Kasus korupsi E-KTP menyeret lebih banyak lagi orang-orang dari sisi Presiden Jokowi. Bisakah ini jadi skor untuk Prabowo di Pilpres 2019 mendatang?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]erkembangan kasus korupsi besar negeri masih terus bergulir hingga hari ini. Dramanya tak kalah menarik untuk diikuti dan disimak. Memasuki babak barunya, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memenangkan gugatan Tim Pansus Hak Angket KPK dari DPR soal legalitas memeriksa KPK.
Keputusan yang dikeluarkan MK ini, dianggap banyak pihak sebagai ‘dukungan’ untuk melemahkan KPK. Padahal, bersamaan dengan putusan tersebut, MK turut memberi hak bungkam kepada KPK jika diintervensi DPR. Selama ini, saat Rapat Kerja (Raker) DPR selalu menanyakan perkembangan-perkembangan kasus korupsi yang sedang diusut KPK. Nah, ‘teror’ DPR itu sekarang bisa dibalas diam oleh KPK. Hak bungkam KPK ini adalah kekuatan baru buat KPK.
Namun, kekuatan itu terlanjur tertutupi dengan kekecewaan. Kebijakan melegalisasi tim pansus hak angket KPK, lebih santer diberitakan dan makin mengecap nilai yang buruk dari masyarakat. Bagaimana pun, hingga hari ini, mayoritas masyarakat masih begitu mempercayai dan mendukung KPK dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sebaliknya, Tim Pansus KPK, sejak awal berdiri sudah memikul citra buruk di publik karena punya ambisi melemahkan pemberantasan korupsi. Melihat deretan tim yang berada di dalam tim tersebut pun tak kalah seru, sebab mayoritas anggotanya berasal dari partai pendukung pemerintah.
Partai-partai pendukung pemerintah yang berada di balik Tim Pansus Hak Angket KPK antara lain, Golkar, PDIP, NasDem, Hanura, dan PPP. Sementara partai yang menolak adalah Gerindra, PKS, PKB, dan Demokrat. Kontras partai-partai ini juga tercetak dengan label partai oposisi dan koalisi pemerintah.
Belum lagi saat membicarakan kasus korupsi E-KTP. Tak hanya menjadi pendukung tim Pansus Hak Angket KPK, partai utama pendukung pemerintah, PDIP juga terseret di dalamnya. Nama-nama besar kader PDIP menjadi incaran, seperti Ganjar Pranowo, Olly Dondokambey, Yasonna Laoly, Arief Wibowo, bahkan hingga Puan Maharani.
Selain PDIP, Golkar yang baru mesra bergabung dengan pemerintah pun turut ‘menyumbang’ jumlah kader yang terlibat dalam kasus korupsi E-KTP. Karena kasus ini pula, Setya Novanto harus rela terperosok dari jabatan sebagai Ketua Umum DPR sekaligus Ketua Umum Golkar.
Lantas bagaimana bila menghubungkan kasus korupsi yang menyeret kader dari partai pendukung pemerintah ini dengan proyeksi pilpres 2019 mendatang? PDIP, NasDem, Golkar, dan Hanura, selain berada di balik Tim Pansus Hak Angket KPK dan pusaran korupsi E-KTP, juga menjadi partai pendukung utama pemerintah.
Sebaliknya, dari sisi partai oposisi pemerintah, Gerindra cukup ‘adem ayem’ dari kisruh korupsi negeri. Bagaimana pula posisi Jokowi dan Prabowo yang berada di bawah naungan partai-partai tersebut? Bisakah kasus korupsi ini menjadi bola ‘out’ untuk Jokowi dan skor untuk Prabowo?
Jokowi dan Partai Pendukung Terguncang
Awal kemunculannya di tahun 2014, PDIP, beserta Nasdem, Hanura, PKPI, dan PKB mantap mengusung Jokowi sebagai presiden. Sementara Prabowo Subianto sebagai lawan politiknya, diusung oleh Gerindra, PKS, Golkar, PAN, PPP, dan PBB.
