Jatuhnya korban jiwa dalam bentrokan yang terjadi antara sekelompok massa dengan pihak kepolisian terkait protes hasil Pilpres 2019 memang menyisakan banyak tanda tanya. Polisi menyebut pihaknya tidak menggunakan senjata berpeluru tajam, sementara simpang siur informasi di media sosial justru memojokkan aparat penegak hukum tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sebenarnya, bolehkah polisi menembak para pendemo tersebut?
PinterPolitik.com
“One man with a gun can control 100 without one”.
:: Vladimir Lenin (1870-1924), revolusioner Uni Soviet ::
Aksi demonstrasi memprotes Pilpres 2019 berlangsung ricuh. Pasca pengumuman hasil rekapitulasi suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dilakukan pada 21 Mei 2019 pukul 01.46 dini hari, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memang diketahui menolaknya dan akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, reaksi yang ditimbulkan dari pernyataan Prabowo terkait kecurangan Pemilu dan istilah “senyap-senyap” yang diungkapkannya terkait waktu pengumuman KPU, pada akhirnya menimbulkan gejolak politik berupa aksi protes dan demonstrasi. Aksi tersebut berlangsung sejak siang 21 Mei 2019 hingga terjadinya kerusuhan di dini hari berikutnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam keterangannya menyebutkan bahwa tercatat ada 6 orang yang tewas akibat kerusuhan itu, serta sekitar 200-an orang terluka.
Hingga saat ini memang masih terjadi kesimpangsiuran informasi, terkait apakah penembakan dilakukan oleh petugas yang mengamankan demo – dalam hal ini kepolisian – ataukah dilakukan oleh pihak lain.
Profesi polisi adalah salah satu pekerjaan paling kompleks. Seorang petugas polisi dituntut untuk bisa menjadi imam, atlet, petugas, pengacara dan penegak hukum (enforcer) secara sekaligus. Share on XPasalnya, pihak kepolisian menyebut tidak ada yang menggunakan peluru tajam dan hanya memakai peluru karet saja. Sementara korban yang tewas salah satunya diketahui tertembak peluru tajam.
Kapolri Tito Karnavian dalam keterangan persnya menyebutkan bahwa aksi protes terkait hasil Pemilu sejak sehari yang lalu terjadi dalam dua fase yang berbeda. Menurutnya, aksi yang dilakukan siang hingga malam berbeda dengan yang terjadi pada tengah malam hingga dini hari.
Narasi yang kemudian disampaikan Tito adalah bahwa bentrokan yang terjadi pada dini hari dan akhirnya melahirkan korban jiwa tersebut bukan murni demonstrasi protes, tetapi ditunggangi oleh kelompok tertentu yang bertujuan untuk menimbulkan kerusuhan dan persepsi buruk terhadap pemerintah.
Terlepas dari apa pun itu, pertanyaan yang muncul kemudian adalah – jika benar –apakah kepolisian diperkenankan untuk menembak para demonstran atau kelompok yang melakukan aksi protes?
Demo Ricuh, Polisi Boleh Tembak?
Setelah digunakan pertama kali pada tahun 1364, senjata api memang menjadi saksi peradaban manusia. Perang, konflik, dan berbagai perubahan besar yang terjadi hampir di seluruh dunia hampir semuanya melibatkan senjata api.
Karena kegunaannya tersebut, tak heran senjata api kemudian digunakan oleh negara sebagai alat untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat, katakanlah oleh penegak hukum dan militer. Hal inilah yang kemudian bisa dilihat dalam kasus kericuhan yang terjadi pada protes hasil Pemilu 2019.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka setelah munculnya berita korban yang jatuh dari kericuhan tersebut adalah pada batasan mana saja polisi mempunyai kewenangan menggunakan senjata api – entah peluru karet, apalagi peluru tajam – untuk menindak massa demonstran.
Tentu saja pertanyaan ini diajukan tanpa memandang konteks aksi seperti yang dijelaskan Kapolri Tito Karnavian yang memisahkannya dalam dua fase kejadian, di mana fase kejadian pertama adalah benar-benar protes politik dan fase kejadian kedua adalah kriminalitas.
Seperti dikutip dari Hukumonline, jika mengacu pada Peraturan Kapolri (Perkapolri) No. 8 Tahun 2009 dan Perkapolri No. 1 tahun 2009 disebutkan bahwa senjata api hanya boleh digunakan oleh kepolisian bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
Kemudian, dirincikan pula bahwa senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan dalam hal menghadapi keadaan luar biasa, membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat, membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat, serta mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang.
Petugas juga boleh menggunakannya untuk menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa, dan menangani situasi yang membahayakan jiwa saat langkah-langkah yang lebih lunak dianggap tidak cukup.
Selain itu juga disebutkan bahwa penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat.
