (J61) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?