Dari sana, peta politik Indonesia terbagi atas dua kandidat yang diusung oleh partai-partai yang ada. Pergeseran dan perubahan haluan partai politik dari kubu Jokowi ke kubu Prabowo, dan sebaliknya, menjadi tak terelakkan.
Golkar dan PAN memutuskan keluar dari jajaran pendukung Prabowo Subianto. Jika PAN masih suka ‘limbung’ menentukan posisinya hingga saat ini, Golkar sudah mantap mendeklarasikan dukungannya pada Jokowi. Tak tanggung-tanggung pula, Jokowi menerima Golkar dengan tangan terbuka. Buktinya adalah pemberian ‘kue’ jabatan kepada Idrus Marham dan rangkap jabatan Airlangga Hartarto sebagai Menteri Perindustrian dan Ketua Umum Golkar.
Atas perlakuan istimewa tersebut, membuat PDIP sempat cemburu dan mengajukan permintaan supaya Puan Maharani kembali aktif di PDIP. Larangan rangkap jabatan memang awalnya digadang-gadangkan Jokowi di awal kepemimpinannya, hal ini dilakukannya untuk membuat efektif pekerjaan, sekaligus membuat demarkasi besar antara pemerintahan Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang banyak diwarnai aksi rangkap jabatan.
Kembali pada partai yang menaungi Jokowi dan Prabowo. PDIP akhirnya hanya bertukar posisi dengan Golkar sebagai partai terkorup di Indonesia. Di tahun 2016, PDIP sempat dinobatkan sebagai partai terkorup di Indonesia. Di tahun berikutnya, giliran Golkar yang memegang posisi tersebut. Dari sana, Golkar dan PDIP berada di posisi pertama dan kedua sebagai partai terkorup.
Sementara Gerindra, tak terlalu santer terdengar beritanya, soal korupsi. Prabowo, sebagai ketua umum Gerindra, pernah berseru akan memecat kader yang terjerat KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
Namun begitu, dalam kasus korupsi E-KTP, partai Gerindra tak sepenuhnya bersih. Salah satu kadernya bernama Rindoko Dahono Wingit, disebut menerima aliran dana korupsi sebesar USD 37 miliar. Saat ini, statusnya masih tersangka dan Gerindra pun belum terdengar memecat anggota Komisi III DPR RI dari Jawa Timur tersebut.
Bila ditilik kembali, partai-partai yang berada di sekitar Jokowi memang lebih aktif terseret dalam kasus korupsi, dibandingkan dengan partai yang berada di sisi Prabowo. Tak hanya itu, nama-nama besar alias elit kader partai pendukung Jokowi pun turut terlibat. Keadaan partai pengusung yang ‘bermasalah’ ini sangatlah mungkin mengguncang Jokowi beserta partai pendukungnya.
Jika mengasosiasikannya dengan permainan bola tenis, skor untuk Prabowo sudah pasti didapat dari kasus korupsi besar ini, sementara Jokowi harus mengalami pengurangan skor. Walau Jokowi bukanlah pihak yang secara langsung melakukan korupsi, namun keberadaan partai pendukungnya dalam pusaran korupsi, sedikit banyak mempengaruhi dirinya dalam gelanggang Pilpres 2019 mendatang.
Skor Telak Prabowo?
Lisa Kammerud pernah menyebut dalam tulisannya berjudul As Integrated to Elections and Conflict, jika keberadaan partai politik dan kandidat yang diusungnya memainkan peran penting dalam proses pemilihan, keduanya pun saling mempengaruhi satu sama lain.
Kammerund lebih jauh menulis bahwa, seorang kandidat yang diusung atau dicalonkan oleh suatu partai politik, secara langsung mendefinisikan ideologi dan kebijakan suatu partai, begitu pula citra yang ada dari suatu partai. Sebagai contoh, partai yang dicitrakan dekat dengan buruh dan pekerja, kandidatnya juga dianggap mewakili kepentingan golongan tersebut. Ini yang terjadi pada Partai Buruh yang mencalonkan Jeremy Corbyn sebagai calon Perdana Menteri Inggris tahun lalu.