Senjata api juga bisa digunakan jika anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut, atau anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri tersebut atau masyarakat.
Kemudian, pasal 8 ayat 2 Perkapolri No.1 tahun 2009 juga menyebutkan bahwa pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Artinya, senjata api memang tidak bisa begitu saja digunakan oleh aparat penegak hukum.
Adapun dalam konteks pengamanan demonstrasi, ada Perkapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa(Protap Dalmas) yang juga memuat aturan-aturan bagaimana polisi menghadapi massa pendemo. Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif.
Dalam kondisi apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan Dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga melarang anggota satuan Dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur, termasuk mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa.
Artinya, jika terjadi kerusuhan yang sampai melibatkan penggunaan senjata api oleh kepolisian, maka bisa dipastikan ada salah satu ketentuan di atas – dalam hal membahayakan nyawa – yang terpenuhi.
Aturan yang demikian ini juga umum berlaku di banyak negara. Di Amerika Serikat misalnya, ada ketentuan yang menyebutkan bahwa seorang polisi hanya bisa menggunakan senjatanya secara legal ketika merasa hidupnya terancam, atau nyawa orang lain yang tidak berdosa juga terancam.
Jika belum ada pertimbangan yang demikian, seorang polisi belum boleh menggunakan senjata apinya, sekalipun orang yang dihadapinya berpotensi menimbulkan ancaman keamanan.
Lalu, bagaimana dengan peluru karet?
Penggunaan peluru karet memang menjadi pilihan yang umum digunakan untuk pengamanan demonstrasi di berbagai negara. Peluru jenis ini pertama kali digunakan pada tahun 1880-an oleh polisi di Singapura untuk mengatasi kerusuhan.
Peluru karet dipilih karena berbahan karet yang bisa mengurangi dampak mematikan dari proyektil, sehingga dianggap aman untuk digunakan saat polisi mengamankan aksi-aksi demonstrasi.
Namun, beberapa pihak tetap menganggap peluru jenis ini berbahaya, misalnya dalam sebuah studi di tahun 1975 yang menyebutkan dari 90 korban peluru karet, 17 di antaranya berakhir cacat (disable) dan 1 orang meninggal. Kepolisian umumnya menggunakan peluru jenis ini ketika upaya dengan menggunakan water canon (meriam air) dan tembakan gas air mata tidak lagi berhasil.
Psikologis Polisi Berat
Konteks yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah apakah polisi bisa secara psikologis membuat pertimbangan tentang penggunaan senjata api ketika berhadapan dengan situasi sesungguhnya di lapangan.
Pasalnya, konteks psikologis ini sangat penting untuk menjustifikasi apakah keputusan penggunaan senjata api – seperti yang terjadi dalam kasus kericuhan protes Pemilu 2019 – bisa dibenarkan atau tidak.
Ellen Kirshman, seorang psikolog klinis yang telah bekerja selama 30 tahun dengan polisi, menyebutkan bahwa profesi polisi yang bertugas mengamankan masyarakat adalah salah satu pekerjaan paling kompleks. Seorang petugas polisi dituntut untuk bisa menjadi imam (priest), atlet, petugas atau officer, pengacara dan penegak hukum (enforcer) secara sekaligus.
Akibatnya, tekanan psikologis punya dampak yang besar dalam pengambilan keputusan, katakanlah termasuk dalam hal penggunaan senjata api. Konteks ini tentu saja dilihat dari sudut pandang yang berbeda terlepas dari apakah perintah penggunaan senjata api adalah instruksi dari atasan.
Artinya, penggunaan senjata pada titik ini adalah murni penilaian dari seorang petugas polisi di lapangan ketika berhadapan dengan kondisi yang mengharuskannya bertindak.
Psikolog yang lain, Laurence Miller bahkan menyebutkan konteks keadaan di luar pekerjaan – misalnya hubungan dengan keluarga dan lingkungan – sering kali bisa berdampak besar terhadap tekanan, bahkan perasaan takut seorang polisi di lapangan.
Dengan demikian, konteks penggunaan senjata api peluru tajam – jika benar digunakan oleh polisi – memang tidak sesederhana “asal tembak” saja. Namun, ada kompleksitas pertimbangan yang terjadi jika dilihat dari sudut pandang psikologis, pun dari sisi ketentuan yang berlaku.
Pada akhirnya, dengan konteks pernyataan kepolisian bahwa pihaknya tak menggunakan peluru tajam memang membuat siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban jiwa dalam kericuhan ini masih menjadi misteri. Ada isu free rider, ada pula isu yang lain.
Bagi publik, yang terpenting kekacauan ini tidak membuat Indonesia sebagai sebuah negara benar-benar rusak tatanannya. Karena, seperti kata Vladimir Lenin di awal tulisan, jika satu orang punya senjata, segala hal sangat mungkin terjadi. (S13)