Sementara di Amerika, citra yang lekat dengan partai Republik adalah nuansa kebijakan yang konservatif dan anti imigran, sementara partai Demokrat dipandang lebih moderat dan inklusif. Citra kedua partai terlihat dari kandidat yang diusungnya, yakni Donald Trump dan Hillary Clinton.
Keberadaan partai yang terlibat korupsi di lingkaran Jokowi mau tak mau memberikan citra kepada Jokowi sebagai pihak atau calon kandidat yang tak serius menangani pemberantasan korupsi. Dari sana, kepercayaan juga berpeluang menurun karena keberadaan Golkar dan PDIP sebagai dua partai terkorup di Indonesia versi Indonesia Corruption Watch (ICW) di dekat Jokowi.
Namun sejauh mana pengaruh partai korup terhadap seorang kandidat yang diusungnya? Menurut Michael D. Cobb dan Andrew J. Taylor dalam tulisannya berjudul State Level Coruption Do Little Change Voters Minds mengungkap kalau ternyata dalam beberapa hal, keberadaan partai korup tak begitu banyak mempengaruhi pemilih. Ini kerap terjadi pada iklim politik yang ‘kandidat-sentris’. Pemilih dalam iklim tersebut, lebih sering menilik latar belakang kandidat, ketimbang afiliasi partai asalnya.
Lantas, apakah profil Jokowi atau kandidasinya begitu kuat sehingga dalam gelaran Pilpres 2019 mendatang rakyat tak perlu lagi melihat keberadaan Golkar dan PDIP di belakangnya sebagai partai terkorup? Hal itu bisa sangat mungkin terjadi. Dengan iklim seperti ini, Prabowo pun punya kesempatan yang sama.
Sementara itu, menurut Soegeng Sujadi Syndicate (SSS), keberadaan partai politik di belakang seorang kandidat di Indonesia masih memegang peranan yang cukup signifikan. Karakter atau masalah yang menimpa sebuah partai, akan mempengaruhi pula elektabilitas kandidat dan partainya sendiri. SSS mencontohkan kalau gerilya Gerindra di tingkat akar rumput, menaikkan nama Prabowo. Sementara polemik internal di Demokrat menurunkan elektabilitas SBY di tahun 2014.
Sehingga, dengan atau tanpa kandidat-sentris dan ketergantungan terhadap partai politik, Prabowo dan Gerindra masih tetap diuntungkan dengan adanya kasus E-KTP yang melibatkan partai pendukung Jokowi. Gerindra dan Prabowo bisa mengisi ‘kekosongan’ dalam pemberantasan korupsi yang melanda Jokowi dan partai pendukungnya.
Tetapi, hal ini bisa menjadi sebuah kebimbangan bila Demokrat, yang dikenal sebagai partai netral, mencondongkan dirinya pada Prabowo. Walau netral, dalam kasus korupsi E-KTP, banyak kader Demokrat ikut terlibat di dalamnya. Hal ini ditambah pelik, karena Setya Novanto, tersangka utama kasus E-KTP, menuliskan nama Ibas (anak bungsu SBY) sebagai pihak yang ikut terlibat di buku hitam misteriusnya.
Terlepas dari kebenarannya, Prabowo perlu berhati-hati menangkal serangan bila hal tersebut terjadi. Sebab tak sedikit pula yang menyinggung bila Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memang dipersiapkan oleh SBY untuk menemani Prabowo nantinya.
Namun begitu, seiring bergulirnya kasus korupsi besar yang terjadi pada partai pendukung Jokowi, pantas dikatakan Jokowi baru kehilangan bola, sementara Prabowo dapat skor mutlak dari sana. (Berbagai Sumber/ A27)